Tradisi Budaya Baritan Surodadi: Warisan Budaya Sakral Dari Musi Rawas
Penulis: Siti
Riszky Agustina
(Tulisan Telah dipulikasikan berbentuk Buku dengan Judul "Dari Rejang Hingga Nugal Padi : Tradisi Budaya Masyarakat Musi Rawas" Antologi Karya Luaran Bimtek Kepenulisan Berbasis Konten Lokal yang diselenggarakan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Musi Rawas)
A.
Pendahuluan
Baritan merupakan tradisi yang ada di Surodadi. Salah
satu warisan budaya Jawa tradisional yang berkembang dan tetap bertahan di
tengah masyarakat Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. Hingga kini, tradisi
ini masih lestari dan terus dijaga keberadaannya. Baritan bukan sekadar
kegiatan budaya, melainkan juga mencerminkan hubungan spiritual antara manusia,
leluhur, dan alam semesta. Sejak pertama kali saya pindah ke Desa Surodadi,
Kecamatan Tugumulyo, saya mulai memiliki ketertarikan terhadap budaya yang ada
di daerah ini.
Saya menemukan sebuah tradisi yang
jarang, bahkan belum pernah saya ketahui sebelumnya ketika masih tinggal di
Kota Lubuklinggau. Sejak saat itu, tumbuh keinginan dalam diri saya untuk
menelusuri makna di balik tradisi budaya yang lekat dengan bulan sakral dan
pertunjukan wayang kulit tersebut. Namun, dalam proses penelitian ini, saya
menghadapi sejumlah hambatan. Salah satu kendala utama adalah kesulitan dalam
menemukan sumber rujukan yang valid atau narasumber ahli yang memahami sejarah
munculnya tradisi budaya Baritan ini.
Tradisi Baritan di Sumatera Selatan, termasuk di Kabupaten
Musi Rawas, tergolong sebagai ritus agraris tradisional yang mirip dengan
bentuk syukuran panen di daerah lain, seperti Sedekah Bumi atau Seren Taun.
Tradisi ini telah ada sejak masa pra-Islam sebagai bentuk ungkapan syukur dan
permohonan keselamatan. Struktur ritual Baritan dibentuk secara kolektif,
biasanya dilaksanakan pada malam hari dengan rangkaian doa dan makan bersama.
Meskipun penelitian lokal mengenai
Baritan, khususnya di Musi Rawas, masih tergolong langka, dokumen dari
Balai Riset Kebudayaan menunjukkan bahwa Baritan telah tercatat sebagai bagian
dari Warisan Budaya Takbenda di kabupaten tersebut. Pelaksanaannya umumnya
dilakukan pada awal musim tanam, saat panen, atau ketika warga menghadapi
musibah tertentu. Baritan berfungsi sebagai ritual tolak bala sekaligus menjadi
sarana untuk menjalin hubungan spiritual dengan leluhur dan alam.
Baritan merupakan adat yang diwariskan secara
turun-temurun dari nenek moyang. Tradisi ini pertama kali
diselenggarakan oleh Ki Porso Singo Yudro pada tahun 1896, ketika desa sedang
dilanda wabah penyakit. Dalam kondisi tersebut, masyarakat mengadakan wiridan
sebagai bentuk permohonan keselamatan, yang kemudian menjadi cikal bakal
tradisi Baritan. Menurut Kadriguno Potro, keturunan kelima dari leluhur desa
tersebut, istilah Baritan berasal dari kata wiridan yang mengalami perubahan seiring
waktu karena penyesuaian dialek masyarakat setempat. Meski mengalami perubahan
istilah, makna tradisi ini tetap sebagai wujud permohonan perlindungan dan
keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Anggi Dwi N.L., 2019).
B.
Asal Usul Tradisi Budaya Baritan
Baritan diperkirakan telah ada sejak zaman nenek
moyang masyarakat Musi Rawas, terutama di kalangan masyarakat pedesaan. Tradisi ini
merupakan wujud rasa syukur atas hasil panen yang melimpah atau atas
keselamatan dari bencana alam. Nama “Baritan” diyakini berasal dari kata
“baris” atau “berjajar” yang menggambarkan kebersamaan warga dalam satu barisan
untuk berdoa dan makan bersama.
