Masyarakat Hukum Adat dan Sumber Daya Alam
![]() |
Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan |
JENDELAKITA.MY.ID
- Dua persoalan serius untuk melihat hubungan
hubungan konkret yang terjadi antara masyarakat hukum adat dengan sumber daya
alam khususnya tanah.
Berawal dari dua pertanyaan yaitu apakah
ada pembagian yang adil di dalam struktur struktur adat.
Sampai seberapa jauh hubungan sumber daya
alam terhadap masyarakat hukum adat di dalam kebijakan oleh hukum negara.
Pengaturan hutan adat oleh undang undang kehutanan,
eksplorasi perkebunan di atas tanah adat berbasis undang undang perkebunan
maupun undang undang penanaman modal yang melanggengkan ancaman terhadap
masyarakat hukum adat lewat prioritas yang berlebihan terhadap investasi,
merupakan deretan ancaman serius terhadap identitas kolektif masyarakat hukum
adat, tidak saja sumber daya alam tetapi keseluruhan keberadaannya.
Ancaman itu hadir sejak kolonial dan terus
berlanjut pasca kemerdekaan lewat produksi gagasan maupun rumusan hukum yang
diskriminatif.
Tanah dan sumber daya alam lainnya dalam
pandangan masyarakat hukum adat tidak bisa dibaca terpisah dari keseluruhan
hidup dan hubungan mereka dengan alam (lebenstraum), karena di atas tanah
berdiri berbagai unsur kebudayaan yang membentuk peradaban mereka (Andriani,
2007).
Prof.Dr. H.M.Koesnoe, SH guru besar hukum
adat Universitas Airlangga Surabaya dan dan guru besar luar biasa di Fakultas
Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, khususnya saat beliau memberikan
kuliah di Pusat Studi Hukum Adat dan Islam, mengatakan bahwa Tidak mungkin
keberadaan suatu masyarakat hukum adat tercabut dari lingkungan tempat tinggal
mereka berupa tanah komunal.
Karena di sana mereka dilahirkan, bercocok
tanam serta dikebumikan di tanah kelahiran mereka (ingat kasus pulau Rempang).
Sehingga mereka tidak mungkin untuk
disingkirkan.
Menggusur dan mengeluarkan atau
mengosongkan (istilah Mahfud MD), sama halnya dengan melenyapkan keseluruhan
pandangan hidup mereka (Weltanschauung) yang membentuk peradaban.
Dalam istilah ini, hubungan dengan sumber
daya alam tidak bisa serta merta dikategorikan sebagai hubungan hak karena
barangkali konsep hak adalah konsep barat yang secara kategoris boleh jadi
mirip tetapi secara konkret pasti beda.
Pendekatan hak asasi manusia dan multikulturalisme
sudah menjadi gerbang awal bagi diskusi mengenai posisi masyarakat hukum adat
ke depan, terutama dalam hubungan dengan negara.
Namun, pendekatan pendekatan ini
sesungguhnya masih klasik karena semata mata masih melihat relasi antara
negara, yang kepentingan nya seolah olah bersifat solid dan tunggal, di satu
sisi dengan masyarakat hukum adat yang juga bersifat benar benar otonom dan
tunggal di sisi lain.
Pendekatan pendekatan ini masih-dalam hal
tertentu - melihat negara sebagai entitas yang kepentingan nya utuh, satu dan
tunggal, demikian hanya dengan mensyaratkan hukum adat.
Padahal, kepentingan global, hukum
internasional maupun hubungan hubungan yang kompleks telah mempengaruhi cara
kerja negara lewat agen agennya, sehingga hukum negara pun tidak lagi
diterapkan sebagai mana bunyi pasal. Dengan kata lain telah ditafsirkan untuk kepentingan
kelompok tertentu (baca oligarki).
Dalam kenyataannya, hukum negara yang riil
berbeda bahkan bertentangan dengan rumusan rumusan tertulis.
Dalam konteks itu, masyarakat hukum adat
yang dibentuk dengan hubungan sosial yang lebih luas, bisa dan memang
mempengaruhi identitas kolektifnya, dengan meminjam, menggunakan, memodifikasi
hukum negara tertulis ke dalam hukum lokal (baca hukum adat).
Situasi situasi ini, masih menunggu jawaban
berikutnya tentang ruang pertemuan dari berbagai wilayah sosial tersebut.
Diskusi hukum yang selama ini kering
kerontang sudah seharusnya di buka lebar lebar agar tidak menjadi kekaisaran
yang otoriter tetapi menjadi hukum demokratis dalam arti kualitatif..
Sejauh ini, tradisi intelektual di sejumlah
fakultas hukum di Indonesia mempelajari hukum adat secara statis, dengan
literatur yang relatif tetap sejak zaman Van Vollenhoven.
Peta peta statis wilayah hukum adat yang
dikemukakan Van Vollenhoven, terus menerus dipakai sebagai literatur fakultas
hukum saat ini.
Demikian halnya dengan penyebutan subjek
perkuliahan yang cukup kaku, seperti hak waris adat dan perkawinan adat yang
relatif tetap hingga saat ini.
Hal hal di atas sudah penulis dengungkan
saat masih menjadi dosen di fakultas hukum universitas Sriwijaya bahwa perlu
dilakukan perubahan wawasan di dalam perkuliahan hukum adat.
Penulis tidak bermaksud untuk menyatakan
referensi yang merujuk dua tokoh (Van Vollenhoven dan Ter Haar) itu tidak
perlu, tetapi keterbatasan itu mengindikasikan bahwa dalam diskursus akademik,
hukum adat nampaknya belum merespon perkembangan perkembangan studi studi ilmu
hukum adat.
Contoh konkretnya di dalam konstitusi kita
saja, masih mendudukkan masyarakat hukum adat sebagai sub sistem di bawah hukum
negara. Hal ini bisa kita baca pada Pasal 18 B ayat 2 UUD tahun 1945.
Pasal 18 B ayat 2 UUD tahun 1945 berbunyi:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisional nya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Kalau kita cermati Pasal 18 B ayat 2 UUD
tahun 1945 ini , seolah olah mendudukkan masyarakat hukum adat itu setelah
adanya terpenuhi empat syarat dimaksud. Ini bukan kah suatu kenistaan.
Belum lagi di dalam undang-undang nomor 1
tahun 23 tentang Kitab Undang Undang Pidana baru. Seperti nya mengakui hukum
yang hidup dalam masyarakat, namun keberadaan hukum adat tersebut baru diakui
setelah melalui berbagai proses pembuatan peraturan perundang-undangan yaitu
melalui peraturan daerah (PERDA).
Sekali lagi ini merupakan suatu kebijakan
legislatif yang memandang keberadaan masyarakat hukum adat sebagai suatu yang
tidak sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
atas Pancasila yang tercermin dalam Rechtside sebagaimana dimaksud dalam
pembukaan UUD NKRI tahun 1945.
Sehingga perlu di reformasi hukum sebagai
negara berkedaulatan rakyat dan berkedaulatan hukum.***