Perlukah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perampasan Aset?
Jendelakita.my.id. - Pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (koruptor) merupakan salah satu tuntutan masyarakat, khususnya mahasiswa, untuk segera disahkan sebagaimana tertuang dalam tuntutan 17+8 yang disampaikan di hadapan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia beberapa waktu lalu. Hingga tulisan ini diturunkan, baru enam tuntutan yang sudah dipenuhi, sebagaimana disampaikan oleh Wakil Ketua DPR RI beberapa waktu lalu. Lalu, bagaimana dengan tuntutan para demonstran terkait RUU Perampasan Aset Koruptor?
Setelah mendengar beberapa tanggapan dari pejabat di lembaga legislatif maupun eksekutif, muncul beragam komentar. Ada yang menyampaikan, “apakah kita sudi melihat anak-anak mereka hidup miskin?” Ada pula yang berkomentar bahwa RUU Perampasan Aset belum akan dibahas karena masih mendahulukan RUU KUHAP. Artinya, RUU Perampasan Aset belum masuk Prolegnas tahun 2025.
Sebelum terjadi unjuk rasa besar-besaran pada 25 dan 28 Agustus 2025 yang menimbulkan kerugian material (sekitar Rp950 miliar) maupun immaterial, serta menyebabkan luka-luka ringan, berat, bahkan kehilangan nyawa baik dari pihak pendemo maupun kepolisian, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Republik Indonesia, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., pada 5 Mei 2025 menyatakan bahwa pemerintah tidak akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Perampasan Aset. Menurutnya, Perppu dikeluarkan pemerintah jika adanya “kegentingan yang memaksa.”
Menyimak pernyataan Menko Yusril Ihza Mahendra tersebut, yang disampaikan sebelum demonstrasi 25 dan 28 Agustus 2025, tampak seolah wajar-wajar saja. Namun, apakah justru ini yang memancing bertambahnya kemarahan pengunjuk rasa? Yang jelas, menurut pengamatan saya sebagai kolumnis sekaligus pengamat hukum, peristiwa unjuk rasa yang menimbulkan kerugian material dan immaterial, bahkan korban jiwa, sudah seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk menetapkan Perppu Perampasan Aset sebagai bukti nyata salah satu tuntutan 17+8 dari masyarakat Indonesia.
Dampak luas dari keterlambatan penanganan masalah ini akan semakin menimbulkan pertanyaan masyarakat mengenai keseriusan pemerintahan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dalam memberantas tindak pidana korupsi. Bahkan, beberapa waktu lalu beliau sempat menyatakan akan membuatkan tempat bagi para koruptor di pulau terpencil yang dikelilingi oleh keganasan alam. Tentu semangat ini harus direalisasikan dalam bentuk penerbitan Perppu yang dimaksud.
Jika tidak, masyarakat akan merasa tersakiti ketika menyaksikan perilaku para koruptor yang telah merugikan negara hingga ribuan triliun, sementara di sisi lain kebutuhan hidup masyarakat semakin meningkat, baik harga bahan pokok maupun kenaikan pajak yang sangat fantastis. Semua itu dilakukan untuk menutupi defisit APBN, sementara utang luar negeri kian membengkak. Pertanyaannya, apakah ini bukan faktor “keadaan kegentingan yang memaksa” yang mendorong agar diterbitkan Perppu Perampasan Aset?
Pada akhirnya, semua kembali kepada pengambil kebijakan, yang sangat bergantung pada kemauan politik untuk memberantas korupsi yang sudah merajalela—darurat korupsi—mulai dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga pusat. Beberapa pelaku sudah mendapat sanksi pidana berupa penjara dan denda, tetapi tidak sebanding dengan kerugian negara maupun rakyat akibat ulah mereka.
Secara sosiologis, bagi seorang koruptor, baik yang sudah divonis maupun yang belum, ancaman undang-undang perampasan aset melalui Perppu (untuk sementara) akan membuat mereka berpikir ulang melakukan korupsi. Mereka akan sadar bahwa jika tertangkap aparat penegak hukum, harta hasil korupsi akan disita atau dirampas negara. Tidak seperti sekarang, para koruptor meski sudah menjalani hukuman pidana, tetap bisa kaya raya dan menikmati hasil korupsinya.
Bahkan, akan lebih berat lagi jika sampai dijatuhi hukuman mati dan benar-benar dieksekusi. Oleh karena itu, dengan segera diterbitkannya Perppu Perampasan Aset Koruptor, setidaknya menjadi salah satu metode untuk mengurangi atau menghentikan tindak pidana korupsi. Kebijakan ini juga akan memberikan dampak positif bagi perekonomian bangsa Indonesia.