Punjung Wali
Penulis:
Muzayanah
(Tulisan Telah dipulikasikan berbentuk Buku dengan Judul "Dari Rejang Hingga Nugal Padi : Tradisi Budaya Masyarakat Musi Rawas" Antologi Karya Luaran Bimtek Kepenulisan Berbasis Konten Lokal yang diselenggarakan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Musi Rawas)
A. Pendahuluan
|
D |
i daerah
perbatasan Musi Rawas yaitu Desa Bumi Makmur, kecamatan Muara
Lakitan. Desa tersebut memiliki latar
belakang masyarakat yang majemuk.
Dulunya daerah ini termasuk desa
transmigrasi, yang berasal dari pulau Jawa dan Kalimantan. Lalu berasimilasi
dengan penduduk lokal sebagai penduduk asli.
Mata pencaharian utama penduduknya adalah penyadap getah karet, bekerja
sebagai buruh harian di PT MHP (Musi Hutan Persada), yakni perusahaan hutan
tanaman industri Chalytus sebagai bahan baku pembuatan kertas. Selain itu juga
ada sebagian yang bekerja sebagai pedagang.
Karena masyarakatnya majemuk maka terdapat beragam adat istiadat. Salah
satunya adalah Punjung Wali. Yakni prosesi sebelum melangsungkan akad
nikah. Prosesi ini sangatlah unik karena punjung wali menjadi simbol utama
dalam pernikahan di desa Bumi Makmur.
B. Tradisi
Menurut KBBI, tradisi adalah pola, prilaku,
keyakinan, atau praktik yang diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya dalam suatu masyarakat atau kelompok. Tradisi juga
adalah sebuah bentuk perbuatan yang berulang-ulang dengan cara yang sama
dan cenderung terjadi secara tidak sadar. Kebiasaan yang diulang-ulang ini
dilakukan secara terus menerus karena di nilai bermanfaat bagi sekelompok orang (Saputra dkk., 2022).
C. Punjung Wali
Punjung Wali merupakan penamaan kebiasaan yang akan di
lakukan setiap ada pernikahan (Muslimah dkk., 2019). Namun sayangnya tidak semua pernikahan yang
ada di desa Bumi Makmur dan sekitarnya
ada punjung walinya. Karena Punjung Wali hanya diadakan oleh calon pengantin
perempuan asli warga Musi.
Punjung wali adalah sesuatu pintaan dari calon mempelai perempuan kepada calon mempelai laki-laki. Tujuan pemberian punjungan sebagai penghormatan dan juga permintaan agar di dalam pernikahan nanti bersedia menjadi wali. Yakni ayah dari calon pengantin perempuan atau wali pengganti)
D. Bentuk – Bentuk Punjung Wali
Dari
wawancara bersama tokoh adat (Habli, komunikasi
pribadi, 2025) menjelaskan bahwa di desa Bumi Makmur. Bentuk
Punjung Wali bermacam-macam yakni:
1. Punjung Wali Utama
Punjung
wali utama merupakan punjung wali yang wajib, karena merupakan simbol dari
tradisi. Sebagai bentuk izin minta wali kepada ayah (wali) calon pengantin perempuan.
Adapun
bentuk dari punjung wali utama adalah, Piring yang di
bungkus oleh kain yang berisi:
a. Setangkai
pinang muda
b. Kain tujuh rupa
c. Pisau germany ( pisau rangka)
d. Sekapur sirih
yang siap untuk di inang ( Elem )
e. Rokok satu
bungkus
f. Uang minimal Rp
10.000
2. Punjung Wali Pendamping
Punjung
wali pendamping merupakan punjung wali sebagai pendamping dari punjung wali
utama. Walaupun sifatnya pendamping namun tetap
harus ada karena tidak akan sah apabila dalam punjung wali tersebut
tidak ada makanannya .Jadi bisa di katakan punjung wali apabila ada punjung
wali utama dan punjung wali pendamping.
