Maumere hingga Parepare: Refleksi Perjalanan Mengawal Generasi, Spirit Kaderisasi, dan Tantangan Bangsa
Tulisan oleh : MHR. Shikka Shongge
Jendelakita.my.id : Sebuah catatan awal Juli 2025. Setiap forum pengkaderan selalu menyimpan kesan mendalam bagi saya, karena setiap forum selalu punya kisah cita tersendiri yang terpatri dalam sanubari.
Seperti halnya pada kehadiran saya membersamai adik adik Para Pengurus HMI Cabang Persiapan Maumere Kabupaten Sikka, NTT, dalam Latihan Kader (LK) 2 atau Intermediate Training. Kebetulan event LK 2 diadakan oleh HMI Cabang Persiapan Maumere di kota Maumere, beberapa waktu lalu.
Kehadiran saya di Kota Maumere terasa semakin istimewa, memiliki makna khusus bagi saya, karena sekaligus saya pulang kampung. Sebab dalam nukilan narasi sejarah dikisahkan, bahwa asal-usul fam kami, Songge berasal dari daratan Sikka, tepatnya di Kampung Paga Maloo. Kampung asal usul kami Paga Maloo yang terletak kira kira 40 km dari kota Maumere ke arah Danau Kelimutu, Wolowaru Kabupaten Ende.
Catatan Penting Tentang Kota Maumere, sebagai Pusat Orbit Manusia Peradaban
Kegiatan LK 2 atau intermediate training perdana di Kota Maumere ini, setidaknya memiliki tiga hal penting yang perlu dicatat :
Pertama, Maumere seperti halnya Larantuka (Ibu Kota Flores Timur) dan kota-kota lain di Pulau Flores, Maumere merupakan salah satu pusat pengembangan umat Katolik yang cukup berpengaruh.
Keberadaan umat Katolik secara statistik menempati urutan populasi mayoritas dari umat lain. Secara otomatis Populasi Katolik yang mayoritas ini, menempatkan posisi umat katolic secara sosiologis menjadi umat yang berpengaruh dan mendominasi dalam kehidupan politik, birokrasi maupun urusan sosial politik, dan kemasyarakatan.
Di Maumere pula lahir seorang bagawan ekonomi masyhur yang pernah dimiliki oleh Indonesia, Frans Seda namanya. Pak Seda, begitu ia disapa oleh koleganya. Ia merupakan aalah satu ahli atau pakar ekonomi keuangan yang dimiliki Indonesia. Akibat kepakarannya itu maka tenaganya dibutuhkan di zaman Pak Karno juga di zaman Pak Harto sebagai technokrat pembangunan ekonomi nasional.
Kedua, di tempat ini pula terdapat salah satu perguruan tinggi unggulan, yaitu Sekolah Tinggi Filsafat dan Theologi (STFT) Leda Lero. Secara de facto perguruan tinggi ini berperan besar dalam mengedukasi, membentuk karakter dan integritas anak-anak Flores untuk menjadi manusia masa depan, yaitu mereka menjadi ilmuwan, theolog, imam gereja, dan filosof.
Dari STFT di perbukitan Leda Lero, sederhana, di daerah terisolir, jauh dari hiruk pikuk pertarungan ekonomi dan perebutan kekuasaan, namun menjadi lentera yang mencahayai, dan magnetik mengundang minat anak anak Flores menjadi scholer. Di tempat ini tumbuh anak-anak manusia yang berkeunggulan dan berkeahlian, sehingga dengan keunggulan intelegensia, mereka kemudian bisa mempengaruhi pembentukan atmosfir peradaban di tanah air.
Sebut saja beberapa nama diantara alumnus kampus STFT Leda Lero itu misalnya; Frans Parera, penulis terkemuka harian kompas. Ignas Kleden guru ilmu politik UI. Ignas menulis beberapa karya intelektual, antara lain: Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, (LP3ES), Fragmen Sejarah Intelektual, Masarakat dsn Negara Sebuah Persoalan (agromedia pustaka 2004). Daniel Dhakidae Pimpinan LP3ES dan Jurnal Prisma, dan masih banyak lagi yang lainnya. Daniel Dakidae sebelum meninggal, ia mewariskan sebuah karya ilmiah berjudul Cendekiawan Dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru. Tulisan yang tajam dan dalam tentang relasi politik antara cendekiawan dan negara di Indonesia.
