Breaking News

Ngasak Padi Melestarikan Tradisi Syukur di Lumbung Padi Sukorejo

 


Tulisan Oleh: Asep Irama

(Tulisan Telah dipulikasikan berbentuk Buku dengan Judul "Dari Rejang Hingga Nugal Padi : Tradisi Budaya Masyarakat Musi Rawas" Antologi Karya Luaran Bimtek Kepenulisan Berbasis Konten Lokal yang diselenggarakan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Musi Rawas)  


A.   Pendahuluan

Tak banyak yang tahu, di balik lirihnya gunung dan hijaunya sawah Desa Sukorejo, Kecamatan STL Ulu Terawas, tersembunyi tradisi pertanian yang kaya makna: Ngasak padi. Di Indonesia, khususnya di pedesaan, "Ngasak" berarti memungut kembali sisa-sisa hasil bumi yang tercecer pasca panen (Danisa, 2019). Di Sukorejo, tradisi ini berlangsung sehari setelah panen, menjadi ajang ritual tanpa tertulis namun sarat budaya. Menurut Catatan Agroprobiotik, aktivitas Ngasak ini lazim dilakukan oleh warga yang tidak memiliki sawah sendiri. “Mereka akan mencari sisa-sisa padi... untuk kemudian dijual”. Hal ini bukan mencuri melainkan memanfaatkan rezeki yang telah dianggap tak ter pungut (Agroprobiotik, 2024).

B.    Makna Historis dan Sosial

Sejak zaman kolonial, pedesaan seperti Sukorejo menganut sistem patron‑client: petani lahan besar menerima bantuan dari buruh tani, dan sebagai balasannya membagi sebagian kecil hasil berupa sisa-sisa padi. Tradisi ini berkembang menjadi norma sosial dalam masyarakat over time.

Salah seorang tetua desa, Bapak H. Ruhiyat, berkisah:

“Dulu leluhur kami mengajarkan, manunggaling rasa… bila sawah selesai dipanen, sisa padi adalah rezeki bersama. Bukan milik petani sendiri semata.” (H. Ruhiyat, personal communication, 2025).

Hal ini menggambarkan semangat gotong‑royong yang mengakar dalam budaya desa.

C.   Dimensi Ekonomi

Meskipun hanya berupa sisa panen, padi hasil Ngasak sering Kali mencapai rata-rata 3–5 kg per hari per keluarga selama musim panen. Menurut pengamatan lokal saya, aktivitas ekonomi ini menjadi sandaran hidup tambahan dan membantu mengurangi beban biaya pangan. Mereka yang meNgasak untuk dapat bertahan hidup, dan sebagai sumber penghasilan tambahan mereka (Pariani & Sarjan, 2024).

1.    Nilai Moral dan Pendidikan Anak

Pada tradisi Sukorejo, anak‑anak dan ibu‑ibu turut serta Ngasak sebagai media pendidikan karakter. Bapak Slamet, guru SD setempat, menuturkan:

“Anak‑anak diajak Ngasak agar mereka belajar menghargai proses, tidak boros, serta memahami nilai jujur.” (slamet, personal communication, 2025)

Tradisi tangan ke sawah sejak dini ini memperkuat karakter generasi lokal sederhana dan menghargai usaha orang lain.  

2.    Aspek Ritual dan Budaya

Ngasak bukan hanya soal mencari padi,  ia mendekatkan masyarakat dengan alam dan coding  ritu­al syukur. Sebelum melakukan Ngasak, biasanya ada doa kecil yang dipanjatkan di atas pematang sawah: ungkapan syukur atas rizki panen yang sudah dipetik dan rezeki kecil yang masih tersisa.

Warga desa percaya, meskipun kecil, rezeki itu tetap membawa berkah. Ibu Siti Aminah, salah satu peNgasak, Bercerita,  “Kalau kami ambil yang tercecer, hati tenang. Rasanya seperti Tuhan masih memberikan secuil tambahannya.”(Ibu Siti Aminah, Personal Communication, 2025) Ungkapnya saat di wawancarai

3.    Tantangan Modern

Namun, dengan meluasnya penggunaan mesin panen modern, sisa padi di sawah Sukorejo semakin minim. Mesin seperti combine harvester memang efisien, tetapi ia menyapu bersih bulir bahkan menutup peluang Ngasak. Generasi muda pun mulai menjauhi kegiatan ini. Seiring waktu, jika tidak direvitalisasi melalui program desa atau pendidikan budaya, Ngasak bisa terlupakan (Swastika, 2016).

 

 

4.    Usaha Pelestarian

Saat ini banyak peNgasak bergantung pada DOS (mesin perontok padi sederhana)  milik masyarakat yang panen secara manual, dalam upaya ini kepala desa Sukorejo telah melarang masyarakat untuk menggunakan Alat otomatis milik pemerintah agar tradisi gotong royong dan Ngasak masih tetap terjaga (Nasution, 2018).

5.    Ritual dan Keyakinan dalam Ngasak Padi

Selain aspek ekonomi dan sosial, Ngasak juga mengandung unsur ritual keagamaan. Sebelum memulai, biasanya para ibu mengucap doa sederhana di pematang sawah:

“Ya Allah, berkahi langkah kami... semoga sisa panen ini membawa rezeki halal untuk keluarga.”

Doa ini mencerminkan keyakinan bahwa segala hasil bumi adalah anugerah Tuhan, meskipun hanya bulir-bulir kecil di tanah (Miftakhuddin, 2021).

Bahkan ada mitos lokal yang berkembang: siapa yang serakah saat Ngasak atau mengambil padi milik petani tanpa izin akan tertimpa sial. Hal ini menumbuhkan rasa etika dan kejujuran dalam praktik Ngasak (Supriyanto, 2018).

 

6.    Tradisi yang Menjadi Identitas Budaya

Ngasak padi kini menjadi bagian dari identitas budaya Sukorejo. Tradisi ini menggambarkan cara hidup masyarakat desa yang ramah lingkungan, hemat sumber daya, dan menjunjung tinggi prinsip kebersamaan. Dalam era perubahan iklim dan ancaman krisis pangan global, nilai-nilai ini justru semakin relevan. Pelestarian tradisi Ngasak dapat menjadi inspirasi bagi pertanian berkelanjutan di masa depan (Indriani et al., 2022).

D.   Penutup

Ngasak padi di Sukorejo bukan sekadar memetik bulir. Ia adalah simbol syukur, hemat, kebersamaan, dan penghargaan terhadap alam serta sesama. Di tengah kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup, semoga tradisi ini tetap dikawal dan diwariskan sebagai potret kearifan desa, yang tak boleh hilang begitu saja.

E.    Daftar Pustaka

Agroprobiotik. (2024, September 2). Kenali Tradisi Petani Jaman Dahulu “Ngasak.” https://agroprobiotik.com/? s=Ngasak+padi

Danisa, I. (2019). Praktik Ngasak Gabah Berdasarkan Sebab-Sebab Kepemilikan Menurut Ekonomi Islam (Studi Kasus di Desa 28 Purwosari Kecamatan Metro Utara) [Undergraduate, IAIN Metro]. https://repository. metrouniv.ac.id/id/eprint/258/

H. Ruhiyat. (2025). Wawancara dengan bapak. H. Rihiyat, salah seorang tokoh masyarakat sukorejo, pada tanggal 10 juni [Personal communication].

Ibu Siti Aminah. (2025). Interview dengan ibu Siti Aminah salah seorang peNgasak padi di desa sukorejo, pada tanggal 9 juni [Personal communication].

Indriani, N., Nala, I. W. L., Uhai, S., Adha, A. A., & Sinaga, F. (2022). Warisan Budaya Tradisi Lisan Di Era Modernisasi Sebagai Potensi Wisata Di Desa Kedang Ipil Kabupaten Kutai Kartanegara. Sebatik, 26(2), Article 2. https://doi.org/10.46984/sebatik.v26i2.2010

Miftakhuddin, M. (2021). Nilai Pendidikan Profetik Dalam Filantropi Masyarakat Grenden, Jember. OSF. https://doi.org/10.31234/osf.io/m935v

Nasution, M. A. (2018). Keberadaan Panektek Padi Sebagai Sumber Mata Pencaharian di Musim Panen (Studi Deskriftif di Desa Tanjung Sari, Kecamatan Batang Kuis) [Thesis, Universitas Sumatera Utara]. https://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/7581

Pariani, L., & Sarjan, M. (2024). Kearifan Lokal Dan Pendekatan Dalam Pemanfaatan Sumber Daya Alam Untuk Ekonomi Desa Sesaot. Jurnal Pendidikan, Sains, Geologi, Dan Geofisika (GeoScienceEd Journal), 5(1), 1–5. https://doi.org/10.29303/goescienceed.v5i1.276

slamet. (2025). Interview denganbapak selamat, salah seorang guru di desa sukorejo, tanggal 10 juni [Personal communication].

Supriyanto, A. D. (2018). Hubungan antara Spiritualitas dengan kesejahteraan Psikologis pada anggota PKK Cenderawasih I Dusun Ponjen Kidul [Undergraduate, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim]. http://etheses.uin-malang.ac.id/12705/

Swastika, D. K. S. (2016). Teknologi Panen dan Pascapanen Padi: Kendala Adopsi dan Kebijakan Strategi Pengembangan. Analisis Kebijakan Pertanian, 10(4), 331–346. https://doi.org/10.21082/akp.v10n4.2012.331-346

 


 

BIODATA PENULIS

Nama               : Asep Irama. M. Pd

TTL                 : Tugumulyo, 05/08/1990

Alamat            : Ds. Sukorejo Kec. STL Ulu Terawas

Pekerjaan         : Guru
Email               :
asepiramaad@gmail.com

No hp              : 082280279143

Fb                    : @asepirama_ad

                                        

Penulis adalah seorang guru yang telah mengabdi di dunia pendidikan sejak tahun 2013. Pendidikan strata satu (S1) saya tempuh di STAIN Curup pada tahun 2009 hingga 2013, dengan mengambil jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI). Selanjutnya, saya melanjutkan studi pascasarjana (S2) pada tahun 2016 hingga 2018 di IAIN Curup, dengan konsentrasi pada Jurusan Manajemen Pendidikan Islam. Saya telah menikah dan dikaruniai dua orang anak. Dalam keseharian, saya aktif mengelola yayasan yang saya dirikan sendiri, yang menaungi lembaga pendidikan formal (sekolah) dan nonformal (les anak sekolah). Saat ini, saya mengelola dua sekolah, yaitu TKIT Al Ahkam dan SDIT Al Ahkam, yang berdiri sejak tahun 2023. Selain itu, saya juga mengelola sembilan cabang lembaga les Nabaca Al Ahkam yang tersebar di wilayah Kabupaten Musi Rawas.

Penulis memiliki ketertarikan yang besar di bidang kerelawanan. Sejak tahun 2018 hingga saat ini, saya aktif sebagai volunteer di Dompet Dhuafa Sumatera Selatan. Selain itu, saya juga aktif dalam berbagai organisasi, baik yang bersifat nonpemerintah (NGO) maupun organisasi profesi. Saat ini, saya dipercaya untuk memimpin lima organisasi komunitas dan dua organisasi profesi di bidang keguruan. Dalam bidang literasi, saya telah empat kali menulis dan dua kali menerbitkan buku antologi. Ketertarikan saya dalam menulis selalu muncul dari keresahan terhadap berbagai fenomena yang saya alami maupun saya amati di tengah masyarakat.