Tradisi Baritan yaitu upacara yang dilaksanakan untuk menolak
wabah penyakit. Tradisi Baritan bagi masyarakat Indramayu dijadikan sebagai
tali mempererat silaturahmi bahkan sebagai menolak wabah penyakit yang melanda,
hal ini bagian dari kegiatan Tradisi Baritan. (Budiman, 2018).
Ritual
Baritan umumnya dilaksanakan pada malam hari di tempat
terbuka, seperti di halaman rumah kepala desa atau di pinggir sawah. Makanan
hasil bumi disusun dalam tampah atau dulang, kemudian dibacakan doa-doa oleh
tetua adat atau tokoh agama sebagai bentuk permohonan keselamatan dan berkah.
Di Desa
Surodadi, Kabupaten Musi Rawas, tradisi Baritan secara
rutin dilaksanakan setiap memasuki bulan Suro berdasarkan kalender Jawa.
Tradisi ini
berawal dari peristiwa wabah penyakit atau pageblug yang pernah melanda desa tersebut. Wabah
tersebut menimbulkan ketakutan dan memakan banyak korban jiwa, sehingga
masyarakat kemudian mengadakan tradisi Baritan sebagai bentuk tolak bala.
Wabah pageblug
tersebut mengakibatkan jatuhnya korban sebanyak 2 hingga 5 orang setiap
harinya, bahkan lebih. Karena banyaknya warga yang meninggal, masyarakat
kesulitan untuk menggali liang kubur, sehingga dalam satu liang kubur bisa
dimakamkan hingga empat jenazah sekaligus. Dari total sekitar 218 kepala
keluarga (KK), diperkirakan 200 KK meninggal dunia, sementara 18 KK lainnya
memilih mengungsi ke desa tetangga seperti Desa L. Sidoharjo, Mataram, dan F.
Trikoyo.
Setelah
wabah mereda, hanya tersisa lima orang penduduk di Desa Surodadi, yaitu Bapak
Sastro Utomo (Katimin), Bapak Notosuwito, Bapak Atim, dan Bapak Warijan. Mereka
kemudian bermusyawarah untuk mencari solusi agar desa tetap bertahan. Hasil
musyawarah tersebut memutuskan untuk mencari seorang paranormal atau orang
pintar guna mencari jalan keluar dari musibah yang menimpa desa.
Akhirnya,
mereka menemukan seorang tokoh spiritual bernama Pak Kumis yang tinggal di
wilayah Kewedanaan Muara Beliti. Pak Kumis menyampaikan petunjuk spiritual agar
dilakukan sebuah bentuk pengorbanan untuk keselamatan desa, yang dikenal
sebagai tumbal.
Persyaratan
tersebut:
1.
satu ekor kambing kendit
2.
satu ekor ayam putih
3.
satu meter kain putih
4.
dua buah kelapa hijau muda
5.
ketan putih dan ketan hitam
(dimasak)
6.
takir plontang
7.
takir pecok bakal
8.
pisang raja sekembaran
9.
dupa untuk ritual
10.
bunga 7 rupa
11.
Kopi dan Teh sepasang
Sumber: (Pemangku Adat Desa Surodadi, Sarman) / Gambar 1. Ritual pembacaan doa
Persyaratan di atas digunakan untuk melakukan tradisi sedekah yang dikenal dengan kata Baritan dan prosesi sakral ini selalu dilakukan di bulan suro.
C.
Hubungan
Baritan dengan Kalender Jawa
Tradisi Baritan selalu dilaksanakan pada bulan Suro dalam
kalender Jawa. Bulan Suro dipandang sebagai bulan suci dan sakral, sehingga
menjadi waktu yang tepat untuk menggelar tradisi Baritan. Tradisi ini merupakan
bentuk permohonan akan keselamatan, kesuburan, serta penolakan terhadap bala,
menjadikan acara ini sarat dengan nuansa kesakralan.
