Breaking News

Teori Resepsi Kembali Ke Sistem Hukum Indonesia

Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan

Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)

JENDELAKITA.MY.ID - Istilah Resepsi di zaman kolonial maupun awal pasca kemerdekaan sangatlah populer di kalangan studi ilmu hukum.

Sekedar mengingatkan bahwa teori Resepsi mengalami Pase perkembangan setidak tidaknya ada 3 phase makna.

Pertama teori Resepsi dicetuskan oleh sarjana Belanda bernama Prof. Van Keyzer dan Prof. Van den Bosch. Yang mengatakan bahwa hukum adat suatu masyarakat yang beragama Islam akan sama seperti hukum agama masyarakat tersebut ( teori ini disebut teori receptio in complektio).

Di masa itu sedang populer penelitian tentang hukum adat. Prof. Van den Bosch akhirnya menemukan kompilasi tentang hukum adat yang di Sumatera Selatan di sebut Simbur Cahaya.

Kedua, teori Resepsi yang menentang teori Resepsi yang disampaikan oleh Prof. Van Keyzer dan Prof Van den Bosch.

Adalah teori dari Prof. Snouck Hurgronje juga berkebangsaan Belanda yang mengatakan bahwa yang benar adalah Hukum agama/Islam baru diterima atau berlaku setelah diresepsi oleh Hukum Adat (Teori kedua ini disebut teori receptio).

Ketiga, dari kedua pendapat tersebut lahirlah Teori dari Prof Hazairin guru besar hukum adat dan hukum Islam di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, bersama sama dengan Sayuti Thalib, SH, mengeluarkan buku berjudul Reseptio a contrario, bahwa mengatakan hukum adat itu baru berlaku setelah diresepsi oleh Hukum agama/Islam.

Sehingga beliau menggunakan istilah " teori iblis " untuk membantah teorinya Snouck Hurgronje tersebut.

Kembali ke fokus tulisan kita apa yang dimaksudkan dengan Teori Resepsi kembali ke sistem hukum Indonesia.

Di sini penulis secara kajian teori mengatakan bahwa teori Resepsi tersebut lahir kembali namun pokok bahasan menyangkut hukum adat (hukum yang hidup dalam masyarakat) dengan hukum negara/tertulis.

Bahwa setelah berlakunya undang-undang nomor 1 tahun 23 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana, di satu sisi mengakui keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat, namun di sisi yang lain pengakuan tersebut bila telah diresepsi oleh hukum tertulis yaitu Peraturan Daerah.

Artinya hukum adat tidak  otomatis diberlakukan digali oleh seorang hakim saat menegakkan keadilan dan kebenaran. Tapi terlebih dahulu harus telah mempunyai dasar hukumnya yaitu peraturan daerah.

Ini menimbulkan persoalan baru bahwa tidak mudah bagi lembaga pembuat perda untuk melakukan hal dimaksud karena banyak faktor pemahaman dari oknum oknum yang ada di lembaga eksekutif maupun legislatif.

Apakah selama itu juga (sebelum ada perda) hukum adat yang disebut hukum yang hidup dalam masyarakat terabaikan. Tentu ini inkonsisten dengan nilai nilai Pancasila.

Sebagaimana disampaikan oleh Prof Dr. Suripto, SH, guru besar hukum adat di universitas Brawijaya Malang di saat menyampaikan pidato pengukuhan nya Hukum Adat dan Pancasila Dalam Pembinaan Hukum Nasional tahun 1956, bahwa Pancasila adalah cerminan dari Hukum Adat.

Sejalan dengan pandangan Ir Soekarno saat pidato nya tanggal 1 Juni 1945, bahwa beliau adalah seorang penggali nilai nilai hukum adat yang akhirnya disebutkan dengan Pancasila.

Artinya di sini bahwa pengakuan hukum yang hidup dalam masyarakat yang dimaknai dalam Pasal 597 Kitab Undang Undang Hukum Pidana sama dengan bunyi pasal pasal dalam aturan zaman kolonial Belanda misalnya dalam aturan 11 AB. Bahwa hukum adat baru berlaku setelah diresepsi oleh undang undang.

Di sinilah yang penulis maksud bahwa teori Resepsi kembali ke sistem hukum Indonesia.

Kembali ke sejarah hukum Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum sebagai mana termaktub dalam Ketetapan MPRS no XX tahun 1966.

Terkait dengan penerapan otonomi daerah seluas-luasnya, maka dalam perkembangan muncul peraturan daerah yang dibuat dalam rangka memberikan regulasi yang mengakomodir keragaman dan kekhasan masing-masing daerah.

Namun dalam perjalanan nya banyak ditemukan peraturan daerah yang kemudian terbukti bertentangan dengan peraturan lebih tinggi atau dibatalkan karena tidak sejalan dengan cita cita bangsa Indonesia.

Pembentukan hukum di daerah sering hanya dipahami sebagai perkara teknis belaka tanpa memperhatikan proses sosial budaya dan politik nya mengakibatkan substansi nya menjadi carut marut dan inkonsisten. Tidak jarang subtansi sebuah peraturan daerah lebih banyak hasil contekan dari daerah lain.

Dengan demikian, maka munculah perda perda yang tidak berkualitas alias bermasalah bisa semakin menjamur (lihat Jawahir Thontowi, 2016).

Sebagai penutup dari tulisan ini dapat disimpulkan bahwa dalam sistem hukum Indonesia sekarang masih menganut sistem hukum yang diskriminatif, karena sistem hukum tertulis menjadi tujuan utama sedangkan subsistem hukum yang hidup dalam masyarakat masih di bawah bayangan hukum negara tertulis.

Padahal hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan cerminan dari nilai-nilai Pancasila yang bersifat terbuka.

Karena hukum yang hidup dalam masyarakat bersifat dinamis tidak kaku, seperti hukum tertulis. Hari ini diundang sekaligus hari itu pula dia tertinggi (hukum yang mati).***

*) Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumsel