Breaking News

Budaya Rasa Memiliki (Sense of Belonging) Belum Terwujud


Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Dewan Pakar Bakti Persada Masyarakat Sumatera Selatan)  

Jendelakita.my.id. - Beberapa waktu lalu, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 2025, diadakan panel diskusi antara Bakti Persada Masyarakat Sumatera Selatan dengan Pemerintah Kota Palembang. Tema yang diangkat adalah “Palembang Kota Layak Huni.” Salah satu sorotan utama dalam diskusi tersebut adalah masalah peran serta masyarakat. Namun, dalam praktiknya, budaya rasa memiliki sebagai warga Kota Palembang, khususnya terhadap para wisatawan, belum menunjukkan tanda-tanda positif. Masyarakat masih memegang kuat slogan “budaya lokal” tanpa diimbangi dengan sikap terbuka terhadap tamu dan pengunjung.

Beberapa waktu yang lalu, setidaknya terdapat tiga contoh kasus yang mencerminkan hal tersebut. Pertama, saat viral berita “kehilangan rendang yang dimasak di pelataran Benteng Kuto Besak.” Kedua, dalam sebuah kegiatan berskala nasional, beberapa atlet yang berasal dari Provinsi Papua Barat diperas oleh tukang pembuat tato dengan bayaran yang sangat fantastis, yaitu satu juta rupiah, dan kejadian tersebut juga berlangsung di lokasi yang sama, yakni Benteng Kuto Besak (BKB).

Kasus ketiga terjadi baru-baru ini. Berdasarkan berita yang dilansir oleh Tribun Sumsel pada Rabu, 5 November 2025, terjadi peristiwa yang kurang menguntungkan bagi wisatawan yang berkunjung ke Kota Palembang. Mereka bermaksud berwisata ke Pulau Kemaro dengan menumpang speedboat kecil. Kesepakatan awal harga pulang-pergi adalah sebesar Rp150.000,00. Namun, saat perjalanan pulang, pengemudi speedboat tersebut meminta tambahan bayaran sebesar Rp200.000,00. Setelah terjadi negosiasi, akhirnya disepakati penambahan Rp100.000,00. Meskipun demikian, pengemudi speedboat itu masih mengejar para wisatawan hingga ke Jembatan Ampera. Tindakan tersebut menimbulkan kesan negatif hingga para wisatawan menyatakan bahwa mereka jera (kapok) untuk berkunjung kembali ke Palembang.

Dengan melihat tiga contoh kasus di atas, menurut pengamatan saya selaku kolumnis dan pengamat sosial budaya, khususnya dari sektor pariwisata, Palembang belum dapat dikategorikan sebagai kota layak huni, terutama bagi para pelancong baik lokal maupun internasional. Hal ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah daerah, khususnya instansi yang berkaitan dengan bidang kepariwisataan, keamanan, serta kenyamanan warga dan wisatawan.

Budaya rasa memiliki (sense of belonging) masih berhadapan dengan budaya “lokak” dalam arti negatif. Kondisi ini harus segera dihilangkan agar cita-cita menjadikan Palembang sebagai kota layak huni dapat terwujud sebagaimana diimpikan semua pihak.

Dalam bidang kepariwisataan, sudah seharusnya Palembang meniru kota-kota yang diminati para pelancong seperti Pulau Dewata Bali, Yogyakarta, dan daerah wisata lainnya. Setidaknya perlu dibuat pos pelayanan terpadu di sekitar kawasan Benteng Kuto Besak, yang meliputi loket informasi wisata, loket resmi pembayaran ongkos transportasi (misalnya menuju Pulau Kemaro), pos keamanan (polisi pariwisata), pos kesehatan, dan fasilitas lainnya. Yang tidak kalah penting adalah keberadaan loket pengaduan yang aktif setiap hari agar wisatawan merasa aman, nyaman, dan terlindungi selama berkunjung ke Kota Palembang.