Breaking News

Ijazah Jokowi, UGM Blak-blakan


Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Pengamat Hukum) 

Jendelakita.my.id. -  Judul artikel ini, yaitu Ijazah Jokowi, UGM Blak-blakan, diambil dari topik yang disiarkan oleh I-News (program News Sore) pada tanggal 25 Agustus 2025 dalam siaran langsung berupa dialog antara Roy Suryo dengan Ketua Jokowi Mania. Seperti telah kita dengarkan, Rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dalam konferensi pers menyatakan bahwa ijazah Jokowi sah dikeluarkan oleh UGM.

Terlepas dari berita-berita tersebut, kita tidak akan memasuki substansi persoalan. Kajian kali ini diawali dengan pertanyaan: lembaga manakah yang berhak menentukan kebenaran suatu hal, atau dengan kata lain, siapa yang berwenang memutuskan keabsahan suatu akta (termasuk akta otentik seperti dokumen ijazah) menurut hukum acara dalam hukum positif Indonesia? Apalagi hal ini berkaitan dengan hak asasi manusia, baik yang bersangkutan maupun pihak yang berselisih atau bersengketa.

Tentu, setiap orang yang pernah mempelajari ilmu hukum acara, baik pidana, perdata, maupun administratif, akan memahami jawabannya: hakim. Hakimlah yang memeriksa dan memutuskan melalui vonis yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah) sesuai dengan kompetensinya.

“Hakim sebagai bagian dari penegak hukum diharapkan dapat mengadili secara objektif dan memutuskan untuk seadil-adilnya berdasarkan atas nama Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Jadi, bukan pihak atau lembaga lain yang berwenang, apalagi jika permasalahan tersebut langsung maupun tidak langsung memiliki keterkaitan satu sama lain. Mengapa harus di muka hakim? Karena hanya hakim yang memegang asas praduga tak bersalah (setiap orang dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah). Selain itu, hanya di persidangan para pihak dapat saling membuktikan klaimnya. Pada akhirnya, hakimlah yang mengambil kesimpulan berdasarkan hasil persidangan yang didukung oleh keyakinan profesionalnya.


Hal ini merupakan perwujudan dari prinsip negara hukum, bahwa setiap orang sama di muka hukum dan pemerintahan, tanpa memandang status masing-masing pihak yang bersengketa.

Kembali pada kasus ijazah Jokowi, walaupun UGM secara blak-blakan telah menyampaikan bahwa ijazah tersebut asli dan Jokowi benar alumni UGM, pernyataan itu belum dapat dijadikan kata akhir di muka hukum. Sebab, apabila perkara ini masuk ke ranah hukum, UGM akan menjadi salah satu pihak yang diminta keterangan, baik sebagai saksi dalam kasus pidana maupun sebagai pihak tergugat atau penggugat dalam perkara perdata.

Kasus ijazah Jokowi ini memang telah lama menyita perhatian masyarakat Indonesia, mengingat beliau adalah salah satu mantan Presiden Republik Indonesia yang berkuasa selama sepuluh tahun. Selain itu, sebagai mantan gubernur dan wali kota, wajar jika masyarakat ingin mengetahui kebenarannya hingga titik terakhir, atau dalam istilah hukum, hingga adanya putusan hakim yang inkrah.

Kajian ini semata-mata ditinjau dari kacamata hukum, bukan dari perspektif lain, terutama politik. Penegasan ini penting karena kasus yang menyangkut tokoh-tokoh berkuasa kerap menimbulkan banyak penafsiran. Ada yang pro, ada pula yang kontra. Oleh sebab itu, wajar bila hanya hakim yang berwenang memutuskan suatu perkara.

Hakim memiliki pola pikir yang berangkat dari objektif menuju objektif. Sebagaimana pernah penulis dapatkan dari Guru Besar Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Bapak Prof. Mr. Makmoen Soelaiman, pola pikir demikian telah berlangsung sejak zaman Romawi dan Yunani kuno.