Hukum Itu Seni
![]() |
Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan |
Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)
JENDELAKITA.MY.ID - Sebagian
orang awam yang bukan menggeluti ilmu hukum terkesan bahwa hukum itu hanyalah
menghapal pasal pasal yang terdapat khususnya di dalam Kitab Undang Undang Baik
Perdata maupun Pidana (BW dan WvS).
Anekdot seperti itu penulis pernah dengar sesama ikut kuliah
di fakultas hukum setahun 1974. yang dikatakan oleh teman teman sejawat sewaktu
tamat SMA.
Setelah menggeluti dunia ilmu hukum baik sebagai teoritis
maupun praktisi (sempat menjadi advokat, karena PNS waktu itu larang merangkap
advokat maka saya milih dosen, walaupun ada juga beberapa teman merangkap tugas
baik sebagai teoritisi maupun praktisi).
Setelah kita membaca salah satu literatur yang menjadi
referensi saat itu byaitu bukunya terjemahan dari Van Apeldoorn, pengantar ilmu
hukum di salah satu sub bab nya menjelaskan bahwa hukum itu seni
Pada kesempatan ini penulis akan mengambil contoh berita
yang termuat di dalam salah satu media lokal berjudul. Keppres Pemberhentian
Firli Tidak Bisa Diproses.
Koordinator staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengatakan (Keppres)
tentang pemberhentian Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Firli
Bahuri tidak dapat diproses, lebih lanjut karena dalam surat tersebut yang
ditujukan kepada Presiden, Bapak Firli Bahuri tidak menyebutkan mengundurkan
diri, tetapi mengatakan BERHENTI (22/1/2023 via wa kepada redaksi).
Selanjutnya Ari Dwipayana mengatakan pernyataan Berhenti
TIDAK dikenal sebagai syarat pemberhentian pimpinan KPK sebagaimana diatur
dalam Pasal 32 Undang Undang KPK..
Artinya Keppres Pemberhentian tidak dapat diproses mengingat
Firli Bahuri tidak menyebutkan mengundurkan diri, tetapi menyatakan berhenti
yang bukan syarat pemberhentian pimpinan KPK ujar Ari Dwipayana (Sripo, 23
Desember 23 halaman 7).
Terlepas dari berita di atas kita tidak berkompeten
mengomentari nya. Tapi sebagai teoritisi menarik dianalisis dari kaca mata ilmu
hukum.
Membuktikan bahwa HUKUM Itu SENI, sebagai mana yang pernah
ditulis oleh pakar hukum Van Apeldoorn (siapa yang tidak kenal bagi tamatan di
bawah tahun 1980, karena mulai tahun 1980 literatur berubah karena sistem SKS
diterapkan).
Di mana seninya salah satunya adalah seni
menginterpretasikan secara gramatikal.
Gramatikal merupakan alat penemuan hukum di samping yang
lain).
Di mana letak gramatikal nya adalah pada kasus di atas
terletak pada kalimat BERHENTI dan MENGUNDURKAN DIRI .
Secara arti kalau dilihat di kamus secara harfiah memang
beda, tapi tidak cukup berpatokan pada kamus atau ensiklopedia saja.
Sebab di sana ada rasa suatu nilai yang sama MAKNA, yaitu
untuk melepaskan sesuatu yang dipegang/dijabat.
Ini yang dianut oleh aliran sosiologi jurispruden, yang
hidup subur di negara negara anglo Saxon.
Tapi untuk Indonesia yang pernah dijajah Belanda berbeda.
Karena Belanda juga meneruskan aliran kontinental yang beranjak dari hal yang
abstrak.
Sehingga mereka ini termasuk Indonesia menganut sistem
kontinental yang banyak menggunakan ajaran positivistik.
Namun karena perkembangan dan kebutuhan dunia hukum memasuki
alam globalisasi mau tidak mau hukum itu harus dinamis tidak kaku untuk membaca
hukum dalam aturan secara literlijk.
Tapi semua itu sah sah saja apalagi banyak kepentingan di
dalam nya.
Sama seperti yang penulis maksud di suatu pertemuan, kita
menggunakan kata istirahat, tapi dimaknai salah oleh teman teman seolah olah
istilah istirahat sama dengan berhenti atau mengundurkan diri menurut hukum tertulis.
Kalau mengundurkan diri harus dilalui secara resmi antara
lain mengirim surat kepada pejabat yang mengangkat kalau tidak , tidak bisa
dipakai sebagai dalil hukum.
Dan itu akan berdampak hukum baru yaitu bisa diselesaikan
melalui lembaga Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Itulah yang sebenarnya hukum adalah SENI membaca dan
menafsirkan aturan tertulis ke dalam alam fakta.
Kesemua aliran sosiologi jurispruden dan aliran kontinental
yang banyak dipengaruhi cara berfikir positif tertulis tentu ada plus minusnya.
Tidak semua sempurna, tergantung pada kasus yang dihadapi.
Makanya Prof. M.M. Djojodiguno SH guru besar ilmu hukum adat
mengatakan bahwa hukum itu ugeran (sebagai mana disampaikan oleh Prof Iman
Sudiyat SH bahwa ugeran itu bermakna uger maksudnya seperti hewan kambing atau
sapi lainnya yang sejenis diikatkan disuatu tempat dengan tali, maka hewan
tersebut akan keliling berjalan berputar semampu nya) itulah seninya.
Dalam bahasa ilmiah hukum modern yang ditulis oleh Prof. M.M
Djojodiguno SH berjudul Re Orientasi Hukum, menulis Hukum itu bukan di dalam
pasal pasal peraturan perundang-undangan tapi ada di dalam putusan/ vonis.
Setelah hakim berhasil mengidentifikasi dan
menginventarisasi suatu fakta dengan norma. Istilah inventarisasi dan
identifikasi istilah Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH., guru besar hukum acara
fakultas hukum universitas Gadjah Mada Yogyakarta dalam bukunya Pembentukan
Hukum dan Mengenal Hukum.
Teorinya Prof MM Djojodiguno SH ini populer disebut teori
LAYON (layon teori) hukum dalam bentuk norma dalam pasal pasal itu mati, dan
hidup setelah atau menjadi hukum bila telah melalui keputusan hakim atau
pejabat yang berwenang.
Itu lah bahwa HUKUM ITU SENI.***
*) Penulis adalah
Ketua Pembina Adat Sumsel