Akumulasi Faktor Unjuk Rasa
Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Pengamat Hukum dan Sosial)
Jendelakita.my.id. - Di akhir bulan Agustus 2025, suasana bangsa Indonesia terasa pilu dan menyedihkan. Padahal, kita baru saja merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia yang ke-80, namun situasi kehidupan berbangsa dan bernegara justru diwarnai ketegangan. Hal ini disebabkan oleh gelombang demonstrasi atau unjuk rasa yang terjadi hampir di seluruh wilayah Nusantara. Tercatat, setidaknya ada dua peristiwa unjuk rasa besar yang tidak hanya mengorbankan harta benda, tetapi juga menelan korban jiwa, yakni unjuk rasa pada tanggal 25 Agustus 2025 dan 28 Agustus 2025.
Unjuk rasa pada 25 Agustus 2025 membawa isu utama "BUBARKAN DPR RI", sedangkan unjuk rasa pada 28 Agustus 2025 didominasi oleh perjuangan kaum buruh yang menyuarakan nasib mereka yang semakin terpuruk. Gelombang protes berlanjut setelah peristiwa tragis meninggalnya seorang pengemudi ojek daring yang tergilas kendaraan taktis Brimob saat mengawal aksi demonstrasi. Menurut analisis penulis, terdapat tiga faktor akumulasi yang menyebabkan unjuk rasa berlangsung berkepanjangan hingga artikel ini diturunkan.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa isu "BUBARKAN DPR RI" menjadi pemicu utama unjuk rasa yang berpusat di depan Gedung DPR RI/MPR RI. Hal ini berawal dari sikap dan perilaku sejumlah oknum anggota DPR RI yang dianggap tidak pantas. Salah satunya adalah pernyataan Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, yang mengatakan bahwa "mereka yang ingin membubarkan DPR RI adalah MANUSIA TERTOLOL se-Dunia." Ucapan tersebut memicu kemarahan rakyat karena dianggap merendahkan derajat masyarakat yang telah memilih para wakilnya di parlemen.
Kemudian, sikap anggota dewan yang menambah luka rakyat adalah aksi berjoget di ruang sidang, seperti yang dilakukan Eko Patrio dan beberapa rekannya. Tindakan itu terjadi setelah mereka mendengar kabar mengenai tambahan tunjangan yang nilainya fantastis. Perilaku tersebut menyinggung perasaan masyarakat, karena ruang sidang seharusnya dijaga sebagai simbol kedaulatan rakyat, bukan untuk bersuka ria.
Selain itu, rakyat semakin terjepit akibat kebijakan pemerintah di bidang ekonomi dan fiskal. Kenaikan harga kebutuhan pokok, bahan bakar minyak (BBM), hingga berbagai jenis pajak seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menambah beban hidup masyarakat. Ironisnya, pajak penghasilan (PPh) anggota DPR RI justru dibayar oleh negara. Tidak hanya itu, sejumlah kebijakan publik lain, seperti wacana pemblokiran rekening dan kebijakan agraria dari Kementerian ATR/BPN mengenai pengambilalihan lahan bersertifikat yang ditelantarkan, juga sempat memicu keresahan. Meskipun pada akhirnya menteri terkait menyampaikan permintaan maaf, kegelisahan masyarakat sudah terlanjur meluas.
Situasi semakin memburuk setelah meninggalnya Affan Kurniawan (21), seorang pengemudi ojek daring yang tengah mengantarkan pesanan konsumen, akibat terlindas kendaraan kepolisian. Peristiwa tragis ini memicu solidaritas komunitas ojek daring di seluruh Nusantara yang melakukan aksi protes sebagai bentuk kebersamaan mereka. Perhatian publik pun semakin besar, hingga Presiden, Ketua DPR RI, dan sejumlah pejabat mendatangi rumah duka orang tua almarhum sebagai bentuk empati dan belasungkawa.
Namun, di sisi lain, amarah rakyat terlanjur meluap. Aksi-aksi protes berkembang menjadi tindakan anarkis, termasuk perusakan fasilitas umum, penjarahan, hingga pembakaran gedung DPRD di Sulawesi Selatan dan beberapa daerah lainnya. Bahkan, rumah pribadi sejumlah pejabat, seperti Ahmad Sahroni, Eko Patrio, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, ikut menjadi sasaran pengrusakan dan pembakaran oleh massa.
Situasi ini jelas menegangkan dan mengkhawatirkan. Harapan ke depan adalah kondisi bangsa dapat segera kondusif sehingga kejadian serupa tidak terulang lagi. Perlu ada evaluasi menyeluruh dari semua pihak. Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto, diharapkan mampu mengambil langkah cepat, tepat, dan tegas sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan. Jika tidak, kondisi ini berpotensi membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara, apalagi jika pihak ketiga ikut campur, yang pada akhirnya akan mengganggu stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari Sabang sampai Merauke.