Breaking News

Dilihat dari Sisi yang Beda: Aturan Adat “Renah Alai”

  


Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U.  (Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan)

Jendelakita.my.id. -  Sebagaimana dilansir oleh Linggau Independen pada 30 Oktober 2025, dalam berita berjudul Aturan Adat Ini Menjadi Penyebab Kerusakan Kebun Kopi Warga Bengkulu di Renah Alai Provinsi Jambi, tertanggal 24 Oktober 2025 pada saat bangsa Indonesia akan memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-97 dikeluarkanlah aturan adat desa (LAD) oleh Depati Seni Udo Renah Alai. Aturan tersebut berjudul Aturan Adat tentang Tanah dan Anak Semang, yang memuat lima butir ketentuan sebagai berikut.

Pertama, melarang masyarakat Renah Alai dan masyarakat dari luar Renah Alai untuk berladang dengan menggunakan orang Selatan (orang Palembang dan orang Bengkulu) sebagai anak semang. Selain itu, masyarakat dilarang menjual tanah atau hasil ladang kepada orang Selatan. Apabila terjadi pelanggaran, dikenakan hukum adat berupa denda beras 20 gantang, kambing satu ekor, dan uang sebesar Rp5.000.000 (lima juta rupiah). Orang yang melanggar juga dapat diusir dari lahan yang digarapnya. Kedua, jual beli tanah ladang atau rumah dengan orang luar dari Desa Renah Alai harus diketahui oleh kepala desa.

Ketiga, tenaga kerja tidak boleh menggunakan orang Selatan (Palembang dan Bengkulu). Jika melanggar, akan dikenakan denda adat berupa beras dua gantang, ayam satu ekor, dan uang sebesar Rp500.000 (lima ratus ribu rupiah). Keempat, bila telah terlanjur menjadikan orang Selatan (Palembang atau Bengkulu) sebagai anak semang, maka induk semang wajib mengusirnya. Jika tidak, maka akan diusir oleh warga masyarakat adat Desa Renah Alai. Kelima, bagi masyarakat Renah Alai yang tidak mematuhi aturan tersebut akan diputus aliran listrik PLTA dan air minum.

Aturan adat ini ditandatangani oleh Depati Seni Udo serta diketahui oleh Kepala Desa Renah Alai, Ketua DPD Renah Alai, dan Depati Karti Mudo Menggala. Sebagai pengamat hukum dan HAM, aturan seperti ini perlu dikritisi, terlebih pada bulan Oktober tahun ini bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-97 yang mengusung asas persatuan dan kesatuan bangsa. Ironisnya, pada hari yang sama pada Kamis, 30 Oktober 2025 akan dilaksanakan pelatihan Forum Pembauran Kebangsaan Provinsi Sumatera Selatan oleh Gubernur Sumatera Selatan. Kejadian ini menjadi kontras karena masih muncul diskriminasi terhadap warga negara dengan dalih aturan adat.

Sepengetahuan penulis, sebagai mantan akademisi yang selama 40 tahun menjadi dosen hukum adat di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya dan sebagai praktisi kelembagaan adat (Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan), tidak ditemukan adanya aturan seperti itu. Bahkan di dalam Simbur Cahaya yang pernah dijadikan acuan hukum adat di wilayah Sumatera Bagian Selatan, tidak terdapat satu pasal pun yang bersifat diskriminatif terhadap suku atau etnis yang berdomisili di suatu kawasan hutan atau desa.

Menurut teori ilmu hukum adat, hak ulayat atau tanah adat, termasuk dalam Simbur Cahaya, justru membolehkan orang luar dalam istilah Holleman disebut “orang asing” untuk menggarap tanah adat sepanjang mendapat izin dari kepala adat, dengan ketentuan membayar biaya tebas tebang. Dengan demikian, baik dari sisi teori maupun ketentuan adat yang termuat dalam Simbur Cahaya, tidak dibenarkan adanya perbedaan perlakuan yang bersifat diskriminatif karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia.

Aturan seperti yang dikeluarkan di Renah Alai juga bertentangan dengan semangat Negara Kesatuan Republik Indonesia dan prinsip bahwa tanah berfungsi sosial. Tinjauan dari sudut pandang berbeda terhadap aturan adat Renah Alai ini menunjukkan bahwa peraturan tersebut berpotensi menimbulkan konflik horizontal antarwarga negara Indonesia.

Sebagai pengingat, dalam Simbur Cahaya telah diatur tentang tata cara berladang. Pada Bab III Pasal 27 disebutkan: “Jika seseorang hendak berladang di marga asing, hendaklah ia minta izin pada pasirahnya dan ia harus membayar sewa bumi pada yang punya tanah seperti telah diterangkan oleh yang berkuasa. Dan melanggar adat ini dikenakan denda enam ringgit (maling utan namanya).” Catatan: istilah sewa bumi berlaku untuk tanah pengelolaan pribadi, sedangkan untuk tanah ulayat disebut pancung alas, yang dilakukan di hadapan pasirah sebagai bentuk pemenuhan unsur “terang” dalam hukum adat.

Dengan demikian, tidak ada ketentuan dalam hukum adat yang membenarkan pengusiran baik oleh pribadi (majikan) maupun oleh warga masyarakat hukum adat. Aturan adat Renah Alai yang demikian justru sangat ironis dan tidak mencerminkan asas musyawarah serta mufakat sebagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.