Breaking News

Manusia Ter-Tolol Se-Dunia



Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Pengamat Hukum) 

Jendelakita.my.id. -  “Manusia ter-tolol se-dunia,” begitulah sepenggal kalimat yang disampaikan oleh Ahmad Sahroni, Wakil Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, saat kunjungan kerja (kunker) ke Kepolisian Daerah Sumatera Utara pada Jumat, 22 Agustus 2025. Beliau adalah politisi Partai NasDem, sebagaimana dikutip dari WargaJakarta.id (23 Agustus 2025). Pernyataan tersebut diucapkan dengan nada tinggi (terlihat dari video yang beredar) sebagai tanggapan balik terhadap viralnya isu di media sosial mengenai pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Dalam pidatonya yang berapi-api, Ahmad Sahroni mengatakan: “Boleh saja masyarakat menyampaikan kritik yang membangun terhadap kinerja DPR RI. Namun jangan sampai memaki-maki, karena mereka wakil rakyat?” Pertanyaannya, sebenarnya kalimat atau pilihan kata yang beliau gunakan—“manusia ter-tolol se-dunia”—apakah tidak termasuk juga bentuk “memaki”?

Sebagai seorang pemerhati sosial, saya menilai bahwa viralnya isu tentang “pembubaran DPR RI” merupakan ungkapan kritik atau bentuk kekecewaan rakyat Indonesia terhadap perilaku yang ditunjukkan akhir-akhir ini. Misalnya, aksi bergembira ria dan berjoget di ruang sidang, dengan alasan apa pun, tetap merupakan hal yang tidak pantas dilakukan. Ruang sidang adalah simbol kedaulatan rakyat yang seharusnya dijaga martabatnya, apa pun latar belakang yang melatarinya.

Belum lagi berbagai kebijakan yang belakangan terdengar rencananya justru dinilai kurang menguntungkan rakyat, seperti kenaikan pajak dan biaya kesehatan, termasuk rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Hal-hal semacam ini semakin menambah keresahan masyarakat.

Beberapa waktu lalu, Ahmad Sahroni juga sempat melempar pernyataan saat rapat kerja Komisi III DPR dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam kesempatan itu, beliau menyampaikan imbauan agar KPK melakukan komunikasi terlebih dahulu dengan partai politik apabila akan menangkap kader partai yang terjerat operasi tangkap tangan (OTT).

Secara logika hukum yang sehat, hal ini menimbulkan pertanyaan. Jika KPK harus melakukan komunikasi terlebih dahulu, maka itu bukan lagi operasi tangkap tangan namanya. Sudah dapat dipastikan akan terjadi kebocoran informasi sehingga pihak yang bersangkutan mengetahui dan menghindari proses hukum. Apakah alasan tanpa komunikasi terlebih dahulu justru dianggap sebagai bentuk “pelecehan partai”?

Masyarakat pun semakin bertanya-tanya, apakah tindak pidana korupsi dilakukan oleh individu atau ada keterlibatan pihak lain. Jika dilakukan oleh individu, maka wajar bila KPK tidak perlu berkomunikasi dengan partai politik karena akibat hukum hanya ditanggung oleh pelaku tindak pidana tersebut. Sebaliknya, apabila kader partai politik yang melakukan korupsi, tentu partai ikut tercemar, sehingga seharusnya partai mengambil sikap tegas.

Indonesia adalah negara hukum, sehingga semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Tidak seharusnya ada perbedaan perlakuan. Rumusan pasal-pasal dalam hukum pidana, baik umum maupun khusus, menggunakan istilah “barang siapa” yang secara filosofis menunjukkan bahwa semua orang sama di hadapan hukum. Prinsip ini sudah berlaku sejak zaman Romawi kuno.

Menurut pengamatan saya selaku kolumnis, hal-hal semacam ini sebaiknya dibiarkan sebagai bentuk kritik sepanjang tidak bertentangan dengan norma agama, norma hukum negara, maupun norma sosial. Kritik adalah wujud kepedulian rakyat terhadap situasi bangsa dan negara, sekaligus hak konstitusional yang dijamin.

Ke depan, diharapkan lembaga-lembaga negara dapat bekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hanya dengan demikian Indonesia dapat benar-benar menuju cita-cita besar: Indonesia Emas 2045.