Nduduk Pondasi
Penulis: Dwi Desi Astuti, S.I.Pust
A.
Pendahuluan
|
K |
abupaten Musi
Rawas yang terletak di Barat Laut Provinsi Sumatera Selatan merupakan kabupaten tertua di provinsi ini (Mardila et al., 2022). Kabupaten yang memiliki luas wilayah lebih dari 6.300
kilometer persegi dialiri dua sungai besar yang menjadi ciri khas kabupaten
Musi Rawas.
Nama Musi Sendiri diambil dari Sungai Musi, salah
satu sungai terbesar di Pulau Sumatera yang melintasi wilayah Sumatera Selatan (Trisnaini et al., 2018). Sungai terbesar yang menjadi urat nadi transportasi
dan ekonomi sejak masa Sriwijaya. Sementara itu, Rawas berasal dari bahasa
Melayu yang berarti bersih atau jernih. Gabungan kedua kata ini melambangkan
kebersihan dan keindahan alam yang sejak dahulu menjadi ciri khas Kabupaten
Musi Rawas. Kabupaten Musi Rawas dikenal dengan lingkungan alamnya yang subur
serta sumber daya air yang melimpah yang menjadi faktor penting dalam perkembangan
wilayah ini.
Menurut Badan
Statistik Indonesia (BPS) Databoks jumlah penduduk di Kabupaten Musi Rawas
tercatat 425,15 ribu jiwa data per 2024. memiliki 14 kecamatan dan 13 kelurahan
dan 186 desa. Dwijaya adalah salah satu desa yang ada di Musi Rawas (Lestari,
2018). Bertepat di Kecamatan Tugumulyo, desa ini dikenal dengan mayoritas
penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan pekebun.
Gambar di atas merupakan peta desa Dwijaya, yang terletak diantara desa P2 Purwodadi dengan desa Q1 Tambahasri. Desa Dwijaya memiliki adat istiadat dari campuran kebudayaan jawa dan kebudayaan penduduk asli pada setiap sendi kehidupan. Salah satunya adalah prosesi adat membangun rumah.
B.
Apa Itu Tradisi Nduduk Pondasi?
Nduduk Pondasi merupakan prosesi adat istiadat yang masih dilakukan pada tahap
awal pembangunan rumah (Ernawati & Ataufiq, 2017). Nduduk Pondasi berasal dari bahasa jawa yang artinya mengali.
Maksudnya menggali tanah untuk keperluan pondasi (tempat rumah akan didirikan).
Adat tradisi khas ini selalu dilakukan orang-orang di desa Dwijaya, Kabupaten
Musi Rawas ketika membuat rumah. Proses nduduk
pondasi bagi penduduk desa Dwijaya dilakukan dengan prosesi mengali tanah yang bersamaan dengan slametan.
Gambar Nduduk Pondasi (Koleksi Penulis)
Meski prosesi nduduk pondasi
dan slametan di Desa Dwijaya sangat
berbeda dengan tradisi di Jawa. Jika di Desa Dwijaya tidak memperhitungkan hari
baik berdasarkan hitungan weton (hari lahir dan pasarannya),
sedangkan masyarakat Jawa masih sangat memperhitungkan hal tersebut.
C.
Apa Itu Tradisi Slametan?
Berdasarkan wawancara kepada sesepuh
di Desa Dwijaya. Dalam tradisi slametan
merupakan bentuk rasa syukur atas pembangunan atau permohonan keselamatan dan
keberkahan (Hannan & Umam, 2023). Acara ini mengundang keluarga, tetangga dan tokoh masyarakat
untuk berdoa bersama. Menurut Elsa Kartika, Slametan berasal dari bahasa arab,
yakni salamah yang memiliki arti selamat atau bahagia. Sementara itu, jika
merujuk pada pendapat Clifford Geerts, slametan memiliki arti ora ono opo-opo (Tidak ada apa-apa).
Pada cara slametan, nduduk pondasi ini biasanya ada beberapa
makanan dan properti khusus (Wicaksono, 2009). Mungkin sebagian orang memaknainya sebagai sesajen. Kebanyakan
orang yang tidak mengerti, pasti menganggap perbuatan syirik. Padahal bukan itu
maksudnya. Ada banyak hal tersirat yang ingin disampaikan lewat simbol makanan
atau properti tersebut seperti pesan atau petuah leluhur orang Jawa yang
tersembunyi dibaliknya.