Tradisi Baritan termasuk ke dalam tipe kebudayaan abangan
dalam ranah keagamaan, karena merupakan hasil perpaduan dari berbagai unsur
sistem kepercayaan yang hidup di tengah masyarakat. Dalam penanggalan Jawa,
bulan Suro bertepatan dengan tanggal 1 Muharam dalam kalender Hijriah.
Memasuki
bulan Suro, masyarakat akan melaksanakan berbagai prosesi budaya, seperti
penyembelihan hewan sebagai syarat pembersihan desa misalnya kerbau, sapi, atau
kambing. Prosesi ini biasanya disertai dengan pertunjukan wayang kulit khas
yang dipersembahkan bagi masyarakat keturunan suku Jawa di wilayah Musi
Rawas.
D.
Rangkaian Ritual dan Simbolik
Baritan memiliki rangkaian tahapan:
- Persiapan:
a.
Warga membawa hasil bumi seperti
ketan, pisang, telur, dan sayuran.
b.
Dibuatkan "sesajen" yang
ditata rapi di tampah atau dulang.
- Pembukaan:
a.
Dipimpin oleh tokoh adat.
b.
Pembacaan doa bersama.
- Puncak Acara:
a.
Makan bersama dalam suasana khidmat
dan kekeluargaan.
b.
Kadang diiringi musik tradisional
dan tarian rakyat.
- Penutupan:
a.
Bersih-bersih dan doa penutup.
b.
Ada yang menyebarkan makanan ke
warga tidak hadir (simbol berbagi).
Sumber: (Dokumentasi Desa Surodadi,) / Gambar 1.1 Rangkaian Ritual Simbolik
Simbolik yang
terdapat pada tradisi baritan :
1.
Spiritualitas: Menghormati
Tuhan dan leluhur.
2.
Sosial: Memperkuat
kebersamaan, gotong royong, dan solidaritas antar masyarakat.
3.
Adaptasi Lokal: Baritan di Musi Rawas merupakan bentuk modifikasi
ritus agraris umum, disesuaikan dengan adat lokal dan kepercayaan masyarakat
setempat.
E.
Narasi dan Cerita Rakyat dalam Baritan
Menurut
penuturan lisan para tetua adat di desa-desa wilayah Musi Rawas, tradisi
Baritan bermula sebagai respons terhadap gangguan
seperti wabah penyakit atau bencana alam. Pada masa itu, masyarakat mengadakan
doa bersama serta mempersembahkan makanan hasil bumi sebagai bentuk nazar.
Setelah ritual tersebut dilakukan, mereka merasakan adanya perlindungan dan
pemulihan dari musibah yang terjadi. Oleh karena itu, tradisi Baritan dianggap
sakral dan diwariskan secara turun-temurun kepada anak cucu.
Secara
konseptual, Baritan sering dijelaskan berasal dari kata “baris”,
yang merujuk pada kegiatan masyarakat yang membentuk barisan doa dan makan
bersama pada malam hari. Kegiatan ini kerap disertai prosesi keliling desa atau
pelaksanaan ritual tertentu, yang memiliki kemiripan tematik dengan tradisi
“buritan” di beberapa daerah lainnya.
Sumber: (Dokumentasi Desa Surodadi, Maryawan) / Gambar 3.2 Berdoa bersama
F.
Cerita Rakyat Desa Surodadi Diserang Wabah Pageblug
Penduduk
Desa Surodadi sebagian besar bekerja sebagai petani dan pekebun. Desa ini
memiliki banyak jalur akses yang menghubungkan ke beberapa desa di sekitarnya,
misalnya Desa L. Sidoharjo, Desa K. Kalibening, Desa Q1. Tambah Asri, dan Desa
B. Srikaton.
Di
tengah jalan utama desa, tepatnya di sebelah selatan desa, terdapat sebuah
lubang alam. Lubang alam ini sangat terkenal dengan kesan angker dan dipercaya
tidak boleh diganggu. Padahal, lubang tersebut pernah ditimbun oleh warga
setempat. Konon, siapa pun yang mengganggu lubang tersebut akan mendapat
malapetaka, baik itu menimpa hewan maupun manusia.
