Breaking News

Daya Ikat Pancasila Sebagai Pandangan Hidup

Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan

Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)

JENDELAKITA.MY.ID - Konsekuensi Pancasila sebagai "Pandangan Hidup" secara umum menimbulkan daya ikat yang memaksa (binding force effectively).

Kandungan hak hak dan kewajiban serta tanggung jawab telah dipatuhi masyarakat dan aparat pemerintah.

Dalam bingkai yuridis, nilai nilai Pancasila berfungsi sebagai stabilisator atau pengembangan antara hak hak kebebasan dengan kewajiban kewajiban sekaligus tanggung jawab atas tegaknya kehidupan bernegara dan bermasyarakat secara lebih beradab.

Setidaknya status dan kedudukan Pancasila tersebut menjadi sangat kuat sebagai sumber dari segala sumber hukum, karena pertama, keberadaan nilai nilai dasar, yang terkandung dalam Pancasila merupakan cita hukum (Rechtside) yang menguasai hukum dasar baik hukum dasar tertulis maupun tidak tertulis (J. Kristiadi,  kompas, 7 Mei 2010.).

Secara formil Pancasila sebagai sumber tertinggi hukum nasional mendapatkan legitimasi hukum dan politik.

Penempatan Pancasila sebagai staats fundamental normal pertama kali disampaikan oleh Notonegoro. Pancasila dilihat sebagai hukum merupakan pemandu.

Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif tertulis adalah untuk mencapai ide ide dalam Pancasila.

Jimly Asshiddiqie mencoba menengarai pandangan Hans Kelsen tentang staats fundamental normal seperti kedudukan Pembukaan UUD 1945 yang terdapat di dalam nya Pancasila).

Dengan kata lain, Pancasila sebagai Rechtside, atau Weltanschauung menempati wilayah yang abstrak dengan harapan Pancasila terhindar dari sifat perubahan (Jimly Asshiddiqie,2008).

Kedudukan Pancasila yang secara limitatif terkait dengan Pasal 2 UUD 1945 (sebelum amendemen dilakukan) tentang tugas dan wewenang MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

Dalam kewenangan nya inilah MPR berfungsi sebagai pelindung dan perawat rumah hukum Pancasila.

Kedua, landasan yuridis Pancasila dan UUD 1945 selalu disebut dalam kebijakan peraturan perundang-undangan sebagai produk non litigasi, dalam keputusan dan instruksi Presiden.

Daya ikat instrumen hukum tersebut dibuktikan melalui model penyesuaian nilai nilai Pancasila dalam masyarakat.

Jaman orde Baru fungsi BP7 sungguh jelas kesemuanya proses sosialisasi dan internasionalisasi arti nilai nilai Pancasila dilakukan secara terpadu melalui sistem pendidikan formal di sekolah dan juga pelatihan yang intensif.

Sebaliknya di era reformasi sungguh berbeda secara diametral karena kedudukan Pancasila ibarat rumah dengan landasan tiang dan atap yang lemah.

Karena itu, rumah tersebut dengan mudah terombang-ambing akibat berbagai ancaman.

Landasan hukum Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum tidak dibangun secara terpadu.

Bukan karena Pancasila sejak reformasi tidak didukung oleh instrumen hukum, melainkan karena Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum menjadi tidak jelas tempat nya di dalam hirarki peraturan perundang-undangan secara yuridis formal.

Dalam Pasal 2 UUD nomor 10 tahun 2004 juncto UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan undangan, jelas jelas disebut Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, tetapi Pasal 6, Pancasila tidak masuk kedalam hirarki urutan peraturan hukum di Indonesia.

Bukan tidak mungkin bagi aliran positivistik, kontradiksi ini dapat mengakibatkan lahir suatu peraturan hukum yang embigu.***

*) Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumsel