Ide Menteri Hak Asasi Manusia tentang Korupsi
Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Pengamat Hukum dan Sosial)
Jendelakita.my.id. - Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, selama ini dikenal sebagai sosok yang aktif bergerak dalam bidang hak asasi manusia, bahkan sebelum dirinya menjabat sebagai menteri. Dalam sebuah momen jumpa pers, beliau menggagas ide untuk memasukkan tindak pidana korupsi sebagai bagian dari perbuatan pidana yang tergolong sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Gagasan ini menarik untuk dicermati, terutama oleh kalangan praktisi dan akademisi yang bergerak dalam dunia ilmu hukum. Sekilas, menghubungkan dua variabel yaitu “korupsi” dan “HAM” tampak sulit dilakukan. Namun, jika direnungkan lebih dalam dan dicermati dari sisi makna, kedua variabel tersebut memiliki keterkaitan yang kuat dan dapat saling berkolaborasi dalam memberikan dampak luas terhadap pemenuhan hak asasi manusia.
Pembicaraan mengenai hak asasi manusia secara global erat kaitannya dengan nasib kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat atau rakyat Indonesia. Salah satu aspek penting dalam HAM adalah perlindungan terhadap jiwa dan harta. Perlindungan ini merupakan salah satu tujuan utama dari kemerdekaan Indonesia, yakni untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, termasuk penjajahan secara fisik pada masa kolonial.
Hal tersebut tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam alinea kedua disebutkan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia dimaksudkan untuk membawa rakyat Indonesia menuju gerbang kemerdekaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Selanjutnya, pada bagian akhir kalimat disebutkan tujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tujuan luhur yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 ini merupakan gagasan fundamental para pendiri bangsa. Namun, setelah hampir satu abad Indonesia merdeka—yang diproyeksikan sebagai “Indonesia Emas” pada tahun 2045—tujuan tersebut tampak belum sepenuhnya tercapai. Salah satu penyebab utamanya adalah maraknya tindak pidana korupsi yang hingga kini sulit diberantas. Tak heran bila banyak pihak menyebut bahwa Indonesia berada dalam kondisi darurat korupsi.
Apabila korupsi tetap dianggap sebagai bagian dari budaya dan tidak ditindak secara tegas, maka impian untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur, dan berkeadilan sebagaimana dicita-citakan dalam rechtsidee (cita hukum) bangsa Indonesia tidak akan pernah terwujud. Harta kekayaan negara yang seharusnya menjadi milik bersama justru hanya dinikmati oleh segelintir pihak atau kelompok tertentu.
Padahal, Pasal 33 UUD 1945 yang berada dalam Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial menyatakan:
-
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
-
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
-
Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
-
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
-
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Jika mencermati ayat (5) Pasal 33 tersebut, maka implementasinya harus diwujudkan melalui peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah dengan mengamandemen Undang-Undang tentang HAM. Gagasan Menteri HAM RI untuk memasukkan tindakan korupsi sebagai bagian dari pelanggaran HAM patut dipertimbangkan secara serius. Sebab, tindakan korupsi secara nyata telah menghambat pencapaian cita-cita masyarakat yang adil dan makmur, bahkan membahayakan keberlangsungan kehidupan sosial, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat secara luas.
Sebagai pengamat hukum dan sosial, serta seorang kolumnis, saya sangat mendukung gagasan progresif tersebut. Sudah saatnya bangsa ini menempatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, tidak hanya terhadap hukum pidana, tetapi juga sebagai pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia.