Tempe Semangit: Basi Namun Dicintai
Penulis: Dian Yuvita Sari
(Tulisan Telah dipulikasikan berbentuk Buku dengan Judul "Dari Rejang Hingga Nugal Padi : Tradisi Budaya Masyarakat Musi Rawas" Antologi Karya Luaran Bimtek Kepenulisan Berbasis Konten Lokal yang diselenggarakan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Musi Rawas)
A.
Pendahuluan
ernah dengar tentang tempe? Tempe
merupakan makanan tradisional Indonesia yang dibuat melalui proses fermentasi
biji kedelai menggunakan jamur Rhizopus oligosporus. (Nout & Kiers, 2005). Fermentasi
ini menyebabkan kedelai menyatu menjadi bentuk padat yang mudah dipotong dan
diolah menjadi berbagai masakan (Nout & Kiers, 2005). Tempe kaya akan protein nabati, serat, dan
vitamin B. Bagi masyarakat yang tidak menyukai daging, tempe sering menjadi
pilihan utama sebagai sumber protein. Tempe berasal dari Indonesia, khususnya
dari daerah Jawa, dan telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Bahkan, tempe
sudah dikonsumsi pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613–1645). Pada abad
ke-20, popularitas tempe mulai menyebar ke berbagai pulau lain di Indonesia hingga
ke mancanegara (Nugroho, 2023).
Tempe merupakan
makanan khas dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Seiring berjalannya waktu dan
meningkatnya kepadatan penduduk di Pulau Jawa, pemerintah Indonesia menggagas
program transmigrasi, yaitu memindahkan penduduk dari Jawa ke daerah lain yang
masih jarang penduduk, seperti Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Dalam proses
ini terjadi asimilasi, yakni penyatuan dua kelompok budaya yang berbeda,
seperti masyarakat Jawa yang ditransmigrasikan ke Pulau Sumatra. Proses asimilasi
tersebut berlangsung melalui interaksi sosial, ekonomi, dan budaya.
Berdasarkan tingkat fermentasinya,
masyarakat mengenal tiga jenis tempe, yaitu tempe segar (fermentasi 1–2 hari),
tempe semangit (fermentasi 5 hari), dan tempe bosok (fermentasi 7 hari atau
lebih). Tempe bosok, meskipun memiliki aroma menyengat dan penampilan yang
gelap, diminati karena cita rasa khasnya yang unik. (Hanna, 2024)
Sumber: Koleksi Pribadi / Gambar Tempe sudah mengalami fermentasi awal
B.
Perpaduan Budaya dalam Olahan Tempe Semangit
Dalam proses asimilasi, salah satu
bentuk nyata yang terjadi adalah interaksi budaya, seperti halnya budaya
masyarakat Jawa yang terbiasa mengonsumsi olahan tempe. Budaya ini kemudian
berpadu dengan selera masyarakat Sumatera yang cenderung menyukai cita rasa
pedas dan kaya rempah. Hasilnya, muncul beragam kreasi kuliner yang memadukan
kekhasan dua daerah tersebut.
Jika ditelusuri lebih jauh, tempe
ternyata tidak hanya dikonsumsi dalam bentuk hasil fermentasi pertama. Tempe
juga dapat dinikmati setelah melalui proses fermentasi lanjutan, yang dikenal
dengan sebutan tempe semangit. Tempe semangit memiliki aroma yang lebih
tajam serta cita rasa yang lebih kuat dibandingkan tempe segar (Hizkia Raja Purwandito,
2021).
Menurut Juriyah “Tempe semangit atau tempe basi dapat muncul karena kebiasaan
masyarakat tempo dulu yang membuat tempe dalam jumlah besar, sedangkan pada
masa itu belum tersedia alat pendingin di rumah.” Ketika tempe dibiarkan selama
tiga hingga lima hari, tempe akan mengalami proses lanjutan dan menjadi
semangit. Alih-alih membuangnya, masyarakat Jawa memiliki prinsip, “Ora ilok
panganan dibuang, eman-eman,” yang berarti tidak baik membuang makanan,
sayang jika disia-siakan. Oleh karena itu, tempe semangit pun diolah kembali
menjadi masakan yang lezat.
Pada masa lampau, tidak semua rumah
memiliki lemari pendingin. Tempe yang tersisa dan belum diolah akan terus
mengalami fermentasi jika tidak disimpan dalam pendingin. Masyarakat pun berpikir
kreatif agar bahan makanan yang sudah melewati masa segar tetap dapat
dimanfaatkan. Dengan demikian, tempe yang mulai basi dapat diolah menjadi
hidangan yang tetap lezat dan aman untuk dikonsumsi.
C.
Tidak Semua Tempe Bisa dijadikan Tempe Semangit
Dalam proses pemanfaatan tempe
semangit, diperlukan kehati-hatian. Hal ini karena tempe semangit yang aman dan
layak konsumsi harus berasal dari tempe segar yang mengalami proses fermentasi
secara benar, bukan dari tempe busuk yang tidak melalui fermentasi atau sudah
tidak layak konsumsi. Tempe yang tidak layak tersebut dapat mengandung bakteri
patogen atau senyawa beracun, seperti asam bongkrek.
Menurut Ghaffar (2023), asam
bongkrek merupakan salah satu senyawa toksik mitokondrial yang dihasilkan oleh
bakteri Burkholderia gladioli pathovar cocovenenans. Kontaminasi
ini dapat terjadi apabila tempe tidak disiapkan secara higienis, baik pada saat
proses pembuatan maupun dalam penyimpanan yang tidak tepat.
Kondisi tempe yang dibungkus daun
atau plastik juga sering kali menunjukkan hasil fermentasi yang tidak merata.
Salah satu contoh adalah munculnya bagian tempe yang disebut orong-orongen.
Menurut Suyanti (2025), orong-orongen adalah bagian tengah tempe yang
masih berupa kedelai utuh dan menghasilkan bau tidak enak atau bau asam,
sementara bagian sekitarnya sudah matang. Keadaan ini umumnya
disebabkan oleh proses pembuatan yang kurang bersih dan pencampuran ragi yang
tidak merata.
Sumber: Koleksi Pribadi / Gambar Tempe yang sudah mulai mengalami fermentasi lanjutan 1 hari
D.
Kondisi Kejiwaan Saat Pembuatan Tempe
Apakah dalam pembuatan tempe
diperlukan mood yang baik?. Secara teknis, pembuatan tempe tidak
bergantung pada mood atau suasana hati pembuatnya. Proses produksi tempe lebih
ditentukan oleh ketelitian, kebersihan, dan penerapan teknik yang benar. Namun
demikian, mood tetap memiliki pengaruh terhadap kualitas hasil akhir. Menurut
Suyanti ”kondisi hati yang bahagia, sedih, lelah dan sebagainya dapat
mempengaruhi produktivitas dalam pencampuran bahan pembuatan tempe sehingga
berpengaruh terhadap hasil akhir dari fermentasi tempe itu.” Suasana hati yang
baik dapat mendukung seseorang untuk bekerja lebih sabar, telaten, dan penuh
perhatian terhadap detail, sedangkan suasana hati yang buruk, seperti marah
atau kelelahan, cenderung membuat seseorang bekerja terburu-buru, kurang teliti,
dan kurang fokus.
Untuk menghasilkan tempe yang
higienis, tidak hanya diperlukan proses pengolahan yang tepat, tetapi juga
perhatian terhadap aspek kebersihan secara menyeluruh. Kebersihan bahan baku,
fasilitas dan peralatan produksi, lingkungan kerja, serta pengemasan merupakan
faktor penting yang harus dijaga (Santoso & Cori, 2023). Setiap tahapan,
mulai dari perendaman dan perebusan kedelai, pengupasan kulit, pengeringan,
pencampuran ragi secara merata, hingga proses fermentasi dengan suhu yang sesuai,
menuntut ketelitian dan konsistensi.
E.
Tempe Semangit bukan hanya digemari
Masyarakat Jawa
Tempe yang dulunya hanya digemari oleh
masyarakat Jawa, kini telah disukai oleh berbagai kalangan di seluruh daerah di
Indonesia, termasuk di Sumatera. Di Sumatera Barat dan Sumatera Selatan, tempe
semangit kerap diolah menjadi masakan yang memiliki aroma kuat karena kaya akan
bumbu, sesuai dengan karakter khas kuliner daerah tersebut.
Meskipun tempe semangit bukan merupakan makanan
tradisional utama di Sumatera Selatan, masyarakat Jawa beserta keturunannya
yang telah merantau ke daerah tersebut—khususnya di wilayah Tugumulyo, yang
juga dikenal dengan sebutan daerah Mirasi—mengolah tempe semangit dengan cara
yang khas. Biasanya, resep yang digunakan merupakan hasil adaptasi dari kuliner
Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan penyesuaian terhadap bahan serta selera
lokal.
Sumber: Koleksi Pribadi / Gambar Tempe fermentasi 3 hari
Sumber: Koleksi Pribadi / Gambar Tempe fermentasi lanjutan tidak layak konsumsi
F.
Jenis Olahan Tempe Semangit Khas Sumatera Selatan
Ada beberapa olahan tempe semangit
yang telah menyesuaikan dengan selera lokal, salah satunya adalah sambal tempe
semangit (sambal tumpang). Hidangan ini menggunakan bahan utama berupa tempe
semangit yang dipadukan dengan cabai merah, cabai rawit, bawang putih, bawang
merah, kencur, santan, daun salam, dan lengkuas. Perpaduan bahan tersebut
menghasilkan cita rasa yang pedas, gurih, dan sedikit asam (Hamidah &
Fadli, 2023).
Keunikan dari kuliner sambal tumpang
terletak pada bahan utamanya yang berbeda dari sambal pada umumnya, yakni
menggunakan tempe yang mengalami fermentasi lanjutan atau terfermentasi berlebih.
Di daerah Kediri, bahan ini dikenal dengan sebutan tempe
bosok. Yang dimaksud dengan tempe bosok adalah tempe segar yang
dibiarkan selama beberapa hari hingga mengalami proses fermentasi lebih lanjut,
sehingga menghasilkan aroma dan rasa khas.
Selain diolah menjadi sambal tempe
semangit, bahan ini juga sering digunakan sebagai campuran dalam masakan sayur
lodeh. Sayur lodeh dengan tempe semangit kerap disajikan dalam acara masak
bersama di lingkungan pedesaan, seperti dalam kegiatan guyub
rukun di daerah Tugumulyo.
Tempe semangit juga dapat diolah
sebagai campuran dalam aneka tumisan, seperti tumis kacang panjang, tahu,
terong, teri, kangkung, daun pepaya, bayam, genjer, dan daun singkong.
Kombinasi tersebut menghasilkan hidangan dengan rasa gurih, asam yang ringan,
serta aroma khas hasil fermentasi.
Di tengah arus modernisasi dan
perubahan gaya hidup, tempe semangit tetap bertahan sebagai bagian dari warisan
budaya kuliner yang layak dilestarikan. Bahkan, kini banyak masyarakat dari
berbagai latar belakang suku, tidak hanya dari suku Jawa, mulai kembali melirik
olahan tradisional ini karena keunikan rasanya dan kandungan nutrisinya yang
tetap baik meskipun telah mengalami fermentasi lanjutan.
G.
Tempe sebagai Sumber Protein dan Senyawa Bioaktif
Tempe merupakan
salah satu bahan pangan yang mengandung protein tinggi, yaitu sebesar 20,29%
(Parhusip dkk., 2023). Selain kandungan proteinnya yang signifikan, tempe juga
dikenal memiliki beragam nutrisi yang bermanfaat bagi kesehatan. Penelitian
yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (Jurnal Teknologi Hasil Pertanian,
2017) menunjukkan bahwa tempe semangit—varian tempe yang telah mengalami
fermentasi lebih lanjut—mengandung lebih banyak senyawa bioaktif, seperti
isoflavon aglikon dan peptida bioaktif. Senyawa-senyawa tersebut diketahui
memiliki potensi untuk:
- Menurunkan tekanan darah,
- Bertindak sebagai antioksidan, dan
- Meningkatkan pencernaan protein.
Tempe semangit
tetap memiliki kandungan gizi yang tinggi, khususnya protein nabati, asam
amino, vitamin B kompleks, serta senyawa bioaktif hasil fermentasi yang baik
untuk sistem pencernaan. Kandungan gizi tempe semangit dapat meningkat apabila
diolah dengan berbagai rempah-rempah, sebagaimana kebiasaan masyarakat Sumatera
Selatan. Dalam kesehariannya, masyarakat daerah tersebut kerap menggunakan
kunyit, lengkuas, cabai, serai, bawang putih, bawang merah, jahe, dan terasi
dalam pengolahan bahan pangan.
Rempah-rempah
tersebut kaya akan antioksidan, senyawa antiinflamasi, serta berbagai vitamin
dan mineral yang bermanfaat bagi tubuh. Oleh karena itu, penggabungan tempe
semangit dengan rempah-rempah khas nusantara tidak hanya memperkaya cita rasa,
tetapi juga meningkatkan nilai gizi dan manfaat kesehatannya.
H.
Penutup
Perpaduan antara tempe semangit dan rempah khas Palembang tidak
hanya menghasilkan cita rasa yang lezat, tetapi juga menyuguhkan hidangan yang
menyehatkan serta mampu meningkatkan daya tahan tubuh. Pelestarian tempe
semangit tidak hanya dilakukan melalui resep yang diwariskan secara
turun-temurun, tetapi juga melalui edukasi mengenai cara pengolahan yang aman
dan higienis. Dengan upaya tersebut, generasi muda tetap dapat menikmati dan
mengenal kekayaan kuliner warisan leluhur mereka, sekaligus menjaga budaya yang
kaya akan rasa dan makna serta patut untuk dilestarikan.
