Dr. Hamonangan Albariansyah: Pentingnya Internalisasi Biaya Aparat Penegak Hukum dalam Praperadilan
Jendelakita.my.id. - Dalam rangkaian acara yudisium dan pelepasan Sarjana Hukum, Magister Kenotariatan, Magister Hukum, serta Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya memiliki tradisi yang baik dan telah berlangsung sejak lama. Tradisi tersebut adalah penyampaian pidato ilmiah oleh para tenaga pendidik yang dilakukan secara bergiliran pada setiap momentum yudisium dan pelantikan. Kegiatan ini tidak hanya menjadi simbol akademik, tetapi juga memberikan kontribusi besar dalam memperkaya khazanah keilmuan mahasiswa dan civitas akademika. Oleh karena itu, pelaksanaan pidato ilmiah dalam acara yudisium penting untuk dipertahankan sebagai wujud komitmen fakultas terhadap pengembangan ilmu hukum.
Pada kesempatan acara yudisium yang dilaksanakan pada tanggal 19 Agustus 2025, pidato ilmiah disampaikan oleh Dr. Hamonangan Albariansyah, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. Pidato tersebut mengangkat tema yang relevan dan kritis dengan judul “Internalisasi Biaya Aparat Penegak Hukum dalam Sistem Praperadilan; Perspektif Economic Analysis of Law”. Tema ini menjadi sorotan penting karena berkaitan dengan peran aparat penegak hukum, efektivitas sistem peradilan, serta dampaknya terhadap keuangan negara. Dalam konteks akademik, judul ini mencerminkan upaya untuk mengintegrasikan teori hukum dengan pendekatan ekonomi, sehingga dapat memberikan perspektif baru terhadap implementasi hukum acara pidana di Indonesia.
Dalam pidatonya, Dr. Hamonangan merujuk langsung pada ketentuan normatif sebagaimana tercantum dalam Pasal 95 KUHAP ayat (1) yang menyatakan: “Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau kena tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan.” Ketentuan ini menegaskan bahwa negara wajib memberikan perlindungan hukum kepada setiap individu yang dirugikan akibat tindakan aparat penegak hukum yang tidak sesuai dengan undang-undang. Oleh karena itu, adanya mekanisme ganti kerugian menjadi instrumen penting untuk menjamin keadilan sekaligus mengontrol tindakan aparat.
Lebih lanjut, dana pembayaran ganti kerugian tersebut dibebankan kepada anggaran negara melalui Kementerian Keuangan yang disalurkan lewat satuan kerja instansi penegak hukum. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh pembiayaan ganti kerugian merupakan bagian dari keuangan negara. Dengan kata lain, negara menanggung sepenuhnya beban akibat kesalahan atau kelalaian aparat. Pola ini, meskipun memberi jaminan bagi korban, juga menimbulkan persoalan baru karena aparat yang melakukan kesalahan tidak menanggung konsekuensi finansial secara langsung.
Jika ditinjau dari perspektif Economic Analysis of Law, ketidakhadiran mekanisme pembebanan biaya kepada aparat menimbulkan externalisasi kerugian. Artinya, aparat dapat melakukan tindakan yang merugikan tanpa menanggung akibat finansial, sementara beban biaya justru dipikul oleh negara. Situasi ini menimbulkan distorsi dalam sistem hukum, karena tidak ada insentif yang cukup kuat bagi aparat untuk bertindak lebih hati-hati dan efisien. Pada akhirnya, masyarakat sebagai pembayar pajak ikut menanggung biaya dari tindakan yang seharusnya dapat dihindari.
Inilah substansi dari pendekatan Economic Analysis of Law, yaitu bahwa aturan hukum semestinya dirancang untuk mendorong perilaku yang efisien dan meminimalisasi kerugian sosial. Dengan pendekatan ini, hukum tidak sekadar menjadi instrumen keadilan formal, melainkan juga berfungsi sebagai sarana untuk merancang insentif dan disinsentif yang tepat. Dengan demikian, aparat penegak hukum akan lebih terdorong untuk bertindak optimal, sementara masyarakat memperoleh jaminan perlindungan yang lebih adil. Dalam konteks inilah, gagasan internalisasi biaya aparat penegak hukum dalam sistem praperadilan menjadi relevan, karena dapat memperkuat akuntabilitas sekaligus meningkatkan efisiensi sistem hukum pidana di Indonesia.