Punjung
wali pendamping berbentuk Makanan yang sudah masak yaitu: Ayam kampung besar
yang di masak secara utuh, di ungkep cuma di pisahkankan jeroan nya, lalu di
campur lagi setelah di bersihkan atau di masak dengan bumbu santan yang di
sebut juga opor ayam (Nuke dkk., 2019)
(Sumber: Koleksi Penulis) / Gambar: Punjung wali baru tiba di rumah calon mempelai wanita
Selain itu juga sampingan dari ayam tersebut
adalah bungkusan nasi, kelapa muda di iris memanjang yang irisannya tidak
memutus, di tambah lagi dengan sayuran berupa sambal telur, sambal tempe, mie
kuning atau mie putih. Untuk nasinya ada yang di bentuk seperti kerucut, kelapa
mudanya di potong memanjang yang dililitkan pada nasi yang berbentuk kerucut. Tetapi ada juga yang
nasinya sudah di bungkus dari daun pisang berjumlah banyak atau di hitung
sesuai dengan keluarga wali perempuan.
Ada
juga jenis punjung wali yang ayamnya lebih dari satu. yaitu antara dua sampai
sepuluh, pintaan yang di sesuaikan dengan saudara laki-laki dari ayah calon
pengantin perempuan.
E. Prosesi Serah Terima Punjung Wali
Dalam serah terima punjung
wali di lakukan oleh tokoh adat atau tokoh masyarakat yang di tunjuk dari
keluarga kedua calon mempelai. Dilakukan sebelum akad nikah (Armelyani, 2018)
1.
Proses Penyerahan Punjung
wali .
Punjung wali itu diserahkan oleh tokoh adat yang ada di desa Bumi
Makmur. Sebelum berangkat, rombongan
calon pengantin laki-laki membawa hantaran itu, yang ada di barisan paling
depan adalah punjung wali. Selanjutnya adalah hantaran yang akan di bawa ke tempat
calon pengantin perempuan.
Setelah
sesampai di rumah pihak calon mempelai perempuan, Punjung wali itu di
letakkan di tengah-tengah keluarga dari kedua belah pihak. Dalam proses penyerahan punjung wali tersebut, Pihak dari calon
mempelai laki-laki memberikan ucapan penyerahan punjung wali (yang di wakili
oleh tokoh adat tersebut) lalu menyerahkan yang pertama bungkusan piring yang
berisi pinang muda, pisau, Elem, uang dan rokok. Lalu barang yang lainnya
berupa Ayam dan perlengkapan makanan yang akan di hidangkan untuk makan bersama
keluarga. Semua barang tersebut setelah di serahkan di letakkan di tengah-
tengah keluarga inti dari pihak calon mempelai perempuan.
2. Proses Penerimaan Punjung wali
Dalam penerimaan punjung
wali tersebut, Pihak dari calon pengantin
perempuan memberikan ucapan penerimaan punjung wali (yang di wakili oleh
tokoh adat yang di tunjuk oleh keluarga calon pengantin perempuan) lalu
membuka bungkusan piring yang berisi
pinang muda, pisau, Elem, uang dan rokok. Kemudian mengambil bungkusan rokok, di buka di ambil
sebatang lalu di serahkan kepada orang
yang menyerahkan punjung wali.
Apabila penerima Punjung wali tersebut melakukan hal tersebut,
berarti ayah atau wali dari calon pengantin perempuan bersedia
menjadi wali. Setelah itu juga mengambil pisau
dan kain tujuh warna. Pisau tersebut di
bungkus dengan salah satu dari kain tujuh rupa. Kemudian menyerahkan kepada
Ayah atau wali dari calon pengantin perempuan.
Adapun kain 7 rupa, pisau herder germani tersebut di gulung di dalam salah satu kain lalu digunakan untuk duduk calon mempelai
perempuan ketika pelaksanaan akad nikah. Maksud dan tujuan kain 7 rupa juga
pisau yang diduduki tersebut adalah sebagai pengganti anak perempuannya yang
telah di nikahkan agar tidak merasa
kehilangan.
Setelah di gunakan untuk duduk akad nikah, pisau itu di
berikan kepada Bapak atau wali dari pempelai wanita juga kainnya itu diserahkan
untuk ibu si mempelai wanita. Pisau melambangkan kebiasaan orang sumatera
apabila kemana-mana membawa pisau.