Saat
malam tiba, hampir semua penduduk yang tinggal di sekitar lubang tersebut tidak
dapat tidur dengan nyenyak, bahkan ada yang tidak tidur sama sekali. Salah satu
warga, yang bernama Bapak Kromomejo, pernah mengalami gangguan dari makhluk
misterius yang muncul dari lubang itu.
Beberapa
hari kemudian, Pak Kromomejo kembali didatangi oleh makhluk halus tersebut. Ia
merasakan firasat buruk yang diyakini akan menimpa desa, akibat dari penimbunan
lubang alam tersebut. Ternyata, firasat itu benar-benar terjadi. Wabah pageblug
pun melanda masyarakat Desa Surodadi.
G.
Nilai-Nilai Budaya dalam Baritan
Baritan mengandung banyak nilai luhur:
- Kearifan
lokal: Mengajarkan masyarakat untuk menghargai
alam.
- Solidaritas
sosial: Mempererat hubungan antar warga.
- Spiritualitas:
Mendekatkan diri pada Tuhan dan leluhur.
- Kesetaraan: Semua
orang duduk bersama, tanpa membedakan status sosial.
H.
Penutup
Pelaksanaan tradisi Baritan di tengah masyarakat Surodadi, Musi Rawas,
merupakan warisan budaya yang senantiasa melekat sebagai identitas yang tak
terlupakan. Nama "Baritan" berasal dari kata baris
atau berjajar,
yang menggambarkan kebersamaan warga dalam satu barisan doa serta kegiatan makan
bersama.
Tradisi ini menciptakan masyarakat yang lebih
bersyukur kepada Sang Pencipta, menjaga keharmonisan dalam bertetangga, merawat
kelestarian alam, serta mengedepankan musyawarah dalam mencari Solusi terbaik.
Baritan merupakan bagian dari budaya takbenda yang terus hidup dan berkembang
di tengah masyarakat saat ini.
Daftar Pustaka
Budiman,
Arif. 2018. Tradisi Baritan di Desa Krasak Kecamatan Jatibarang Kabupaten
Indramayu. Skripsi: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Falah,
Fajrul. 2020. ‘Makna Simbolik Sesaji Tradisi Baritan di Asemdoyong Pemalang Jawa Tengah. Dalam Endogami:
Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi. Vol. 4 No. 1. Hal. 109-117.
Kaplan,
David dan Robert A. Manners. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Marzuki.
2006. ‘Tradisi dan Budaya Masyarakat Jawa dalam Perspektif
Islam. Dalam Kajian Masalah Pendidikan dan Ilmu Sosial ‘INFORMASI’. Vol.
32. No. 1.
Niels,
Mulder. 1983. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. Jakarta:
Gramedia.
Pambudi,
O. S. 2014. ‘Upaya Pelestarian Tradisi Baritan dalam Upacara Adat Sedekah Bumi di Desa
Kdungwringin Kecamatan Sempor Kabupaten Kebumen’. Dalam Aditya –Jurnal
Pendidikan, Bahasa dan Budaya Jawa. Vol. 4. No. 4. Hal 15-22.
Rokhaniawan,
Aulia. 2006. Ritual Adat Baritan Menurut Persepsi Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata dan Masyarakat Desa Gawang Kecamatan Kebonagung Kabupaten Pacitan.
Skripsi: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sholikhin,
Muhammad. 2010. Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa. Jakarta: PT
Suka Buku Kita.
Wahyuningtias
dan Nia Dwi Astuti. 2016. ‘Analisis Nilai-Nilai Dalam Tradisi Baritan sebagai Peringatan Malam Satu Syuro di Desa
Wates Kabupaten Blitar’. Dalam Prosiding Seminar Nasional Pendidikan 2016
“Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Kearifan Lokal dalam Era
MEA”. Vol. 1. Hal. 134-138.
Endraswara,
Suwardi. 2003. Mistik Kejawen Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam
Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi.
BIODATA PENULIS
~ Riwayat Pendidikan
SD : SD Negeri 58
Lubuklinggau (2009-2015)
SMP : SMP Negeri L. Sidoharjo (2015-2018)
SMA : SMA Negeri Tugumulyo (2018-2021)
PT : Universitas
PGRI Silampari (2021)
