Breaking News

Transformasi Kejaksaan Menuju Indonesia Maju



Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Pengamat Hukum) 

Jendelakita.my.id. -  Slogan di atas merupakan semangat dalam memperingati hari ulang tahun ke-80 Kejaksaan pada tanggal 2 September 2025. Dua kata kunci, yaitu Transformasi dan Indonesia Maju, memiliki makna mendalam. Keduanya merupakan faktor yang saling memengaruhi. Dalam kajian ilmu penelitian, hal ini dikenal dengan istilah “dependent variabel” dan “independen variabel”. Di antara kedua variabel tersebut terdapat variabel lain yang disebut “variabel antara”, yang perannya sangat menentukan. Sebab, variabel dependen dan independen dapat bekerja optimal jika variabel tengah mendukung, namun akan gagal jika sebaliknya tidak memberikan respons positif.

Sebelum mengulas lebih jauh, penting untuk memaknai dua istilah tersebut, yakni Transformasi dan Indonesia Maju. Transformasi sebagai kata benda berarti perubahan rupa, bentuk (sifat, fungsi), atau terjemahan puisi yang kerap kali menuntut sesuatu secara besar-besaran; sedangkan mentransformasikan berarti mengubah rupa, bentuk, sifat, maupun fungsi (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 959). Adapun kalimat Indonesia Maju adalah gambaran Indonesia dalam kondisi yang diharapkan. Penulis memaknai istilah Indonesia Maju dengan pengertian teknis-yuridis sebagai “Indonesia yang adil dan beradab.” Pandangan ini sejalan dengan pemikiran filsuf Indonesia, O. Notohamidjojo, dalam bukunya Keadilan dan Pokok-Pokok Filsafat Hukum, yang menggunakan istilah “memanusiakan manusia.”

Mengusung tema Transformasi Menuju Indonesia Maju bermakna perjuangan optimal dari lembaga Kejaksaan, mulai dari Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi, hingga Kejaksaan Agung, sebagai institusi publik yang terintegrasi dalam satu sistem. Sistem tersebut ditujukan untuk menghasilkan kinerja yang optimal, profesional, serta proporsional dalam rangka mencapai tujuan hukum. Tujuan hukum bangsa Indonesia sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Pembukaan UUD 1945 berlandaskan Pancasila sebagai dasar negara serta falsafah bangsa yang menjadi pedoman arah hukum nasional.

Hukum Indonesia adalah hukum yang bersumber dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat modern. Prof. Dr. H. M. Koesnoe, S.H., menyatakan bahwa tujuan hukum Indonesia (Rechtsidee atau cita hukum) adalah mewujudkan keadilan bagi semua pihak, baik individu, masyarakat, maupun bangsa. Hal ini berbeda dengan teori hukum Barat yang menitikberatkan pada kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Dengan demikian, Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum memiliki kewajiban untuk menegakkan keadilan.

Pencapaian tujuan tersebut tidak terlepas dari metode berpikir dalam menginterpretasikan suatu kasus secara faktual menjadi fakta hukum melalui identifikasi, inventarisasi, serta penyimpulan yang tepat dan adil. Dalam konteks ini, penting untuk berpedoman pada fatwa atau teori ilmu hukum, khususnya sebagaimana diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Beliau menekankan bahwa untuk menemukan kebenaran dan keadilan, harus berpijak pada tiga elemen pokok yang dikenal sebagai “tiga Kon”: konsentrisitas, kontinuitas, dan konvergensi.

Konsentrisitas berarti bahwa dalam menemukan hukum harus tetap terpusat pada nilai-nilai Pancasila. Kontinuitas bermakna bahwa pencarian kebenaran dan keadilan tidak boleh terputus dari putusan hukum yang pernah ditetapkan sebelumnya oleh lembaga Kejaksaan. Sedangkan konvergensi menuntut agar seorang jaksa berpikiran terbuka dalam menerima nilai-nilai universal yang berlaku secara global, sehingga tidak bersifat tertutup.

Penulis teringat pada pengalaman saat menjadi mahasiswa yang diajar oleh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Prof. Mr. H. Makmoen Soelaiman. Beliau menyampaikan bahwa seorang jaksa harus berpikir dari unsur subjektif menuju hasil yang objektif. Secara subjektif, hal ini tergambar ketika jaksa menyampaikan “dakwaan” di ruang sidang. Sedangkan secara objektif, hal ini tampak ketika jaksa membacakan “tuntutan” yang menentukan apakah terdakwa terbukti bersalah atau tidak.

Jika terbukti, jaksa penuntut umum akan menuntut terdakwa secara objektif sebagai bersalah, sementara jika tidak terbukti, tuntutan bebas akan diberikan. Di sinilah letak transformasi, yaitu mengubah pola pikir agar menghasilkan keputusan yang seobjektif mungkin demi mewujudkan Indonesia Maju—Indonesia yang berdasarkan Pancasila dengan menegakkan keadilan sejati, atau dengan istilah lain, memanusiakan manusia.

Indonesia Maju dalam konteks ini adalah Indonesia yang mempraktikkan Rechtsidee atau cita hukum sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 melalui sila-sila Pancasila, khususnya sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, termasuk keadilan hukum. Untuk mencapainya, Kejaksaan sebagai instrumen keadilan akan selalu berhadapan dengan variabel antara yang dapat menjadi faktor pendukung maupun penghambat transformasi tersebut. Sebab, variabel tengah pada hakikatnya dapat juga menjadi variabel pengganggu yang menguji konsistensi penegakan hukum.