Breaking News

Tanah Ulayat Lagi

Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumsel

Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)

JENDELAKITA.MY.ID - Persoalan tanah Ulayat tak henti hentinya menjadi berita di media massa baik cetak maupun elektronik.

Hari ini Jumat, 22 Desember 23 tepat memperingati hari ibu nasional.

Terbaca berita di harian lokal berjudul 900 Ha Tanah Ulayat Digarap Perusahaan.

Puluhan massa masyarakat adat Padang Lengkuas Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan, menggelar unjuk rasa di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Sumatera Selatan.

Hal ini dipicu tuntutan masyarakat adat Padang Lengkuas Kabupaten Lahat atas 900 Ha , yang telah kuasai perusahaan sawit sejak tahun 1995.

Masyarakat hukum Padang Lengkuas Kabupaten Lahat setelah melaporkan ke Kepala Badan Pertanahan Nasional, direspon oleh BPN Pusat tanggal 30 Agustus 2001 yang meminta Bupati Lahat mengadakan penelitian administrasi dan lapangan untuk menyelesaikan masalah dimaksud dengan mengacu pada Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Terlepas dari sengketa di atas , secara teoretis dan pelaku Pembina Adat Sumatera Selatan yang aktif sejak tahun 2000, mencoba membaca apa sebab sampai sekarang masalah hak Ulayat di Nusantara umumnya khususnya di Sumatera Selatan tidak pernah absen menjadi masalah berita bahkan kadang kadang berakibat korban harta dan jiwa.

Istirahat tanah Ulayat resmi digunakan oleh Undang Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 dalam Pasal 3 dan 5.

Pasal 3 UU No 5 tahun 1960 berbunyi Hak Ulayat tetap diakui sepanjang masih ada.

Pasal 5 UU No 5 tahun 1960. hukum Agraria bersumber dari Hukum Adat.

Terakhir dalam konstitusi kita UUD NKRI tahun 1945 Pasal 18 B ayat 2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisional nya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Secara normatif sepertinya tidak bermasalah, tetapi secara empiris hal tersebut jauh berbeda. Tentu ini ada faktor penyebabnya.

Secara teoritis penulis melihatnya penyebab utama adalah dari faktor Birokrasi hukum dan Sumber Daya Masyarakat.

Dari sisi normatif antara beberapa pengaturan masalah tanah tidak berjalan efektif.

Ambil contoh Permen Agraria Nomor 5 tahun 1999 tentang inventarisasi dan identifikasi tanah tanah hak Ulayat yang bermasalah tidak pernah dilakukan. Mengingat untuk melakukan tugas tersebut cukup rumit melibatkan lintas lembaga misalnya harus membentuk panitia di tingkat Provinsi dan Kabupaten kota dengan mengikutkan tokoh tokoh masyarakat (tokoh agama dan tokoh masyarakat) akademisi dan lain. Dan alasan klasik tidak punya anggaran dana untuk itu. Seperti nya persoalan ini bukan saja di Sumatera Selatan tapi bisa terjadi di Nusantara ini.

Kedua, persoalan yang mengikat karena adanya persyaratan persyaratan Limitatif dari rumusan kriteria keberadaan masyarakat hukum adat (sebagai subjek) apalagi masalah formalitas kepemilikan.

Kita tau karena Indonesia merupakan bekas jajahan Belanda yang masih menyisakan peraturan perundang-undangan dan pola berfikir bagi penyelenggaraan pemerintahan yang selalu berfikiran formalitas saja yang dikejar adalah bukti formal itu yang menyebabkan masyarakat hukum adat terutama memperjuangkan hak hak tradisional mereka khususnya hak Ulayat selalu menjadi korban.

Selain itu secara internal adanya kelemahan masyarakat hukum adat umumnya, Pemangku Adat khususnya tidak memiliki akses untuk bergerak karena keterbatasan birokrasi yang kurang mengerti sehingga semua program dan kegiatan terhambat.

Dulu lembaga Pembina Adat Sumatera Selatan berencana untuk membuat Peraturan Daerah khususnya di Kabupaten dan Kota guna menjadi dasar eksistensi masyarakat hukum adat untuk dapat menjadi subjek hukum di lembaga eksekutif, legislatif khusus yudikatif tidak berjalan mulus, karena tidak semua pengurus mengerti apa manfaatnya.

Mudah mudahan ke depan semua faktor faktor yang mempengaruhi jalannya perjuangan mempertahankan hak hak tradisional masyarakat hukum adat dapat terwujud.

DR. Saafroedin Bahar anggota Komnas HAM Republik Indonesia sub Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, dalam dokumen peringatan hari internasional masyarakat hukum adat di taman mini Indonesia indah tanggal 9 Agustus 2006, mengatakan bahwa dengan adanya empat persyaratan di dalam peraturan perundang-undangan yaitu kata Sepanjang masih hidup, Sesuai dengan perkembangan masyarakat dan zaman, berasas NKRI dan diatur dalam undang-undang.

Ini menunjukkan bahwa negara mengakui keberadaan masyarakat hukum adat SETENGAH HATI.

Terbukti sampai sekarang sejak draft RUU Perlindungan Masyarakat Hukum Adat disampaikan pada Pemerintah dan DPR RI belum berhasil disahkan. Sudah hampir puluhan tahun yaitu terhitung 2006 - 2023. Belum menjadi undang-undang.***

*) Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumsel