MBG Dihantui Keracunan
Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Pengamat Hukum)
Jendelakita.my.id. - Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan program Pemerintah Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, yang telah dicanangkan sejak masa kampanye dan terealisasi setelah beliau menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Tujuannya antara lain untuk meningkatkan gizi anak-anak siswa mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan menengah (SD, SMP, SMA/SMK) di seluruh Indonesia, dengan visi dan misi menyiapkan generasi penerus bangsa yang berkualitas.
Namun, setelah berjalan beberapa bulan, program MBG ini menimbulkan sejumlah persoalan. Melalui berbagai pemberitaan di media sosial, baik cetak maupun elektronik, serta tayangan di televisi nasional dan swasta, dilaporkan bahwa di beberapa sekolah, baik negeri maupun swasta, terjadi hal-hal yang tidak diharapkan. Salah satunya adalah makanan yang disajikan tidak layak konsumsi hingga menimbulkan kasus keracunan pada siswa yang menyantapnya. Bahkan, guru yang ditugasi untuk mencicipi makanan tersebut juga ikut mengalami keracunan.
Baru-baru ini, misalnya, diberitakan bahwa puluhan hingga ratusan siswa di Bengkulu harus dilarikan ke rumah sakit akibat keracunan. Kasus serupa juga terjadi di berbagai daerah lain, baik di kabupaten maupun provinsi, baik di Jawa maupun luar Jawa. Bahkan, di Sleman, sejumlah guru menolak mencicipi makanan sebelum dibagikan kepada siswa karena khawatir keracunan.
Kondisi tersebut tentu menimbulkan pertanyaan: mengapa hal ini bisa terjadi? Patut diduga bahwa penyebab utama terjadinya “keracunan” secara kuantitatif disebabkan oleh bahan baku yang digunakan sudah tidak layak untuk dikonsumsi karena kualitasnya menurun. Hal ini perlu ditelusuri lebih lanjut, apakah disebabkan unsur kesengajaan demi meraih keuntungan besar, atau karena kelalaian, seperti tidak adanya alat pengukur maupun sarana yang layak pakai.
Banyak faktor yang memengaruhi persoalan ini. Yang jelas, hal tersebut harus menjadi perhatian bersama untuk segera dicarikan solusinya. Menurut penulis, perlu dibentuk tim pengawas di setiap dapur pengelola MBG. Selain itu, harus tersedia pula alat untuk mendeteksi kelayakan makanan yang akan dimasak. Tentu tim pengawas tersebut harus diberikan honorarium yang pantas, melibatkan ahli gizi atau bahkan dokter pengawas gizi.
Selain itu, lokasi produksi makanan juga harus steril dari bakteri dan kuman. Bahan baku yang digunakan sejak awal pembelian pun perlu diawasi secara ketat agar jika terjadi masalah dapat segera diketahui penyebabnya. Setelah dilakukan perbaikan pada aspek pengawasan bahan baku maupun peralatan masak, juga diperlukan pengawasan hukum yang tegas.
Sebagai langkah konkret, pengelola program MBG perlu membuat laporan harian kepada petugas khusus yang ditempatkan di setiap sekolah. Pengawasan ketat sangat penting agar apabila terjadi peristiwa hukum, baik karena kesengajaan maupun kelalaian, pengawas maupun lembaga pengelola MBG (misalnya yayasan) dapat dimintai pertanggungjawaban.
Dengan demikian, program MBG harus dipandang sebagai sebuah sistem yang melibatkan yayasan atau lembaga pengelola, dapur produksi, dan tim pengawas. Agar sistem pendidikan tidak terganggu, pihak sekolah (guru) sebaiknya tidak dilibatkan langsung, karena tugas pokok mereka adalah mendidik siswa. Idealnya, setiap sekolah juga memiliki ruang khusus (aula) sebagai tempat makan siang bersama.
Pertanyaan selanjutnya adalah dari mana anggaran untuk mewujudkan hal tersebut? Jawabannya tergantung pada komitmen dan niat bersama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai dengan tujuan kemerdekaan Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Selain itu, menu makanan juga sebaiknya diatur dengan standar gizi terukur dan seragam bagi seluruh siswa di Nusantara. Dengan demikian, standar gizi tersebut dapat dijadikan variabel dalam menentukan harga per porsi makanan bagi setiap anak.