Breaking News

Membumikan Pancasila dalam Konteks Kaji Ulang UUD 1945 Menuju Indonesia Emas


Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U.  (Ketua Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan)

Jendelakita.my.id. -  Judul artikel ini memuat tiga komponen utama, yaitu membumikan, Pancasila, dan Indonesia Emas 2045. Ketiga komponen tersebut saling berkaitan dan membentuk satu sistem pemikiran yang menuju pada satu makna besar: bagaimana negara Indonesia dapat melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia. Semuanya itu tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang juga dikenal sebagai rechtsidee (cita hukum).

Dalam pembukaan tersebut, terkandung rumusan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa. Pemenuhan terhadap isi cita hukum ini akan membawa kita pada terwujudnya cita-cita Indonesia Emas 2045, yaitu masyarakat yang adil dan makmur, serta makmur dalam keadilan (istilah Prof. Mr. H. Makmoen Soelaiman), atau dengan istilah lainnya, “memanusiakan manusia” (istilah O. Notohamidjojo).

Ketika kita berbicara mengenai cita hukum, yang dimaksud adalah cita hukum (rechtsidee) dari Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Negara ini didirikan atas semangat kerakyatan (demokrasi) oleh para pejuang bangsa, dengan semboyan: "Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat." Cita-cita tersebut dirumuskan secara singkat bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum.

Salah satu prinsip penting dalam negara hukum adalah equality before the law, yakni semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Ini berarti bahwa hukum harus berlaku secara adil tanpa diskriminasi berdasarkan ras, agama, status sosial, kekayaan, ataupun kepentingan kelompok seperti partai politik. Prinsip ini merupakan perwujudan sila kelima dalam Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kini, setelah hampir satu abad Indonesia merdeka, sudah saatnya kita berhenti sejenak untuk melakukan evaluasi terhadap kondisi masyarakat dan bangsa, termasuk menilai kembali fungsi negara sebagai organisasi masyarakat di era modern. Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis, di mana kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat—bukan pada partai atau kelompok tertentu.

Kemajuan fisik dan material memang tidak dapat disangkal. Pembangunan infrastruktur terus berkembang pesat, meskipun bantuan dan pinjaman luar negeri memainkan peranan penting. Namun, di bidang nonfisik, khususnya hukum, kondisinya belum menggembirakan. Penegakan hukum, terutama di lembaga peradilan, masih jauh dari harapan. Fakta ini bahkan diakui oleh institusi peradilan itu sendiri.

Kondisi tersebut tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, mengingat pengadilan adalah benteng terakhir dalam penegakan hukum. Jika hal ini terus berlanjut, citra Indonesia sebagai negara hukum akan semakin menurun dan dapat berdampak buruk terhadap iklim usaha serta investasi.

Dalam upaya memperbaiki kondisi peradilan, perlu diingat bahwa masih banyak hakim yang baik dan memiliki integritas. Pemerintah telah melakukan berbagai usaha, termasuk memperbaiki kesejahteraan hakim, membenahi sarana kerja, serta meningkatkan tata kelola pengadilan. Namun, tantangan besar tetap ada, terutama beban kerja yang tinggi akibat banyaknya perkara yang masuk ke Mahkamah Agung.

Sebetulnya, masyarakat juga turut berkontribusi dalam memperparah kemelut peradilan. Pertama, masyarakat terlalu mudah mengajukan banding meskipun telah jelas secara hukum mereka kalah dalam perkara. Kedua, penggunaan perantara atau calo perkara menjadi sumber utama masalah dalam sistem peradilan kita.

Namun, pada akhirnya, kunci utama perbaikan peradilan tetap berada di tangan para hakim, khususnya di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, yang menjadi panutan bagi seluruh hakim di Indonesia.

Mengingat fenomena tersebut, untuk mencapai Indonesia Emas 2045—yaitu masyarakat adil dan makmur—seluruh elemen bangsa harus kembali kepada cita luhur para pendiri bangsa, yakni melaksanakan nilai-nilai Pancasila secara konsisten dan konsekuen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa itu, cita-cita hukum hanya akan menjadi angan-angan.

Salah satu langkah penting adalah mengembalikan kedaulatan rakyat, yang kini peran dan fungsinya kian melemah. Lemahnya pengawasan terhadap eksekutif, legislatif, dan yudikatif menjadi masalah serius. Oleh karena itu, perlu dilakukan kaji ulang terhadap UUD 1945 yang telah diamendemen sebanyak empat kali pascareformasi 1998. Perubahan tersebut, dalam praktiknya, kurang selaras dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Catatan: Istilah “membumikan Pancasila” mulai dikenal sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia memperkenalkan konsep “Empat Pilar Kebangsaan.” Namun, istilah ini juga menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan.