Breaking News

Tradisi “Nugal Padi” Menanam Harapan



Penulis: Ari Yansa

(Tulisan Telah dipulikasikan berbentuk Buku dengan Judul "Dari Rejang Hingga Nugal Padi : Tradisi Budaya Masyarakat Musi Rawas" Antologi Karya Luaran Bimtek Kepenulisan Berbasis Konten Lokal yang diselenggarakan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Musi Rawas)

 

A.   Pendahuluan

Desa Suro merupakan salah satu dari sebelas desa yang berada di Kecamatan Muara Beliti, Kabupaten Musi Rawas, yang juga memiliki satu kelurahan. Luas wilayah desa ini mencapai 4.506,65 hektare, dengan jumlah penduduk sebanyak 3.663 jiwa (Heriska, Agustian, dan Mutaqin 2023). Desa Suro berjarak sekitar 4 kilometer dari pusat Kabupaten Musi Rawas dan sekitar 225 kilometer dari ibu kota provinsi.

Sejarah dan asal-usul nama Desa Suro bermula dari sebuah dusun pada masa lampau yang bernama Dusun Suro. Warga di dusun tersebut dikenal sebagai "Orang Suro". Dusun inilah yang kemudian menjadi cikal bakal nama Desa Suro (Mardilah, Verolyna, dan Valentine 2023).

Menurut cerita yang diwariskan secara turun-temurun, pada suatu masa terdapat dua orang Suro yang melakukan perjalanan menuju Dusun Lidung (sekitar 5 kilometer dari pusat desa). Mereka sempat singgah di Hutan Senaning, namun kemudian menghilang tanpa jejak. Beberapa hari kemudian, warga desa baru mengetahui bahwa keduanya telah berpindah ke dusun lain. Ketika keduanya dikabarkan hendak menghadap tokoh adat di Ujung Tanjung Sari Bulan, tempat tersebut akhirnya dikenal dengan sebutan "Suro Melangun".

Sumber: Dokumen Penulis / Gambar Desa Suro

Nama “Suro” sendiri berakar dari julukan penghuni awal, yakni "Orang Suro". Cerita mengenai dua orang Suro yang merantau ke daerah sekitarnya turut memperkuat identitas nama desa ini. Pada akhirnya, wilayah tersebut secara resmi diakui sebagai Desa Suro dalam administrasi Kecamatan Muara Beliti, Kabupaten Musi Rawas.

Sebagian besar penduduk Desa Suro bermata pencaharian sebagai petani, peternak, serta pengelola kebun, lahan sawah, dan daratan. Selain itu, terdapat pula usaha budidaya unggas, seperti ayam berugo. Di bidang pendidikan, Desa Suro memiliki jaringan sekolah mulai dari jenjang SD, SMP, hingga SMA, yang terdiri atas sekolah negeri dan swasta, termasuk sekolah Islam berbasis boarding school (Juliana, Sofiarini, dan Aswarliansyah 2024).

Desa Suro secara rutin menyelenggarakan tradisi adat seperti Sedekah Bumi dan Nugal Padi, yang merupakan bentuk ritual syukur masyarakat tani. Tradisi ini dilakukan secara gotong royong dan ditandai dengan persembahan hasil bumi seperti tumpeng, ketan, ayam ingkung, dan sebagainya. Perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (HUT RI) juga berlangsung secara meriah, dengan berbagai lomba seperti panjat pinang, futsal, makan kerupuk, karaoke, serta dukungan penuh dari perangkat desa dan masyarakat (Juliana dkk. 2024).

Wilayah Desa Suro termasuk dalam wilayah kebudayaan Musi Rawas dan Sumatra Selatan, sehingga kuliner khasnya bercita rasa gurih, asam, pedas, dan berbumbu kuat. Salah satu makanan khas yang terkenal adalah pindang pegagan, yang memiliki cita rasa asam pedas dengan kekayaan rempah-rempah.

Desa ini juga memiliki beragam alat tradisional, seperti penjepit ikan bakar dari bambu pipih yang digunakan untuk memanggang ikan di atas bara api secara merata. Dalam tradisi Sedekah Bumi, masyarakat juga menggunakan peralatan khas seperti wadah tumpeng, lesung dan alu kayu, serta buluh. Selain itu, terdapat pula seni bela diri tradisional yang disebut kutau, yakni seni bela diri lokal yang kadang melibatkan alat seperti tongkat bambu (Lidiantari dkk. 2024).

Desa Suro memiliki kekayaan kuliner dan peralatan tradisional yang mencerminkan kedekatan masyarakatnya dengan alam. Bambu, kayu, dan hasil hutan dimanfaatkan sebagai alat rumah tangga maupun perlengkapan memasak. Budaya gotong royong dan nilai spiritual tercermin dalam kebiasaan memasak bersama dalam upacara adat seperti Sedekah Bumi dan Nugal Padi. Identitas lokal juga tercermin melalui makanan khas seperti pindang pegagan serta upaya pelestarian alat tradisional seperti tugal dan canting batik.

