Hukum dan Keadilan Masyarakat
![]() |
Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan |
JENDELAKITA.MY.ID - Masalah
keadilan adalah masalah rumit, yang dapat dijumpai hampir di setiap masyarakat.
Hal ini terutama disebabkan karena pada umumnya orang
beranggapan bahwa hukum mempunyai dua tugas utama, yakni mencapai suatu
kepastian hukum dan mencapai keadilan bagi semua masyarakat.
Keadilan adalah hak setiap orang, namun praktek nya,
keadilan seringkali merupakan barang yang mahal bai kelompok masyarakat
tertentu, yakni masyarakat miskin.
Roscoe Pound, yang dikutip Soerjono Soekanto, mengatakan
masalah keadilan bukan semata mata persoalan yuridis saja, akan tetapi, masalah
sosial yang banyak disorot oleh para sosiolog.
Pound membedakan antara legal
justice dengan social justice.
Lebih lanjut Soerjono Soekanto mengatakan bahwa keadilan
adalah keselarasan hubungan antara manusia dalam masyarakat dan antar manusia
dengan masyarakat yang sesuai dengan moral yang berlaku di dalam masyarakat
tersebut.
Keadilan yang didasarkan pada nilai, norma dan moral
masyarakat setempat.
Masyarakat memiliki prosedur dan mekanisme sendiri dalam
menyelesaikan setiap konflik yang muncul.
Itulah yang disebut dengan nilai nilai budaya yang hidup
dalam masyarakat.
Beberapa yang berkembang dan sudah menjadi rujukan kolektif
adalah melalui jalan musyawarah, mediasi, remedial, negosiasi, antar pihak
pihak yang berselisih atau berkonflik.
Tujuan utama dalam penyelesaian sosial ini adalah memulihkan
kembali kehidupan sosial masyarakat pada kondisi damai, seimbang, harmonis,
tertib sosial, sehingga solidaritas masyarakat tetap terjaga.
Disaat penyelesaian dengan menggunakan hukum positif
tertulis, tidak memberikan hasil yang saling memuaskan, penyelesaian secara
sosiologis menjadi alternatif yang dapat memberikan rasa keadilan bagi
masyarakat.
Terkait dengan penyelesaian dengan hukum sosiologis, negara
bukan lah satu satunya aturan monopoli perilaku orang.
Justru hukum sosiologis dalam banyak konteks memperlihatkan
efektivitasnya sebagai acuan berperilaku dan pengendalian sosial dalam
masyarakat, termasuk di dalamnya ketika terjadi konflik sosial dalam
masyarakat.
Orang orang Jepang dan Korea misalnya, sangat tabu membawa
sengketa ke Pengadilan Negara atau menggunakan hukum positif tertulis, mereka
lebih suka menggunakan penyelesaian sengketa yang ada dalam masyarakat, bahkan
urusan bisnis modern sekalipun, cara cara mediasi dan negosiasi lebih disukai.
Macaulay yang dikutip oleh Umar Sholehudin, mengatakan
dengan mengutip pernyataan salah seorang pedagang yang berusaha menyelesaikan
perselisihan dan konflik dalam usaha bisnis nya, menggambarkan bahwa umum nya
yang terdapat dalam kalangan pedagang yaitu apabila terjadi sesuatu, maka
ajaklah saja pihak sana berbicara lewat telepon dan diselesaikan persoalan nya.
Tidak perlu mengutip pasal pasal dalam kontrak itu secara
legalitas, apabila kita masih ingin memelihara hubungan dagang lebih lanjut
dengan partner mu itu.
Seorang pedagang sebaiknya tidak segera lari ke advokat nya
begitu timbul satu persoalan, semata mata karena harus berlaku sopan (Rahardjo,
2010).
Hasil studi Macaulay tersebut menunjukkan bahwa
penyelenggaraan sengketa atau perselisihan antara warga masyarakat dalam
hubungan sosial kemasyarakatan, termasuk dalam masalah ekonomi bisnis dan
kehidupan sosialnya, tidak mesti diselesaikan dengan hukum positif tertulis
yang ada, karena hukum positif tertulis yang ada terlalu sederhana dan
responsif terhadap perubahan dan perkembangan serta dinamika yang terjadi dalam
masyarakat.
Penyelesaian sengketa atau konflik yang lebih memberikan
kepuasan antar pihak dan yang berkepentingan "menjaga kehormatan dan
kebersamaan" adalah diselesaikan dengan hukum sosiologis, yakni hukum yang
berkembang dan berlaku secara sosiologis dalam kebiasaan masyarakat,
diselesaikan dengan semangat rekonsiliasi, kekeluargaan dan damai di antara
mereka yang bersengketa, tidak mesti dengan hukum tertulis yang kaku.
Senada dengan itu juga dikatakan oleh Prof. MM. Djojodiguno
SH, bahwa hukum adat (sosiologis) selalu mengikuti perkembangan zaman sesuai
dengan sifatnya yang dinamis dan juga bisa menyesuaikan dengan jenis kasus yang
dihadapi (plastisitas).
Prof. Iman Sudiyat SH guru besar hukum adat fakultas hukum
universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang sekaligus menjadi pembimbing penulisan
thesis di universitas Gadjah Mada Yogyakarta, mengatakan bahwa hukum adat itu
bersifat "klasik sekaligus modern” dalam bahasa jawanya" ngulur
mengkerut ".
Namun apa yang terjadi di masyarakat Indonesia umumnya
berbeda dengan masyarakat Jepang dan Korea, jika terjadi perselisihan ataupun
sengketa buru buru membawa persoalan tersebut ke pengadilan negara.
Sehingga nantinya akhirnya ada pihak pihak yang merasa dikalahkan
ataupun pihak yang dimenangkan dengan segala cara (bukan rahasia lagi).
Selain itu memakan waktu lama dan biaya tinggi karena harus
membayar orang orang yang terlibat.
Dengan contoh masyarakat Jepang dan Korea di atas kita
masyarakat Indonesia dapat menjadi pembelajaran.***
*) Penulis adalah
Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan