Menemukan Kerangka Norma Di Belakang Undang Undang
Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Pengamat Hukum)
Jendelakita.my.id. - Menemukan kerangka norma di balik undang-undang seringkali tidak menimbulkan persoalan berarti, terutama bila hukum dapat secara pasti melalui naskah undang-undang tersebut menemukan sesuatu yang dapat mengantarkan pada kerangka norma yang melatarbelakanginya. Namun, perlu dicatat bahwa keadaan "dengan sendirinya" ini tidak banyak ditemukan dalam penggunaan undang-undang sebagai sarana perubahan sosial. Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Salah satunya adalah kemungkinan bahwa pembentuk undang-undang berpangkal tolak dari nilai-nilai baru yang masih dalam proses pertumbuhan, namun sekaligus membentuk atau mengubah norma-norma yang telah mengakar.
Misalnya dalam konteks hukum perjanjian, banyak aturan perundang-undangan ekonomi dan sosial modern berpangkal tolak dari prinsip bahwa seluruh hubungan harus diatur berdasarkan peraturan baru yang ditetapkan, terlepas dari apa yang diperjanjikan. Aturan-aturan tersebut umumnya bertujuan melindungi pihak-pihak yang secara sosial memiliki posisi lebih lemah. Dalam kasus seperti ini, misalnya, hakim tidak lagi harus berpijak pada norma "pacta sunt servanda", tetapi juga harus mengakui bahwa asas ini telah digantikan oleh norma-norma baru. Hal seperti ini sering terjadi ketika pembuat undang-undang terinspirasi oleh asas-asas yang tidak begitu saja dapat disesuaikan dengan norma lama, dan kondisi ini banyak ditemukan dalam praktik perundang-undangan.
Di banyak negara, terdapat dua kategori norma yang sering kali berada dalam ketegangan satu sama lain, yaitu norma negara hukum yang bersifat liberal dan norma negara hukum yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Kategori pertama memasukkan asas bahwa setiap individu bebas dalam lingkungan pribadinya, sementara dalam negara kesejahteraan berkembang asas bahwa tidak seorang pun boleh hidup tanpa penghasilan. Untuk mewujudkan asas tersebut, dibentuklah peraturan yang memberikan hak kepada warga yang tidak memiliki penghasilan untuk menerima sumbangan dari negara. Namun, hal ini kerap menimbulkan konflik, misalnya dalam hal apakah negara boleh menetapkan syarat terhadap sumbangan tersebut, atau dalam kebijakan pengeluaran bagi penerima santunan. Hal ini muncul karena asas satu bertentangan dengan asas lainnya. Kebijakan santunan yang wajar akan berhasil atau gagal tergantung pada kemungkinan untuk melakukan intervensi terhadap pengeluaran pihak penerima. Oleh karena itu, dalam praktiknya, undang-undang berusaha melakukan kompromi dengan menyesuaikan syarat-syarat kebijakan santunan tersebut dengan pengeluaran atau kewajiban individual dari pihak penerima.
Bukan tidak mungkin konflik norma semacam ini di masa mendatang akan terasa semakin tajam. Proses ini berkembang secara bertahap dan perlahan, dan pada akhirnya akan menempatkan pelaksanaan hukum di tengah-tengah berbagai persoalan yang kompleks. Kerangka norma yang melatarbelakangi, dan yang seharusnya digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan hukum, kerap kali tidak tampak secara jelas dan tegas. Dalam praktiknya, pelaksanaan hukum sering kali melakukan kompromi atas asas-asas yang saling bertentangan, dan dari situlah muncul komplikasi tambahan. Pelaksanaan hukum sendiri tidak mudah mengikuti arah kebijakan baru. Ia cenderung secara intuitif membedakan antara hukum yang lahir dari norma lama dan hukum yang, meskipun masuk dalam hukum positif, namun dirasakan hanya menjadi hukum karena didukung oleh pembentuk undang-undang, bukan karena berakar pada asas hukum yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di beberapa negara muncul kecenderungan dari kalangan hakim untuk tetap berpegang teguh pada "pacta sunt servanda" dalam perjanjian-perjanjian, meskipun pembentuk undang-undang telah mengarah kepada pengaturan yang bersifat memaksa, seperti dalam hukum lingkungan dan ketenagakerjaan. Di sinilah terjadi pertentangan antara asas hukum dengan kebijakan pemerintah.