B.    Gotong Royong

       Secara bahasa, gotong royong berasal dari dua kata. Kata gotong berarti memikul atau mengangkat, sedangkan royong berarti bersama-sama(Dewanti, Alhudawi, dan Hodriani 2023). Dengan demikian, gotong royong dapat diartikan sebagai kegiatan memikul atau mengerjakan sesuatu secara bersama-sama. Dalam pengertian yang lebih luas, gotong royong merupakan semangat untuk bekerja sama tanpa mengharapkan imbalan demi tercapainya tujuan bersama (Mawardi, Mulyana, dan Amalia 2024).

Beberapa ahli menjelaskan makna gotong royong sebagai berikut:

1.      Koentjaraningrat (antropolog Indonesia) menyatakan bahwa gotong royong adalah bentuk kerja sama dalam masyarakat yang sangat erat kaitannya dengan semangat kebersamaan, serta merupakan salah satu ciri khas dari budaya Indonesia.

2.      Soekarno (Presiden Republik Indonesia pertama) menggambarkan gotong royong sebagai pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, serta perjuangan bantu-membantu dengan jiwa kolektif, yaitu kerja sama yang didasarkan pada semangat kekeluargaan.

3.      Mohammad Hatta menjelaskan bahwa gotong royong adalah asas yang menjadi dasar kehidupan sosial di desa-desa, di mana masyarakat hidup saling membantu untuk mencapai kesejahteraan bersama.

C.   Tradisi “Nugal Padi” Menanam Harapan

Apa Itu Nugal Padi?

Nugal padi adalah istilah dalam bahasa daerah, khususnya di Jawa dan beberapa daerah lainnya, yang merujuk pada kegiatan menanam padi secara tradisional (Fusnika, Hartini, dan Kardiman 2025). Teknik ini dilakukan dengan cara melubangi tanah lalu memasukkan benih padi ke dalam lubang tersebut. Proses nugal umumnya diterapkan saat menanam padi gogo (padi ladang) yang tumbuh di lahan kering, yaitu lahan yang tidak dialiri air secara terus-menerus seperti sawah.

Berbeda dengan menanam padi di sawah yang menggunakan bibit dan ditanam satu per satu dengan teknik tandur, metode nugal menggunakan benih yang langsung ditanam ke tanah. Dalam pelaksanaannya, nugal kerap dilakukan secara gotong royong oleh warga desa. Kegiatan ini dikenal sebagai gotong royong nugal padi, yaitu menanam padi secara bersama-sama oleh tetangga atau anggota komunitas, tanpa imbalan, dan dilakukan dengan semangat kebersamaan serta kekeluargaan. Biasanya, gotong royong nugal dilakukan secara bergilir di lahan milik warga yang membutuhkan bantuan tenaga (Bungatang, Rosvita, dan Yani 2025).

Tradisi menanam padi dengan metode nugal telah ada sejak zaman prasejarah, khususnya pada masa Neolitikum (sekitar 2.500–1.500 SM). Pada masa itu, masyarakat Indonesia mulai beralih dari pola hidup nomaden—yang bergantung pada berburu dan meramu—menjadi menetap dan bercocok tanam. Karena teknik pertanian masih sangat sederhana dan belum mengenal sistem irigasi, maka padi ditanam di ladang kering dengan cara nugal (Pambudi dan Utami 2020).

Dalam kehidupan masyarakat agraris tradisional, nugal tidak hanya dipandang sebagai kegiatan ekonomi semata, tetapi juga mengandung unsur budaya dan sosial (Pambudi dan Utami 2020). Misalnya, banyak daerah yang menyelenggarakan upacara adat sebelum proses nugal dimulai. Upacara tersebut sering kali berupa persembahan atau sesajen kepada leluhur atau dewa kesuburan, seperti Dewi Sri, dengan tujuan memohon berkah agar panen melimpah dan terhindar dari hama.


Sumber:jesica helena/pd  /  Gambar Proses Nugal Padi

Selain itu, aspek gotong royong juga sangat menonjol dalam tradisi nugal. Para warga saling membantu menanam padi secara bergiliran. Kegiatan ini biasanya disertai dengan kebiasaan makan bersama di ladang, baik dengan membawa bekal dari rumah masing-masing maupun memasak bersama. Tradisi ini menjadi sarana untuk mempererat tali persaudaraan dan memperkuat nilai-nilai sosial di antara warga desa (Bungatang dkk. 2025).

D.   Cara Pelaksanaan Nugal

Nugal biasanya dilakukan secara berkelompok (gotong royong) dengan pembagian tugas yang jelas. Adapun langkah-langkah pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

1.      Membuat Lubang Tanam

Orang pertama menusukkan tugal ke dalam tanah sedalam kurang lebih 3–5 cm. Jarak antarlubang sekitar 25–30 cm, atau disesuaikan dengan kebiasaan lokal.

2.      Memasukkan Benih

Orang kedua atau ketiga bertugas memasukkan 3–5 butir benih ke dalam setiap lubang yang telah dibuat.