Makna simbol makanan atau properti makanan khusus yang dihidangkan
pada saat acara slametan tersebut, antara lain (Setiawan, 2016):
1.
Sego gureh. Sesuai dengan namanya sego gureh ini merupakan nasi putih yang
memiliki rasa gurih karena dimasak dengan santan kelapa. Nasi jenis ini menjadi
simbol kehidupan rasa syukur dan kesejahteraan serta mencerminkan kepasrahan
kepada Tuhan. Filosofi makanan dalam slametan mencerminkan nilai kebersamaan, doa, dan
harapan baik bagi semua yang hadir. Untuk warna nasinya sendiri menggunakan warna putih yang melambangkan
kesucian dan kebersihan. Untuk nasi yang berwarna kuning, maka akan
melambangkan kemuliaan dan kegembiraan.
2. Komponen pertama yang tidak
boleh dilupakan adalah ayam. Ayam tersebut sebagai lambang darat. Jenis ayam
yang digunakan biasanya adalah ayam jantan utuh atau sama dengan ayam ingkung.
Namun selain ayam ingkung, bisa juga menggunakan ayam dengan olahan lainnya.
Seperti ayam bumbu rujak, ayam goreng, ayam bumbu kuning dan lain sebagainya.
Sesuai selera masakan, di desa saya mengunakan olahan ayam bumbu kuning. Ini melambangkan keutuhan
wujud, maksudnya segala harapan dan keinginan bisa terwujud atau tercapai
3. Gedang rojo (pisang rojo) dipilih karena
kata “gedang” memiliki pelafalan yang dekat dengan kata “padang” (terang).
Sehingga keberadaan gedang rojo pada acara slametan ini diharapkan agar segala
prosesi yang dijalankan menjadi terang dan tempat yang ditempati juga terang
teduh.
4. Lauk (makanan
pendamping) selanjutnya yang perlu ada adalah telur dan ikan laut. Telur
tersebut digunakan karena memberikan lambang berupa kehidupan baru. Cara
pengolahan bisa sesuai selera. Adapun ikan laut yang melambangkan laut. Biasanya
jenis ikan yang disajikan adalah ikan asin. Ikan asin tersebut hanya digoreng
dengan balutan tepung seperti biasa saja.
Gambar Slametan (Koleksi Penulis)
Setelah upacara slametan
selesai, acara berikutnya adalah proses nduduk pondasi dimulai dengan
mengali tanah dan peletakan batu pertama. Proses ini dilakukan oleh tuan rumah
sebagai simbolis. Maknanya merupakan wujud syukur serta permohonan berkah agar
pembangunan rumahnya berjalan lancar.
Setelah itu, para tetangga akan berkerja sama membangun rumah
tersebut. Ada yang memasang batu bujang di galian tanah, ada juga yang menyemen
batu tersebut. Dengan semangat gotong royong antar tetangga maka persaudaraan
semakin erat. Apalagi rumah bukan sekedar tempat tinggal, tetapi juga tempat
tumbuh dan berkembangnya generasi penerus yang ada di desa Dwijaya.
Gambar Peletakan batu Pertama (Koleksi Penulis)
D.
Tradisi Gotong Royong
Dalam Istilah jawa kata gotong diartikan sebagai mengangkat atau memikul
sesuatu secara bersama-sama (Pambudi & Utami, 2020). Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gotong royong adalah kerjasama, tolong
menolong, dan saling membantu antara anggota atau suatu komunitas. Gotong royong juga menjadi ciri khas kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini dipertegas dengan sila ketiga persatuan Indonesia yang juga
bermakna gotong royong.
E.
Tradisi Munggah
Molo
Tahap selanjutnya yakni tradisi “Munggah Molo”.(Ula, 2010) Munggah molo merupakan upacara adat yang namanya terdiri dari dua
kata dalam Bahasa Jawa yakni “munggah” yang berarti naik/menaikkan dan “molo”
yang berarti kerangka atap. Seperti namanya, upacara adat munggah molo ini
dilakukan ketika proses pembangunan sebuah rumah akan memasuki tahap pemasangan
kerangka atap.
