Breaking News

Kajian Teoritis Dampak Pemberian "Abolisi dan Amnesti"

Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Pengamat Hukum) 

Jendelakita.my.id. - Abolisi dan amnesti merupakan hak Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan, di samping hak-hak lainnya yang populer disebut sebagai hak prerogatif. Hak prerogatif ini tidak dimiliki oleh lembaga negara lainnya. Belakangan ini, isu mengenai pemberian "abolisi dan amnesti" oleh Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, kepada narapidana Harto Kristiyanto—yang telah divonis bersalah oleh pengadilan—dan Tom Lembong yang diberikan abolisi (yang juga telah divonis oleh hakim pengadilan), sedang ramai diperbincangkan di media sosial, media massa, serta media elektronik lainnya.

Tentu saja, masyarakat awam bertanya-tanya mengenai perbedaan antara abolisi dan amnesti. Secara sederhana, kata kuncinya adalah bahwa abolisi merupakan penghentian proses hukum yang sedang berjalan, dan diberikan oleh Presiden kepada seseorang atau sekelompok orang. Sementara itu, amnesti adalah pengampunan yang diberikan Presiden kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah ditetapkan sebagai narapidana.

Terlepas dari uraian di atas, tulisan ini tidak akan membahas lebih lanjut dasar kebijakan Presiden dalam memberikan abolisi dan amnesti kepada Tom Lembong dan Harto Kristiyanto. Namun, yang menjadi fokus adalah mengkritisi potensi dampak yang dapat timbul dari kebijakan tersebut. Pemberian abolisi dan amnesti, baik secara langsung maupun tidak langsung, tentu akan berkaitan dengan unsur politik dan hukum.

Dari sisi politik, keterkaitan ini tampak jelas. Tom Lembong adalah mantan pejabat yang pernah menjabat sebagai menteri pada era pemerintahan sebelumnya, sedangkan Hasto Kristiyanto dikenal sebagai seorang petinggi partai politik. Keterkaitan antara hukum dan politik juga dapat ditelusuri dari alasan yang disampaikan oleh Menteri Hukum Republik Indonesia dalam permohonannya agar diberikan hak abolisi dan amnesti, salah satunya berbunyi: "untuk persatuan dan kesatuan bangsa." Pernyataan ini tentu menimbulkan pertanyaan di tengah masyarakat.

Pertanyaan yang muncul antara lain adalah apakah kasus-kasus tersebut berkaitan dengan tindak pidana politik, sebab jika tidak diberikan amnesti dan abolisi, dikhawatirkan akan mengguncang kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal, diketahui bahwa kasus yang menimpa Tom Lembong dan Harto Kristiyanto merupakan tindak pidana khusus yang diduga kuat berkaitan dengan tindak pidana korupsi.

Kekhawatiran masyarakat adalah, jika ke depan terdapat kasus pidana yang mengandung unsur politik, dan alasan yang diajukan adalah demi stabilitas politik, maka bisa saja tindakan abolisi dan amnesti kembali dilakukan. Hal ini dikhawatirkan akan menjadi preseden yang diikuti dalam kasus-kasus serupa di masa mendatang. Pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah preseden seperti itu akan menjadi pembenaran untuk pemberian abolisi dan amnesti berikutnya?

Inilah yang menjadi tanda tanya besar di kalangan masyarakat. Mudah-mudahan pemerintah dapat mengambil langkah yang bijak agar kekhawatiran tersebut tidak menjadi kenyataan. Sebab, hukum dan politik ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Namun demikian, satu hal yang pasti adalah bahwa Indonesia merupakan negara hukum, yang ciri utamanya adalah setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Demikianlah amanat konstitusi Republik Indonesia.