I.
Daftar Pustaka
Hamidah, A. M.,
& Fadli, A. V. (2023). Nasi Tumpang: Halal Food dan Pendongkrak Ekonomi
Masyarakat Kediri. Journal of Islamic Tourism, Halal Food, Islamic
Traveling, and Creative Economy, 3(1), 34–55.
https://doi.org/10.21274/ar-rehla.v3i1.7353
Hizkia Raja
Purwandito, H. R. (2021). Pengaruh Jenis Kacang-kacangan dan Konsentrasi
Larutan Back-slop Pada Mutu Bumbu Penyedap Tempe Semangit. [Skripsi, Universitas Sahid Jakarta]. https://repository.usahid.ac.id/1419/
Nout, M. J. R., & Kiers, J. L.
(2005). Tempe Fermentation, Innovation And Functionality: Update Into The
Third Millenium. Journal of Applied Microbiology, 98(4), 789–805.https://doi.org/10.1111/j.1365-2672.2004.02471.x
Nugroho, S. P. (2023). Wisata
Gastronomi Makanan Tradisional Yogyakarta melalui Storynomic.
Media Wisata, 21(2), Article 2.
https://doi.org/10.36276/mws.v21i2.524
Pengembangan Tempe Bosok sebagai
Alternatif Penyedap Rasa yang Memberikan Efek Positif Terhadap Kesehatan. (2024a,Desember1).Biem.Co.https://www.biem.co/read/2024/12/01/106006/pengembangan-tempe-bosok-sebagai-alternatif-penyedap-rasa-yang-memberikan-efek-positif-terhadap-kesehatan/
Nout, M. J. R., & Kiers, J. L. (2005). Tempe Fermentation,
Innovation And Functionality: Update Into The Third Millenium. Journal
of Applied Microbiology, 98(4), 789–805.
https://doi.org/10.1111/j.1365-2672.2004.02471.x
Nugroho, S. P. (2023). Wisata Gastronomi Makanan Tradisional Yogyakarta melalui Storynomic. Media Wisata,
21(2), Article 2. https://doi.org/10.36276/mws.v21i2.524
Parhusip, A. J. N., Hartono, V. C., & Kristianto, E. (2023). Enhancing
the Hydrolyzed Amino Acid Content of OverripeTempeh through the Utilization of
Moringa Leaf Protease Enzyme.
Santoso, S., & Cori, C. (2023). Penguatan Kualitas Produksi
dan Pengemasan Tempe di Batu Tumbuh Jatiwaringin Bekasi. SIKAMA : Sinergi
Akademisi dan Masyarakat, 1(1), 1–6.
https://doi.org/10.61488/sikama.v1i1.1
Suyanti. (2025). Wawancara Peneliti dengan Ibu Suyanti pada Hari
Jum’at Tanggal 6 Juni 2025.
Biodata Penulis
Nama : Dian
Yuvitasari, S.Pd.
Tempat,
tanggal lahir : Tugumulyo, 08 Agustus 1990
Alamat : Jln Zainal
Abidin Ning, Desa Kalibening
Email :
dianyuvitasari8@gmail.com
- Sekolah
Dasar, SD Negeri Kalibening, lulus tahun 2002
- Sekolah
Menengah Pertama, SMP Negeri Tugumulyo, lulus tahun 2005
- Sekolah
Menengah Atas, SMA Negeri Tugumulyo Linguistik Terapan, lulus tahun 2008
- S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, STKIP-PGRI Lubuk Linggau, lulus tahun 2012
Hasil
Karya:
- Buku
Antologi Cerpen “Aksara pada Bumantara” (buku fiksi, 2022)
- Buku Antologi Puisi Guru Nusantara “Nanyian Hujan di Waktu Senja” (buku fiksi, 2022)
Aktivitas
Profesional:
- Guru
Bahasa Indonesia di SMA Negeri Tugumulyo, sejak tahun 2012 hingga sekarang
- Pernah
mengajar di SMK Negeri Tugumulyo
- Pembina
ekskul LIBRA “Literasi Bahasa, Jurnalistik dan Sastra” di SMA Negeri
Tugumulyo
- Guru Les Private
Hobi:
Membaca buku serta mengoleksi
buku-buku dari penulis favorit sebagai sumber inspirasi.
