Breaking News

Fenomena Sosial Bukan Mitos, Tapi Fakta


Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U.  

Jendelakita.my.id. -  Beredar kabar yang semula dianggap tidak masuk akal sehat, namun ternyata benar-benar terjadi. Setelah mengikuti berita yang tersebar di media sosial maupun media massa, diketahui adanya fenomena sosial yang cukup mengejutkan. Di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, tercatat sebanyak 20 orang Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), yang seluruhnya adalah perempuan, mengajukan izin gugat cerai ke kantor Dinas Pendidikan setempat. Mereka yang baru saja dilantik pada awal tahun 2025 itu mengajukan permohonan cerai dengan alasan ekonomi dan kemampuan untuk berdiri sendiri, sementara para suami mereka tidak memiliki pekerjaan tetap.

Lonjakan angka perceraian pada tahun yang sama tercatat cukup tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Menurut pemberitaan media, rata-rata para perempuan tersebut telah menjalani kehidupan rumah tangga selama lima tahun. Yang cukup menarik perhatian, mereka umumnya berprofesi sebagai guru, sebuah profesi yang selama ini dikenal terhormat dan menjadi panutan di lingkungan masyarakat. Namun, fenomena ini justru menjadikan mereka bahan perbincangan di berbagai kalangan, bahkan menjadi isu nasional yang menyebar ke seluruh Indonesia.

Jika dikaji dari sudut pandang ilmu budaya dasar, fenomena ini dapat diindikasikan sebagai pergeseran nilai, khususnya dari budaya kebersamaan antara suami dan istri dalam memenuhi kebutuhan hidup, menjadi budaya individual yang lebih menekankan pada kepentingan pribadi. Hal ini sejalan dengan teori Prof. M. M. Djojodigoeno, Guru Besar Ilmu Hukum Adat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, yang menyatakan bahwa masyarakat Indonesia telah mengalami pergeseran dari budaya guyub ke budaya untung rugi (materialistis). Pandangan serupa juga disampaikan oleh Prof. Iman Sudiyat, S.H., Guru Besar Ilmu Hukum Adat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, yang menyatakan bahwa masyarakat Indonesia telah berkembang dari sifat kebersamaan menuju fenomena individual.

Mungkinkah kasus di atas menunjukkan gejala pergeseran tersebut? Tentu hal ini memerlukan kajian dan penelitian lebih lanjut. Namun yang jelas, terdapat benang merah antara meningkatnya angka gugat cerai oleh istri terhadap suami dengan peningkatan kualitas hidup, khususnya dalam aspek ekonomi. Fenomena serupa juga terjadi di Kabupaten Pandeglang, Banten, Jawa Barat, di mana sebanyak 50 orang guru perempuan menggugat cerai suaminya setelah menerima Surat Keputusan pengangkatan sebagai Aparatur Sipil Negara maupun PPPK. Hal ini disampaikan oleh Kepala Bidang Ketenagakerjaan Dinas Pendidikan Kabupaten Pandeglang, Saudara Mukmin, melalui salah satu media sosial.

Para guru perempuan tersebut rata-rata berusia antara 40 hingga 45 tahun. Berbagai alasan dijadikan dasar untuk menggugat cerai, namun umumnya berkaitan dengan kehidupan rumah tangga yang kurang harmonis, termasuk karena suami tidak memiliki pekerjaan tetap dan hanya bekerja sebagai buruh harian. Fenomena-fenomena ini menunjukkan bahwa keretakan dalam rumah tangga sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian yang buruk. Tentu, hal ini tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab negara dalam menciptakan masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera dalam keadilan.