Breaking News

Optimalisasi Rumah Adat Di Dekranasda


Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U.  (Dewan Pakar Bakti Persada Masyarakat Sumatera Selatan)

Jendelakita.my.id. - Optimalisasi keberadaan rumah-rumah adat di kompleks Dekranasda masih menjadi persoalan yang dilematis. Kesan yang muncul dari rumah-rumah adat yang dibangun oleh masing-masing kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Selatan adalah bahwa rumah-rumah tersebut tidak diaktifkan sebagaimana mestinya sebagai simbol adat dan budaya masyarakat hukum adat masing-masing daerah.

“Kita bangga memiliki ragam budaya adat istiadat yang dikenal sebagai ‘Batang Hari Sembilan’, di mana sepanjang sembilan sungai tersebut menetap dan bermukim komunitas-komunitas masyarakat hukum adat. Namun dalam perkembangannya sangat jauh dari yang diharapkan.”

Padahal, pemerintah telah merelokasi kawasan untuk aktivitas yang bernuansa adat dan budaya, yaitu kawasan Dekranasda. Masalahnya tidak hanya terletak pada satu atau dua orang atau pada instansi pemerintah maupun swasta, tetapi menurut pengamatan penulis, ada banyak faktor yang menyebabkan kondisi ini menjadi terbengkalai.

Provinsi Sumatera Selatan sangat tertinggal dibandingkan provinsi-provinsi tetangga, seperti Provinsi Jambi, Lampung, Riau, dan Kepulauan Riau, yang perhatiannya terhadap perkembangan dan pelestarian adat istiadat sangatlah maju pesat. Memang, provinsi-provinsi tersebut memiliki dukungan dana yang cukup memadai untuk mengembangkan dan melestarikan adat istiadat mereka. Minimal, setiap provinsi yang disebutkan tadi telah memiliki Rumah Adat (Balai Adat) yang permanen dan membanggakan, lengkap dengan arsitektur dan simbol-simbol adat.

“Sementara itu, kita di Provinsi Sumatera Selatan sampai hari ini belum memilikinya (Rumah Adat/Balai Adat) seperti di Jambi, Riau, Kepulauan Riau, dan lain-lainnya.”

Menurut pengamatan penulis sebagai pengamat sosial budaya, kompleks Dekranasda Jakabaring sangat tepat dan strategis untuk dijadikan kawasan industri adat dan budaya yang mencerminkan kekayaan masing-masing kabupaten. Hal yang menjadi pertanyaan adalah: kenapa tidak dijadikan prioritas oleh pemegang kebijakan?

“Lingkungan sangat mendukung untuk didatangi oleh wisatawan lokal maupun internasional. Di sana sudah berdiri Pasar Induk (tinggal lagi direnovasi), kawasan perguruan tinggi, ada kampus Universitas Islam Negeri, dan ada arsitektur Masjid Ceng Cho dan lain sebagainya yang bisa dioptimalkan. Dan ini setidaknya menggerakkan perekonomian rakyat.”

Belum lagi kawasan Danau Jakabaring yang sangat menarik untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata alam dan budaya. Potensi ini akan dapat terwujud apabila pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, bersinergi dan bersama-sama mengaktifkan rumah-rumah adat yang telah berdiri kokoh di kawasan tersebut.

“Tentu semuanya terwujud kalau pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten, bersama-sama mengaktifkan rumah-rumah adat yang berdiri kokoh di kawasan tersebut. Dan itu memang memerlukan komitmen, baik dari lembaga legislatif sebagai lembaga yang memberikan support pendanaan maupun lembaga eksekutif yang mempunyai komitmen untuk memajukan seni dan budaya. Termasuk instansi swasta sebagai mitra pemerintah.”