Breaking News

Mungkinkah Kepala Desa Dihapus?

Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Pengamat Hukum) 

Jendelakita.my.id. -  Judul artikel di atas terinspirasi oleh berita yang beredar di media sosial tentang “Kades Akan Dihapus.” Apakah berita tersebut benar-benar adanya sebagai suatu langkah pemerintah atau hanya hoaks? Terlepas dari hal itu, penulis sebagai mantan akademisi yang juga menggeluti kelembagaan adat, baik secara teoritis maupun praktis, mencoba mengkajinya dari sudut sejarah serta kemungkinan yang dapat dijadikan dasar kebijakan pemerintah di masa mendatang.

Sebagaimana diketahui, lahirnya istilah “kades” berawal dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, serta beberapa peraturan perundang-undangan lainnya. Lahirnya kedua undang-undang tersebut tidak lain karena saat itu Indonesia menganut sistem pemerintahan sentralistik, di mana semua diatur oleh pusat dengan sistem yang sama di seluruh wilayah Indonesia. Istilah “kades” sebelumnya hanya dikenal di Jawa. Sementara itu, di luar Jawa dan Madura terdapat sistem pemerintahan terendah dengan istilah masing-masing daerah yang berbeda-beda. Misalnya, di Sumatera Barat sistem pemerintahan saat itu adalah Kenagarian, sedangkan di Sumatera Selatan disebut sistem pemerintahan Marga.

Kita juga tidak boleh melupakan beberapa kebijakan kolonial yang mencampurkan sistem asli dengan sistem kolonial. Pemerintah kolonial Belanda, misalnya, mengeluarkan aturan seragam yang berlaku di Jawa maupun luar Jawa, yaitu IGO (untuk Jawa-Madura) dan IGOB (untuk luar Jawa). Karena kedua aturan tersebut bernuansa politis dan bertentangan dengan asas “nasionalisme,” maka aturan itu dihapus oleh pemerintah Republik Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1974 jo. UU No. 5 Tahun 1979. Sejak saat itulah dikenal istilah “kades” (kepala desa).

Konsep desa yang berasal dari Jawa sebenarnya tidak dikenal di luar Jawa. Di luar Jawa dikenal istilah lain seperti Wali Nagari (Sumatera Barat), Pasirah (Sumatera Selatan), atau bentuk asli lainnya seperti Kaipati, Jurai Tue, dan sebagainya. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah jabatan kades akan dihapus? Secara teoritis, hal itu memang dimungkinkan berdasarkan sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini.

Apalagi setelah amandemen UUD 1945, di mana diatur antara lain dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 serta Pasal 28I ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, ada pula Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa. Sebelumnya juga diatur dalam Ketetapan MPR RI Tahun 1998, yang kemudian dilanjutkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya. Untuk Sumatera Selatan, hal ini ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Provinsi Sumatera Selatan. Pasal 5 ayat (3) mengatur dan mengakui kesatuan masyarakat hukum adat. Analisis penulis, aturan ini kembali kepada susunan asli, bukan marga berdasarkan IGOB yang telah dihapus melalui Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 142/KPTS/III/1983 tanggal 23 Maret 1983 yang berlaku sejak 1 April 1983. Hal ini menurut penulis kembali kepada sistem pemerintahan terendah yang asli, sebagaimana dimaksudkan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 yang asli.

Dengan mengingat berbagai peraturan perundang-undangan tersebut, maka kesimpulannya nuansa untuk menghapus sistem pemerintahan terendah yang dipimpin oleh kades bisa saja direalisasikan. Namun, secara praktis hal ini masih menyisakan persoalan politik dan sosial-budaya. Dari sisi sosial-budaya, misalnya, apakah masih ada tokoh masyarakat yang benar-benar menguasai aturan adat dan budaya? Dahulu seorang pimpinan masyarakat juga merupakan figur kepala adat, yang perannya kini telah banyak terabaikan.

Walaupun dalam bukunya Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H. berjudul Kepala Desa Sebagai Hakim Perdamaian Desa?, disebutkan bahwa kades diharapkan mampu menangani persoalan masyarakat hukum adat di wilayahnya, kenyataannya hal itu masih menyisakan banyak kendala. Sebagaimana diketahui, dalam masyarakat hukum adat berlaku hukum yang disebut Hukum Adat, Hukum Kebiasaan, atau Hukum Tradisional. Bahkan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang akan berlaku 2 Januari 2026, menggunakan istilah “hukum yang hidup dalam masyarakat.”

Ditambah lagi dengan kebijakan kepolisian dan kejaksaan Republik Indonesia yang mulai menerapkan sistem Perdamaian Adat dengan istilah Restorative Justice (RJ), maka hal ini memerlukan figur-figur yang memahami hukum sosial (hukum perdamaian adat) agar tercapai hasil yang optimal. Di sinilah sebenarnya peran utama lembaga adat yang ada di semua tingkatan—mulai dari desa/dusun, kecamatan, kabupaten/kota, hingga provinsi. Lembaga ini seharusnya diduduki oleh orang-orang yang memahami nilai-nilai budaya masyarakat hukum adat, bukan sekadar simbol berupa kesenian (tari, nyanyi, dan sebagainya), melainkan orang yang mampu menganalisis perkembangan rasa keadilan masyarakat hukum adat yang sesungguhnya.

Dalam Undang-Undang Pemerintahan Desa yang baru, istilah “desa” dapat diganti dengan istilah lain. Misalnya, istilah nagari dipimpin oleh wali nagari, atau marga dipimpin oleh pasirah. Dengan demikian, memungkinkan tiap provinsi dan kabupaten di Indonesia menyesuaikan dengan aturan terbaru. Namun, semua ini kembali pada pemegang kekuasaan, baik legislatif maupun eksekutif, untuk membuat aturan yang mengharmonisasikan perundang-undangan yang berlaku saat ini.

Tentunya hal ini tidak mudah karena menyatukan kebijakan eksekutif dan legislatif membutuhkan integritas tinggi untuk memakmurkan rakyat Indonesia, serta kualitas dari masing-masing lembaga. Allah Yang Maha Tahu. Kebijakan tersebut tentunya harus dituangkan melalui Peraturan Daerah (Perda).