Dalam rangkaian pelaksanaan tradisi Munggah Molo, (Adqiya, 2024) biasanya pemilik rumah harus menyiapkan beberapa alat dan bahan
sebagai syarat khusus, yang mana kemudian akan dipasangkan pada pusat
atap/cungkup rumah. Adapun alat dan bahan tersebut seperti:
1.
Tebu yang dicabut dari pangkalnya. Pemasangan tebu ini memiliki
makna sebagai harapan dan doa agar keluarga yang nantinya menempati rumah
senantiasa beristiqamah dalam melakukan kebaikan layaknya pangkal tebu yang
tegak menopang batang tebu.
2.
Pari Sak Wit (satu ikat padi berwarna kuning). Layaknya padi yang
semakin menguning dan berisi semakin menunduk (tawadhu') tidak sombong.
Memiliki makna sebagai harapan dan doa agar keluarga dapat menggapai kejayaan
dan kemakmuran kemudian setelah mencapai kemakmuran tetap (tawadhu) tidak sombong.
3.
Kelapa. Seperti halnya pohon kelapa yang memiliki banyak manfaat
dari setiap bagian tubuhnya, keberadaan
kelapa pada tradisi munggah molo ini berharap agar keluarga yang menempati
rumah baru ini juga diharapkan dapat menjadi keluarga yang kuat, tangguh dalam
setiap menjalani rumah tangga dan dapat bermanfaat untuk sesama (rahmatan lil
'alamin).
4.
Bendera Merah Putih. Keberadaan bendera merah putih pada tradisi
munggah molo ini sebagi wujud nasionalisme dari masyarakat Jawa sekaligus
ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang telah menganugerahkan kemerdekaan
sehingga dapat memiliki tanah air sebagai tempat tinggal.
5.
Duit Kricik (bahasa jawa=uang koin). Dalam masyarakat zaman dahulu,
bentuk uang yang digunakan masih berbentuk uang koin logam, sehingga adat ini
masih terpelihara sampai sekarang dengan menggunakan uang koin sebagai syarat
dalam tradisi munggah molo, sebagai harapan agar Tuhan senantiasa melimpahkan
rizki lancar yang berkah kepada keluarga.
6.
Jajanan Pasar, ayam panggang, dan pisang. Sebagai ungkapan rasa
syukur, pemilik rumah baru juga diharuskan untuk berbagi jajanan pasar,
ayam panggang, dan pisang kepada tetangga disekitar. Sama halnya dengan yang
dilakukan ketika tradisi selametan pada saat nduduk pondasi. Selain untuk
menyambung silaturahmi dengan tetangga, nilai saling berbagi dan berkomunikasi
dengan tetangga yang sangat kental dalam adat Jawa juga dapat terus
dilestarikan dengan membagikan makanan tersebut.
7.
Pakaian keluarga. Keberadaan pakaian keluarga dalam tradisi munggah
molo ini melambangkan setiap anggota keluarga harus selalu menjaga akhlaqul
karimah dengan menutup aurat, selain itu juga diharapkan Tuhan selalu
memberkahi keluarga dengan kecukupan kebutuhan sandang.
8.
Selanjutnya yakni Kendi , Pakumas (paku warna emas), kayu salam dan
daun salam yang diwadahkan dalam kendi. Hal ini bermakna dalam bentuk harapan
agar keluarga pemilik rumah baru senantiasa diberikan keselamatan dan
kesehatan.
9.
Terakhir yakni, payung. Payung identik dengan peneduhan bermaksud
agar tuhan semesta alam dapat melindungi dengan rahmat Nya rumah pun terasa
sejuk.
Dengan keberagaman tradisi sekaligus variasi makna yang terkandung
didalamnya tentu memiliki daya tarik tersendiri mengapa orang jawa dan desa
saya masih melestarikan tradisi yang sudah ada sejak zaman dahulu.
F.
Daftar Pustaka
Adqiya, N. (2024). Simbolisme nilai-nilai
tasawuf dalam tradisi munggah molo (studi tradisi selamatan munggah molo di
desa Kedungjaran Kecamatan Sragi Kabupaten Pekalongan) [PhD Thesis, UIN KH
Abdurrahman Wahid Pekalongan]. http://etheses.uingusdur.ac.id/id/eprint/9201
Ernawati, H., & Ataufiq, M. M.
(2017). Penerapan Tradisi “Payango” pada Rumah Tinggal
Masyarakat Gorontalo sebagai Upaya Pelestarian Budaya Lokal. Prosiding Seminar
Heritage IPLBI, 33–40.
https://www.researchgate.net/profile/Muhammad-Attaufiq/publication/328257340_Penerapan_Tradisi_Payango_pada_Rumah_Tinggal_Masyarakat_Gorontalo_sebagai_Upaya_Pelestarian_Budaya_Lokal/links/5ebd3c24299bf1c09abbe84c/Penerapan-Tradisi-Payango-pada-Rumah-Tinggal-Masyarakat-Gorontalo-sebagai-Upaya-Pelestarian-Budaya-Lokal.pdf
Hannan, A., & Umam, K. (2023).
Tinjauan Sosiologi Terhadap Relasi Agama Dan Budaya Pada Tradisi Koloman Dalam Memperkuat
Religiusitas Masyarakat Madura. RESIPROKAL: Jurnal Riset Sosiologi Progresif
Aktual, 5(1), 57–73.
Lestari, N. (2018). Rancang Bangun
Monitoring Bendungan Otomatis Berbasis Web Pada Bendungan Irigasi Di Desa G2
Dwijaya Kecamatan Tugumulyo Kabupaten Musi Rawas. Jusikom: Jurnal Sistem
Komputer Musirawas, 3(2), 103–114.
Mardila, A., Shesa, L., &
Agustian, T. (2022). Penyelesaian Hukum Islam Mengenai Penundaan Pembagian
Harta Warisan (Studi Kasus Di Desa Dharma Sakti Kecamatan Tuah Negeri Kabupaten
Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan) [PhD Thesis, IAIN CURUP].
http://e-theses.iaincurup.ac.id/3497/
Pambudi, K. S., & Utami, D. S.
(2020). Menegakkan kembali perilaku gotong–royong sebagai katarsis jati diri
bangsa. CIVICUS: Pendidikan-Penelitian-Pengabdian Pendidikan Pancasila Dan
Kewarganegaraan, 8(2), 12–17.
Setiawan, R. (2016). Memaknai
Kuliner Tradisional diNusantara: Sebuah Tinjauan
Etis. Respons: Jurnal Etika Sosial, 21(01), 113–140.
Trisnaini, I., Kumalasari, T. N.,
& Utama, F. (2018). Identifikasi habitat fisik sungai dan keberagaman
biotilik sebagai indikator pencemaran air sungai musi kota Palembang. Jurnal
Kesehatan Lingkungan Indonesia, 17(1), 1–8.
Ula, M. (2010). Tradisi Munggah Molo Dalam
Perspektif Antropolagi Linguistik. Jurnal Penelitian, 7(2), 1–13.
Wicaksono, A. (2009). Kiat Praktis
Jual Beli Properti. Niaga Swadaya.
https://books.google.com/books?hl=id&lr=&id=LsQ9kQmpt-oC&oi=fnd&pg=PA3&dq=nduduk+pondasi+ini+biasanya+ada+beberapa+makanan+dan+properti+khusus.&ots=BSFTGOj-KY&sig=mc5hjaHeHONv0t8wl6dZFXi06Kg
BIODATA
PENULIS
Penulis : Dwi Desi Astuti, S.I.Pust
Alamat : Dusun 3 Desa Dwijaya, Kec.
Tugumulyo
Kab. Musi Rawas Provinsi Sumsel
Tempat
Lahir : Dwijaya, 15 Desember 1991
Pendidikan :
· SD Negeri 1 Dwijaya Lulus 21 Juni 2003
· SMP Negeri O. Mangunharjo Lulus 26 Juni 2006
· SMK Negeri Tugumulyo Lulus 13 Juni 2009
· D2 Perpustakaan Lulus
30 Juli 2013
· S1 Ilmu Perpustakaan Lulus
13 Okt 2021
Unit
Kerja : SMP Negeri O.Mangunharjo
Email : dwijaya0307@gmail.com
Facebook : https://www.facebook.com/dwie.dec.ast
