Breaking News

Baku Hantam saat Rapat di DPRD Kota Palembang


Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Pengamat Hukum) 

Jendelakita.my.id. -  Beredar sebuah video di media sosial yang memperlihatkan terjadinya pemukulan terhadap seorang Aparatur Sipil Negara dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam suasana rapat kerja dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Terlepas dari siapa yang melakukan kesalahan hingga menyebabkan insiden pemukulan di ruang terhormat tersebut, peristiwa ini mencerminkan sikap yang sangat disayangkan dari para penyelenggara negara di Kota Palembang.

Sebagai seorang pengamat hukum dan politik, saya menilai bahwa kejadian ini menunjukkan lemahnya kendali emosi di kalangan wakil rakyat. Seharusnya, mereka mampu menahan amarah meskipun berada dalam suasana penuh tekanan. Justru di situlah kualitas seseorang dapat diukur, terlebih lagi bagi seorang wakil rakyat yang diberi amanah untuk menyalurkan aspirasi masyarakat luas. Peristiwa semacam ini bukanlah hal baru, karena sering pula terjadi di daerah lain.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: mengapa hal seperti ini kerap berulang? Mungkin salah satu penyebabnya adalah pengkaderan dalam tubuh partai politik yang belum berjalan optimal, bisa jadi karena dipengaruhi oleh sistem pemilihan umum yang ada. Hal ini tentu menjadi objek kajian menarik bagi para peneliti untuk menemukan akar persoalannya. Pada titik inilah, pembelajaran tentang etika politik, termasuk etika persidangan, seharusnya mendapat perhatian lebih. Materi semacam ini sebenarnya sering diajarkan dalam organisasi mahasiswa, baik yang bersifat ekstrakurikuler maupun intrakurikuler.

Namun, menurut pengamatan saya selaku kolumnis, hal tersebut kini sangat minim dipelajari. Berdasarkan pengalaman pribadi, ketika saya mengikuti perkuliahan dan aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Islam pada tahun 1974, kami mendapatkan berbagai pelatihan dari para senior hingga mencapai level tertinggi. Dalam praktik sehari-hari, manfaat dari pembelajaran itu masih saya rasakan hingga sekarang.

Dengan demikian, membangun kualitas kader politik tidak bisa dilakukan secara instan atau “ujuk-ujuk” (bahasa daerah), melainkan harus melalui tahapan pendidikan organisasi yang sistematis. Jika seseorang menjadi kader partai politik, ia seharusnya memulai dari tingkatan terendah, misalnya menjadi anggota atau pengurus di tingkat kelurahan atau kecamatan, kemudian terus berproses hingga ke tingkat pusat apabila memungkinkan.