Mulutmu Harimaumu: Pentingnya Menjaga Lisan dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Jendelakita.my.id. - Begitulah topik diskusi live CNN Indonesia dengan narasumber Herdiansyah Hamzah, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur, pada tanggal 1 September 2025. Sebagai seorang kolumnis yang berlatar belakang mantan akademisi Ilmu Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, saya mencoba mengaitkannya dengan adat budaya yang berlaku di Nusantara.
Ada sebuah pepatah yang kiranya sesuai dengan topik di atas, yakni “Mulutmu, harimaumu.” Pepatah tersebut sangat relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini, di mana rakyat tengah melakukan unjuk rasa.
Sudah kita ketahui bersama, dari berbagai media baik cetak maupun elektronik, termasuk media sosial, bahwa pada akhir Agustus 2025 telah terjadi sedikitnya dua kali unjuk rasa yang menegangkan. Aksi tersebut berujung kerusuhan dan menimbulkan banyak korban, baik kerugian materiil maupun immateriil. Bahkan, sejumlah korban mengalami luka ringan hingga berat, dan ada yang meninggal dunia. Contohnya adalah saudara kita, Affan Kurniawan, yang wafat pada 28 Agustus 2025 saat menjalankan profesinya sebagai pengemudi ojek daring. Peristiwa itu mendapat perhatian luas, termasuk dari Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto serta Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Puan Maharani, yang melakukan takziah ke rumah duka. Belum lagi diberitakan pula tentang meninggalnya seorang mahasiswa di Yogyakarta.
Setelah ditelusuri, salah satu penyebab gejolak unjuk rasa (25–28 Agustus 2025) berawal dari pernyataan sejumlah pejabat, baik dari lembaga eksekutif maupun legislatif. Kita masih ingat ucapan seorang menteri yang mengatakan, “Kalau tak mau bayar pajak, jangan tinggal di Indonesia.” Demikian juga pernyataan seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR RI, yang menanggapi isu pembubaran DPR dengan melontarkan ucapan yang sangat menyakitkan hati rakyat, yaitu “Manusia ter-tolol se-dunia.” Ia seakan lupa bahwa lembaga yang didudukinya adalah simbol kedaulatan rakyat dan dirinya adalah wakil rakyat hasil pemilu.
Seharusnya, pernyataan seperti itu dapat disikapi dengan bijaksana. Kalau tidak bisa berkata baik, mungkin lebih baik diam. “Diam adalah emas,” kata filsafat ketimuran. Apa yang terjadi kemudian, baik langsung maupun tidak, menjadi salah satu pemicu unjuk rasa pada 25 Agustus 2025. Amarah massa pun berujung fatal: perusakan, pembakaran, hingga penjarahan rumah milik mereka yang mengucapkan kata-kata yang melukai hati rakyat.
Melihat peristiwa tersebut, terlepas dari siapa yang bersalah atau bertindak anarkis, rasanya tepat bila kita mengingat nasihat nenek moyang. Mereka selalu menekankan pentingnya menjaga ucapan agar hidup senang dan bahagia. Lebih baik diam daripada berkata yang menyakiti orang lain. Itulah makna pepatah “Mulutmu, harimaumu.”
Kerugian materiil, sebagaimana disampaikan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anum, mencapai estimasi Rp55 miliar. Itu baru di Jakarta. Belum termasuk kerugian di daerah lain yang juga terkena dampak unjuk rasa, seperti perusakan fasilitas umum maupun milik pribadi. Misalnya, pembakaran gedung DPRD Kota Makassar, Sulawesi Selatan, yang ludes terbakar, dan peristiwa serupa di beberapa daerah lain.
Oleh karena itu, seluruh elemen masyarakat, bangsa, dan negara perlu melakukan introspeksi diri agar Indonesia dapat menjadi negara adil dan makmur sesuai cita hukum menuju Indonesia Emas 2045. Jika kita menelusuri jejak para pendiri bangsa, kemerdekaan Indonesia lahir dari semangat kebersamaan, musyawarah, dan mufakat. Hal itu tercermin dalam Sumpah Pemuda, perdebatan tentang dasar negara, serta bentuk negara yang akhirnya disepakati. Kebersamaan itulah yang mengakumulasi lahirnya kemerdekaan 17 Agustus 1945. Tanpa itu semua, mungkin kita belum merasakan kemerdekaan sejati.
(Baca: Sejarah Sekitar Proklamasi karya Drs. H. Mohammad Hatta; Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H.; dan buku karya Ir. Soekarno berjudul Pancasila Menurut Soekarno, serta sumber lain). Belum lagi muncul ucapan-ucapan yang melukai hati rakyat dari kalangan artis, misalnya ketika ada yang berjoget di ruang sidang utama DPR RI.
Akhirnya, akibat dari sejumlah pernyataan tersebut, para pemimpin partai politik asal para pejabat yang bersangkutan memberikan sikap tegas dengan menonaktifkan mereka dari keanggotaan DPR RI. Secara silogisme berpikir, kesimpulannya jelas: mulut yang berucap tak pantas, harimau akibatnya akan memangsa diri sendiri.
Tepat sekali filosofi nenek moyang kita: kearifan lokal selalu menekankan pentingnya menjaga lisan.