Lalu barang yang
lainnya berupa Ayam dan perlengkapan makanan yang akan di hidangkan untuk makan
bersama keluarga. Semua barang tersebut setelah di serahkan di letakkan di
tengah- tengah keluarga inti dari pihak calon mempelai perempuan.
Sumber: ( Habib Hasyim Asngari ) / Gambar 2 : Serah terima Punjung Wali Oleh ketua Adat
Sumber: Dokumen Penulis / Gambar 3 : setelah punjung wali diserahkan
F. Makan bersama
punjung wali
Setelah
serah terima punjung wali, dan ada kesepakatan untuk menjadi wali anaknya, lalu
acara pelaksanaan ijab qabul dilaksanakan (Nuke dkk., 2019). Ketika penghulu sudah menyebut kata sah ynng
disaksikan seorang wali, maka selanjutnya punjung wali tersebut gunanya untuk
makan bersama-sama dari keluarga . untuk pertama kali yang makan dari punjung
wali yaitu Bapak atau wali dari pihak perempuan, kedua mempelai, keluarga inti
dari mempelai perempuan juga dari orang tua kedua mempelai
Setelah selesai acara pernikahan , Punjung
wali tersenut di makan bersama-sama dengan kedua mempelai, Wali dari pengantin
perempuan, kedua Orang tua dan keluarga.
Sumber: Dokumen Penulis / Gambar 4: Makan punjung wali bersama keluarga
G. Penutup
Tradisi dan adat punjung wali yang ada di desa Bumi Makmur, Kecamatan muara Lakitan, kabupaten Musi Rawas, masih di gunakan oleh sebagian warga desa bumi Makmur, Dengan adat kebiasaan Punjung Wali tersebut banyak juga manfaatnya bagi masyarakat. Sesuatu yang menjadi kebiasaan untuk menghargai, menghormati, antara kedua keluarga dalam menjalin hubungan sebuah pernikahan. Dengan harapan setelah menikah berkat doa dari semua keluarga pengatin akan bisa menjadi keluarga yang sakinah, mawadah warohmah. Tradisi ini juga banyak memberikan manfaat bagi khususnya keluarga, juga bagi masyarakat.
H. Daftar Pustaka
Armelyani, S. (2018). Pandangan Hukum Islam Dan Tokoh Masyarakat
Curup Timur Terhadap Adat “Bemaling” Pada Suku Rejang [Undergraduate, IAIN
Curup]. https://e-theses.iaincurup.ac.id/507/
Habli. (2025). Wawancara dengan
tokoh adat Desa Bumi Makmur [Komunikasi pribadi].
Muslimah, S., Kisworo, B., &
Syah, M. (2019). Tradisi Pelarian Anak Gadis di
Pernikahan Suku Musi Desa Mambang
Kabupaten Musi Rawas Ditinjau dari Urf
[Undergraduate, IAIN Curup]. https://e-theses.iaincurup.ac.id/2269/
Nuke, W. L. D., Agus, W., &
Elza, I. (2019). Kajian Kelaikan Fisik Untuk Higiene Sanitasi Makanan Opor
Ayam Yang Disajikan Di Rumah Sakit Umum Daerah Sleman [Skripsi, Poltekkes
Kemenkes Yogyakarta]. https://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1161/
Saputra, M. F., Taufik, M. I.,
Syadiah, H. T., Fadila, N., Hafizah, Hafiza, N., & Rezkiana, F. (2022).
Peta Aset Budaya Pada Masyarakat Desa Watunonju. Menara Kearifan: Jurnal
Pengabdian Masyarakat, 1(2), Article 2.
BIODATA PENULIS
Saat ini, ia tengah menempuh pendidikan pada Program Studi
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), semester VIII, di Universitas Terbuka
Palembang. Pengalaman organisasinya meliputi keaktifan dalam Muslimat NU dan
menjadi pengurus IGTKI-PGRI Kecamatan Muara Lakitan. Ia juga pernah menjabat
sebagai Kepala TK Az-Zahro di Desa Bumi Makmur. Muzayanah telah menorehkan
prestasi sebagai Juara I Kepala TK Berprestasi dan Berdedikasi di tingkat
kabupaten, provinsi, hingga nasional.
