GBHN Sebagai Arah dan Tujuan Pembangunan Nasional
![]() |
Penulis adalah Ketua Pembina Adat Propinsi Sumatera Selatan |
Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)
JENDELAKITA.MY.ID - Garis Garis Besar Haluan
Negara (GBHN), setelah hasil amendemen UUD NKRI tahun 1945 yang berlangsung
sejak tahun 1999-2002, selain diakui banyak kemaslahatan bagi pembangunan hukum
dan politik, khususnya dalam kehidupan berdemokrasi.
Namun tidak
terhindar juga beberapa dampak negatif yang sebelumnya tidak diantisipasi
secara seksama telah menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan. Ketika
kedudukan Majelis Perwakilan Rakyat dirubah sebagai,"join sesion",
berakibat timbulnya keterpurukan atas discontinuity dalam hal rencana pembangunan
nasional secara utuh (rencana pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan
jangka panjang).
MPR yang semula
memiliki tugas dan wewenang sehari hari dalam bidang produk hukum berupa
Ketetapan, ikut tergerus arus reformasi.
Sehingga kedudukan
GBHN yang semula merupakan produk MPR sebagai pedoman dan arah pembangunan
nasional turut musnah pula.
Diganti dengan
memberlakukan UU Nomor 2004 dan UU Nomor 17 tahun 2007 tentang Perencanaan
Pembangunan Nasional.
Namun secara fakta
kedua UU tersebut setelah diimplementasikan terbukti belum memiliki daya saing
dan efektif bila dibandingkan dengan GBHN pada masa lalu orde baru.
Hal ini tentu
bukan sekedar karena sistem perencanaan pembangunan cenderung dipengaruhi oleh
visi dan misi Presiden terpilih dan sedang berkuasa, sebagai upaya memenuhi
janji janji pada masa kempanye.
Juga disebabkan
sistem pemilihan langsung tidak memiliki hubungan pertanggungjawaban Presiden,
sebagai mandataris MPR kepada instansi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Dalam kajian ini,
akan menimbulkan pro dan kontra.
Baik di kalangan
politisi maupun di kalangan akademisi.
Terlepas dari
perdebatan pro dan kontra masalah tersebut maka dengan mengingat kembali
Kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam sistem hukum
Indonesia, maka peluang menghidupkan kembali GBHN adalah bukan mustahil.
Akan tetapi harus
adanya perubahan terhadap status dan wewenang MPR. Dengan argumentasi sebagai
berikut;
Pertama, GBHN yang
dirasakan perlu dihidupkan kembali berdasarkan teori the living constitution, suatu teori yang menegaskan bahwa suatu
peraturan yang diatur dalam tingkat dasar (basic law) dimungkinkan untuk
dilakukan perubahan, agar dapat mengikuti dan mampu merespon perkembangan zaman
yang selalu berubah.
Hal itu, dilakukan
dengan cara mengurangi, menghapus, menambah, membuat yang baru dengan tujuan
untuk menyempurnakan berbagai praktek amendemen sebelumnya.
Hanya saja dalam
implementasinya, amendemen hanya dilakukan dengan syarat syarat yang sangat berat
(rigid), diusulkan oleh sepertiga anggota MPR, dan mengambil keputusan
memerlukan suara sekurang kurang nya dari dua pertiga.
Kedua, pengusulan
GBHN untuk dihidupkan kembali melalui amendemen, begitu mahal harga sosial dan
politik nya. Karena itu harus dilakukan secara komprehensif dengan menyiapkan
kajian agar diperoleh suatu grand design yang objektif dan ilmiah.
Menghidupkan
kembali GBHN harus dilakukan secara bersama sama dengan upaya revitalisasi
tugas dan wewenang konstitusional MPR, DPD, DPR RI, Pemilihan Presiden dan
Kepala Daerah lainnya;
Ketiga, karena
menghidupkan GBHN merupakan qonditio sine quanon dari revitalisasi fungsi dan
peranan MPR dalam tugas keseharian.
Maka GBHN bukan
saja berfungsi sebagai primary rules yang harus berfungsi sebagai indikator
indikator penjabaran sila sila Pancasila.
Keempat, usaha
mengembalikan GBHN sebagai blue print dan grand design bagi pembangunan
berkelanjutan yang kreatif dan kritis, juga harus diarahkan pada upaya
peningkatan pemahaman dan kesadaran masyarakat dan bernegara.
Dengan demikian
diharapkan akan terwujud masyarakat yang adil dan makmur serta makmur dalam
berkeadilan, sebagaimana tertulis dengan indahnya di dalam perumusan Pembukaan
UUD tahun 1945.
Yang merupakan tujuan hukum bangsa Indonesia menuju masyarakat sejahtera lahir dan batin. Tanpa adanya diskriminatif sesama warga negara Indonesia dari Sabang sampai Merauke.***