Ketika Hidup Harus Memilih
Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U.
Jendelakita.My.Id – Ketika sebagian penduduk Madinah mendukung Perang Tabuk, sekelompok kaum munafik justru menebar provokasi untuk memecah persatuan penduduk Madinah. Di antara orang-orang kaum munafik itu adalah Julas ibn Suwaid, yang merawat seorang anak bernama Umair bin Sa'ad. Julas menganggap Umair seperti anaknya sendiri, sehingga Umair sangat mencintai Julas. Suatu saat, Julas berkata, "Jika yang diucapkan Muhammad Saw itu benar, niscaya kita lebih buruk dibanding keledai."
Mendengar itu, Umair bin Sa'ad berubah menjadi sangat membenci Julas. Ia memikirkan ucapan Julas dan merasa heran, "Bilamana bisa ada orang yang meragukan setiap ucapan Nabi dan rendahnya?" Ia menatap Julas dengan penuh kebencian, lalu berkata dengan marah, "Aku bersaksi bahwa Rasulullah itu benar, dan bahwa akulah yang lebih buruk dibanding keledai."
Julas kaget, menyadari dirinya telah kelepasan di depan Umair. Ia khawatir kata-katanya akan sampai kepada Nabi. "Apakah Umair bin Sa’ad mampu memegang rahasia itu? Umair, anakku, jangan katakan kepada siapa pun," ujarnya.
Umair bingung, berada di antara dua pilihan pahit. Jika ia mengabarkan kemunafikan Julas kepada Nabi, berarti ia menyakiti Julas, orang yang telah mengasuh dan menafkahinya. Namun, jika tidak mengabarkan, ia takut bersalah karena Nabi perlu mengetahui orang munafik yang secara diam-diam melemahkan kekuatan kaum Muslimin dalam peperangan yang sangat menentukan. Ia juga berpikir, Allah bisa menurunkan wahyu yang membongkar kemunafikan Julas, dan Nabi bisa saja membenci Umair karena diam. Umair pun berada dalam dilema.
Akhirnya, Umair memutuskan untuk mengabarkan kemunafikan Julas kepada Nabi. Ia berkata kepada Julas, "Wahai Julas, engkau orang yang paling kucintai. Di mataku tidak ada orang sebaik kau. Tetapi, kau telah mengatakan sesuatu yang bila kuceritakan akan membuatmu dicela. Bila aku diam, berarti aku hancur... Aku akan memilih yang akibatnya ringan."
Umair segera menemui Nabi untuk menyampaikan perihal Julas. Nabi sangat menyesal dan memanggil Julas untuk dimintai keterangan. Julas menyangkal telah mengatakan hal tersebut dan menuduh Umair berbohong, bahkan bersumpah atas kata-katanya. Umair terjepit, dan para sahabat menganggap ia melakukan kesalahan besar, yaitu berbohong. Ia merasakan tatapan mereka yang menyakitkan, hingga menangis dan berdoa, "Ya Allah, turunkanlah pada Rasul-Mu penjelasan apa yang ku sampaikan."
Seketika, wahyu turun kepada Nabi. Suasana menjadi senyap, dan Nabi membaca ayat:
"Mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka tidak mengatakan sesuatu yang menyakiti-Mu. Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran dan telah menjadi kafir sesudah Islam dan menginginkan apa yang tidak dapat mereka capai, dan mereka tidak mencela Allah dan Rasul-Nya kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka, jika mereka bertobat, itu lebih baik, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak pula penolong di muka bumi." (QS. At-Taubah: 74)
Umair merasa gembira dengan kabar baik itu, sementara Julas merasa malu. Julas kemudian berkata dengan lirih, "Aku bertobat, wahai Rasulullah." Nabi menoleh kepada Umair, memegang telinganya, dan berkata, "Telingamu bisa dipercaya, wahai anak muda. Tuhan membenarkanmu." Sebelumnya, Julas marah besar kepada Umair dan bersumpah tidak akan menafkahinya lagi. Namun, ia menarik sumpahnya, bertobat, dan tetap memberi kebaikan kepada Umair, yang namanya tercantum indah dalam sejarah.
Rasulullah Saw. mengajarkan, "Katakanlah kebenaran itu, walaupun pahit. Hidup ini pilihan. Sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya." (QS. Ar-Ra'ad: 11) Kita disuruh Allah untuk mengubah nasib kita. Pilihan ada di tangan kita: gagal atau sukses. Orang yang memilih sukses yakin bahwa rezekinya dijamin Allah. Jika pun gagal, bagi mereka itu hanyalah kesuksesan yang tertunda. Mereka tetap bekerja keras, menatap tujuan, yakni kesuksesan, kesejahteraan, dan kebahagiaan.