3.      Menutup Lubang Tanam

Setelah benih dimasukkan, lubang ditutup kembali menggunakan tanah. Penutupan dapat dilakukan dengan kaki atau menggunakan alat ringan.

4.      Bergerak Maju Secara Berbaris

Kelompok petani biasanya bergerak maju sambil bekerja, sehingga tercipta barisan tanaman yang rapi dan teratur.

E.    Keunggulan Metode Nugal

Metode nugal memiliki beberapa keunggulan, antara lain:

  • Praktis, karena tidak memerlukan proses pembibitan dan penanaman ulang.
  • Cocok untuk lahan kering, pegunungan, atau ladang tadah hujan.
  • Tidak memerlukan sistem irigasi.
  • Dapat dilaksanakan secara gotong royong, memperkuat semangat kebersamaan.

F.    Kelemahan atau Keterbatasan

Meskipun memiliki keunggulan, metode nugal juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu:

·         Hasil panen umumnya lebih rendah dibandingkan dengan penanaman padi sawah.

·         Rentan terhadap serangan hama dan kondisi kekeringan.

·         Pertumbuhan tanaman cenderung tidak merata.

·         Ketergantungan penuh terhadap curah hujan.

 

G.   Penutup

Gotong royong merupakan salah satu nilai luhur dalam budaya bangsa Indonesia yang mencerminkan semangat kebersamaan, solidaritas, serta kerja sama antaranggota masyarakat dalam mencapai tujuan bersama. Kegiatan ini dilakukan secara sukarela, tanpa pamrih, dan dilandasi oleh rasa kepedulian serta tanggung jawab sosial terhadap lingkungan maupun sesama.

Praktik gotong royong tidak hanya terbatas pada kegiatan fisik, seperti kerja bakti atau membantu tetangga, tetapi juga mencakup aspek sosial, ekonomi, keamanan, dan budaya. Nilai-nilai seperti keikhlasan, kekeluargaan, dan persatuan menjadi landasan utama dalam pelaksanaan gotong royong di tengah masyarakat.

Salah satu bentuk konkret dari nilai gotong royong adalah "gotong royong nugal", yaitu kegiatan bersama dalam proses bertani. Kegiatan ini menjadi wujud nyata nilai sosial dan budaya masyarakat, yang tidak hanya memperkuat ikatan antarwarga dan meringankan beban pekerjaan, tetapi juga berperan penting dalam melestarikan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun.

 

H.   Daftar Pustaka

Bungatang, Bungatang, Ita Rosvita, Dan Nurul Fitrah Yani. “Revitalisasi Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Melalui Nilai Gotong Royong Dalam Tradisi Pattaungeng Masyarakat Bugis Soppeng.” Deiktis: Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra 5, No. 2 (27 Mei 2025): 853–59. Https://Doi.Org/10.53769 /Deiktis.V5i2.1556.

Dewanti, Palisa Aulia, Usman Alhudawi, Dan Hodriani Hodriani. “Gotong Royong Dalam Memperkuat Partisipasi Warga Negara (Civic Participation).” Pancasila And Civics Education Journal (Pcej) 2, No. 1 (15 Maret 2023): 15–22. Https://Doi.Org/10.30596/ Pcej.V2i1.13753.

Fusnika, Fusnika, Agnesia Hartini, Dan Robi Tori Kardiman. “Implementasi Nilai – Nilai Pancasila Dalam Tradisi Lokal Begawai Pada Suku Dayak Seberuang Ensilat Kabupaten Kapuas Hulu.” Jurnal Pekan : Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan 10, No. 1 (1 Mei 2025): 19–28. Https://Doi.Org/10.31932 /Jpk.V10i1.4709.

Heriska, Rifaldo, Endy Agustian, Dan Zenal Mutaqin. “Analisis Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan Di Desa Suro, Kecamatan Muara Beliti, Kabupaten Musi Rawas.” Region : Jurnal Pembangunan Wilayah Dan Perencanaan Partisipatif 18, No. 2 (31 Juli 2023): 504–16. Https://Doi.Org/10.20961/Region.V18i2.67115.

 

 

 


 

BIODATA PENULIS

Ari Yansa adalah seorang laki-laki yang berasal dari Desa Suro, Kecamatan Muara Beliti, Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatra Selatan. Ia lahir di Desa Suro pada tanggal 28 Juni 2006. Ari merupakan anak keenam dari enam bersaudara. Sejak kecil, ia telah menunjukkan sikap tanggung jawab dan kepedulian terhadap keluarganya. Ia memiliki hobi dalam bidang traveling dan editing. Saat ini, Ari sedang menempuh pendidikan tinggi di salah satu perguruan tinggi di Kota Lubuklinggau. Dengan semangat belajar yang tinggi dan tekad yang kuat, ia terus berupaya meraih cita-citanya demi membanggakan keluarga serta membawa nama baik daerah asalnya. Ari sangat gemar mencoba hal-hal baru. Ia senang mengeksplorasi pengalaman yang dapat memperkaya pengetahuan dan wawasannya.