Money Politics: Kejahatan Demokrasi
Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U.
Jendelakita.my.id. - Mengutip pernyataan Ketua Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Pusat, Dr. H. Alfitra Salam, APU, saat menyampaikan sambutan dalam acara pelantikan Pengurus Forum Asosiasi Ilmu Politik Indonesia Dewan Pimpinan Daerah Provinsi Sumatera Selatan pada tanggal 3 November 2025 bertempat di ruang sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Selatan. Pelantikan tersebut dihadiri secara langsung oleh Ketua DPRD Provinsi Sumatera Selatan, Andrie Dinialdir, S.E., M.M., yang menyatakan bahwa pemilihan umum tahun 2024 merupakan pemilihan umum yang paling buruk.
Tentu muncul pertanyaan, mengapa situasinya bisa seburuk itu dan di mana letak permasalahannya. Beliau kemudian menceritakan dalam bentuk testimoni ketika mendampingi istrinya yang ikut bertarung sebagai calon Gubernur Jawa Timur. Selama lebih kurang enam bulan turun ke berbagai kantong suara, beliau menyimpulkan bahwa begitu jahatnya perilaku pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung melakukan apa yang disebut dengan “money politics”. Menurutnya, tindakan tersebut termasuk kejahatan demokrasi.
Dengan tindakan itu, jelas bahwa kebebasan demokrasi telah dibatasi, bahkan dipasung. Di samping itu, kondisi sebagian pemilih masih belum pantas untuk diajak berdemokrasi secara baik dan benar sehingga dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan demokrasi. Ke depan, penyelenggaraan pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota harus dievaluasi kembali agar tidak terjadi praktik sogok-menyogok untuk membeli suara.
Kasus yang beliau ceritakan tersebut ternyata juga terjadi di berbagai wilayah Nusantara. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pemilu yang ada memang perlu diubah. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, maka akan menghasilkan sesuatu yang tidak baik dan tidak benar, dalam arti tidak akan memperoleh hasil yang berkualitas. Keadaan ini akan menghambat percepatan pembangunan, baik fisik maupun nonfisik.
Oleh karena itu, diperlukan perubahan sebagaimana yang beliau sebutkan sebagai “bocor halus”. Ke depan, untuk pemilihan umum tahun 2029 akan digodok bersama pihak-pihak terkait agar dilakukan perubahan sistem, yakni dari pemilihan umum langsung menjadi sistem perwakilan. Langkah ini dimaksudkan untuk kembali pada semangat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan nilai-nilai Pancasila, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Dengan demikian, mandat rakyat sebagai pemegang kedaulatan penuh perlu dikembalikan kepada lembaga perwakilan, yakni MPR RI dan DPR/DPRD. Harapannya, langkah ini dapat menutup berbagai praktik yang dikategorikan sebagai “kejahatan demokrasi”.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra beberapa waktu lalu, yang menyebut bahwa kualitas anggota legislatif (DPR RI) mengalami penurunan karena sebagian anggotanya berasal dari kalangan selebriti. Tentu muncul pertanyaan, mengapa bisa didominasi oleh kalangan selebritas? Jawabannya sederhana, karena mereka memiliki banyak modal baik modal dana maupun modal sebagai “publik figur” yang sudah sering tampil di media hiburan. Kondisi ini menarik simpati pemilih pemula yang jumlahnya cukup besar.
