Breaking News

Mayat Di Balik Selembar Kertas


  Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U.  (Pengamat hukum dan sosial)

Jendelakita.My.Id – Tulisan ini terinspirasi dari informasi di media sosial mengenai keputusan Kementerian Sosial Republik Indonesia yang mewajibkan setiap bantuan bencana alam di wilayah Sumatera (Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat) untuk memperoleh izin terlebih dahulu. 

Selain itu, keluar masuknya bantuan harus dilakukan oleh tenaga auditor keuangan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas bantuan tersebut. Secara logis, kebijakan ini terasa janggal karena memunculkan beberapa pertanyaan. 

Pertama, apakah seseorang atau kelompok yang dananya bukan berasal dari anggaran pemerintah juga harus meminta izin dan diaudit? Kedua, apakah mungkin terdapat dugaan bahwa bantuan tersebut berpotensi memengaruhi stabilitas sosial, ekonomi, dan politik sehingga harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari pemerintah?

Di sisi lain, para korban bencana memerlukan bantuan secepatnya, sementara jumlah korban meninggal, hilang, dan luka-luka mencapai ribuan dan belum dapat teridentifikasi secara pasti. 

Dugaan sementara seperti disampaikan Gubernur Aceh menunjukkan bahwa ribuan korban bukan hanya meninggal akibat banjir bandang dan tanah longsor, tetapi juga karena kelaparan yang terjadi akibat kondisi bencana yang sangat parah. 

Bahkan, menurut Gubernur Aceh, masih banyak mayat yang belum dievakuasi, termasuk yang berada di dalam kendaraan roda empat yang terbawa arus dan tertimbun longsor.

Skala bencana semakin buruk akibat ulah manusia yang membuka hutan lindung (hutan rimba) yang seharusnya berfungsi menjaga kelestarian lingkungan, kemudian mengubahnya menjadi tanaman industri milik pemodal besar, baik dari dalam negeri maupun investor asing. 

Penggundulan hutan tersebut memperparah dampak bencana dan menyebabkan kerugian besar bagi rakyat Indonesia. Kondisi ini memberi pelajaran mahal bahwa keserakahan manusia dalam mengejar keuntungan sebesar-besarnya telah mengorbankan nyawa dan harta yang tidak dapat dinilai dengan uang.

Situasi semakin ironis ketika pemerintah, melalui Kementerian Sosial RI, justru mengeluarkan kebijakan yang berpotensi memperlambat prosedur administratif pemberian bantuan. Prosedur yang tidak tepat konteks tersebut dapat menghambat niat baik masyarakat untuk membantu saudara setanah air yang sedang mengalami musibah. 

Artikel ini seolah menjadi jawaban atas analisis penulis sebelumnya yang berjudul “Isu Bencana Alam Memasuki Ranah Politik” yang telah dipublikasikan di media sosial beberapa waktu lalu. 

Bila dibuat judul baru, situasi ini mencerminkan pertentangan antara nilai kemanusiaan yang seharusnya berada di puncak prioritas dengan nilai-nilai lain yang seakan dipertaruhkan.