Breaking News

Ketegasan Partai, Obat Paten untuk Mengobati Perasaan Rakyat


Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Pengamat Hukum) 

Jendelakita.my.id. - Seperti yang sudah kita maklumi bersama, dua partai politik telah mengambil keputusan untuk menonaktifkan kadernya yang duduk di bangku Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yaitu Partai Nasdem dan Partai Amanat Nasional (PAN). Namun, sayangnya istilah nonaktif tidak dikenal dalam Undang-Undang MD3. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah langkah tersebut merupakan solusi atau justru ilusi, karena lebih mengedepankan aspek politik daripada hukum. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang MD3, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang telah diubah dengan UU Nomor 13 Tahun 2019, pemberhentian status anggota DPR RI hanya dapat dilakukan melalui tiga hal, yaitu Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu, dan Berhenti Sementara.

Pemberhentian Antarwaktu dapat terjadi karena anggota yang bersangkutan meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan. Dengan adanya kebijakan Partai Nasdem dan PAN yang menggunakan istilah nonaktif—padahal tidak dikenal dalam UU MD3—maka secara hukum, anggota yang bersangkutan masih tetap menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya layaknya anggota aktif. Persoalan kemudian muncul: apakah kebijakan nonaktif ini merupakan solusi atau ilusi? Pertanyaan ini juga menjadi topik bahasan CNN Indonesia pada tanggal 1 September 2025 malam, dalam dialog bersama pakar hukum Universitas Andalas, Saudara Feri, serta Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat, Syarief Hasan.

Dalam dialog tersebut, pewawancara CNN Indonesia menanyakan dampak hukum dari kebijakan dua partai politik tersebut. Keduanya berpendapat bahwa istilah nonaktif yang diambil Nasdem dan PAN tidak berdampak secara hukum, tetapi lebih bernuansa politis semata, yaitu untuk meredam keresahan rakyat Indonesia yang tengah melakukan unjuk rasa. Syarief Hasan mengusulkan cara yang paling sederhana dan tepat adalah agar kader yang dinonaktifkan tersebut mengundurkan diri dari keanggotaan DPR RI. Sedangkan Pakar Hukum Universitas Andalas, Saudara Feri, berpendapat bahwa seharusnya kader yang bermasalah diberhentikan sementara.

Jika hanya dinonaktifkan, maka anggota yang bersangkutan masih memiliki hak untuk menerima gaji dan tunjangan lainnya. Hal ini berpotensi menimbulkan kekecewaan rakyat, mengingat unjuk rasa yang terjadi sebelumnya dipicu oleh isu kenaikan tunjangan anggota dewan yang dinilai sangat fantastis. Akibat situasi tersebut, muncul pula isu pembubaran DPR RI, sebagaimana terjadi pada demonstrasi tanggal 25 Agustus 2025. Dengan kata lain, sikap partai politik yang hanya menggunakan istilah yang tidak dikenal dalam UU MD3 (nonaktif) berpotensi mencederai perasaan rakyat Indonesia dan menimbulkan persoalan baru. Mengutip CNN Indonesia, pertanyaannya kembali, apakah ini sebuah “solusi atau ilusi”?

Untuk menghindari kekecewaan rakyat, partai politik yang bersangkutan seharusnya segera mengambil sikap tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini penting agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap persatuan dan kesatuan bangsa serta negara Indonesia yang cinta akan NKRI. Oleh karena itu, semua pihak harus berpikir demi kepentingan bangsa, bukan kepentingan golongan atau partai politik tertentu, terutama dalam rangka menuju Indonesia Emas 2045.

Memang benar bahwa dalam kata “diberhentikan” terdapat persyaratan, yaitu anggota yang bersangkutan telah berstatus terdakwa sebagaimana diatur dalam UU MD3. Namun, jika dianalisis dari kajian hukum pidana, patut diduga bahwa Saudara AS dapat dikategorikan telah memenuhi unsur pidana. Hal ini terlihat dari pernyataannya dengan menggunakan istilah “TOLOL” yang dialamatkan kepada rakyat Indonesia yang membawa isu pembubaran DPR RI. Pernyataan tersebut sudah dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana berupa penghinaan, pelecehan, atau perendahan martabat rakyat Indonesia. Dampaknya pun menimbulkan kerusuhan, sebagaimana terlihat dalam pemberitaan media massa tentang demonstrasi yang berujung anarki dengan merusak sarana dan prasarana umum sehingga menimbulkan kerugian materiel maupun nonmateriel.

Kerugian materiel, sebagaimana disampaikan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung, mencapai Rp55 miliar hanya untuk perbaikan halte dan fasilitas umum lainnya. Maka, sepatutnya kader yang bersangkutan mengundurkan diri sebagaimana disarankan Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat, Syarief Hasan. Namun, dalam dialog tersebut Saudara Feri menyampaikan bahwa pengunduran diri bagi seorang anggota DPR RI sangatlah langka, karena pada umumnya mereka enggan melepaskan “kursi empuk” tersebut. Wallahu a’lam.