Para mahasiswa lulusan STFT Leda Lero, menyebar di berbagai profesi dan keahlian. Sebahagian besar mereka berkhidmat sebagai theolog, maupun imam dan pimpinan umat Katolik juga penulis dan pemikir mashur di semua pelosok negeri serta berbagai belahan dunia.
Keberadaan STFT Leda Lero sejauh ini telah memantulkan pancaran energi perubahan yang berarti bagi kemajuan peradaban umat manusia, tidak hanya di tanah air, tetapi juga di ranah Internasional. Oleh karena itu, kota Maumere layak disebut sebagai pusat orbit manusia peradaban.
Ketiga, dalam perkembangan terakhir, kota Maumere secara perlahan tumbuh menjadi kota niaga, kota bisnis. Perkembangan pesat kota Maumere yang tumbuh menjadi kota niaga, utamanya dipengaruhi oleh faktor migrasi masyarakat perantau dari berbagai suku etnik.
Mereka antara lain pendatang dari Bugis, Makasar, Buton, Jawa, Madura, Sunda, dan Minang. Para pendatang ini bergiat menghidupkan kewirausahaan dan dari sini ekonomi pun terus tumbuh berkembang.
Olehnya saat ini, Maumere menjadi kota yang bergerak dinamis bagi para petarung dan pejuang ekonomi. Di sini, di kota Maumere, menjadi tempat perjumpaan kaum perantau. Kebanyakan umat Muslim yang semula sekedar menjadi musafir, lalu menjadi Muhajirin, kemudian tinggal menetap dan berbaur, berasimilasi, berakselerasi dengan masyarakat asli Maumere.
Pluralisme Efek Migrasi di Kota Maumere
Faktor migrasi mencari rizki keberkahan Allah SWT, di tempat ini kaum Muhajirin atau para pendatang menggantungkan harapan hidup, bertekad mewujudkan perubahan yang bermartabat, mereka pada umumnya mengembangkan profesi sebagai pedagang (saudagar).
Efek migrasi mayarakat dari luar terutama masyarakat Muslim yang kita rasakan makin besar pengakuan terhadap keberadaan kaum Muslim. Di dalam kota Maumere sudah banyak Masjid, Mushollah, Sekolah Islam dari TK, SD, SMP, SMA bahkan Universitas.
Atas kebutuhan pendidikan untuk mencerdaskan anak-anak umat di Maumere sudah berdiri Universitas Muhammadiyah dengan menghadirkan berbagai program studi.
Tentu dengan lembaga pendidikan Islam di tengah mayoritas umat Katolik, selain membangun konfidensi sosiologis umat Muslim, memperkuat marwah umat Islam, meningkatkan nilai tawar umat Muslim, juga mempekuat kohesivitas pluralitas.
Sebab yang sekolah di Perguruan Muhammadiyah tidak hanya anak anak kaum santri yang datang dari luar, tetapi juga anak-anak gereja dari penduduk asli setempanpun ikut mengenyam ilmu di sana.
Adanya perguruan Muhammadiyah sampai ke jenjang universitas dan mobilitas ekonomi yang digerakan oleh para kaum saudagar atau pedagang muslim yang bermigrasi dari luar itu, mengindikasi bahwa di kota Maumere dan sekitarnya telah terjadi proses inklusivisasi di kalangan internal umat Katolik Maumere.
Ini merupakan fenomena modernisasi atau keterbukaan cara berfikir dan bertindak interaktif yang mempengaruhi sikap keberagamaan umat Kaatolik Maumere yang patut kita hargai. Dari kota Maumere, kita belajar bahwa harmoni dan kemajuan bisa terwujud di tengah keberagaman.
Melihat dinamika sosial, ekonomi, dan pendidikan yang begitu kaya di Maumere, terutama interaksi harmonis antara mayoritas Katolik dan pertumbuhan komunitas Muslim, munculah sebuah pertanyaan krusial:
Bagaimana Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dapat mengambil pelajaran berharga dari fenomena ini?
Beranjak dari kategorisasi fenomena tersebut, maka diperlukan formulasi gerakan HMI untuk belajar dari kota Maumere. Untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Diperlukan aktualisasi dan kontekstualisasi peran HMI sebagai institusi perkaderan maupun personalitas kader HMI sebagai individu insan akademik:
- Melakukan proses pembelajaran, menggeluti ilmu pengetahuan dengan berkomparasi pada Leda Lero guna membentuk personalitas kader HMI sebagai ilmuwan, filosof, theolog, dan imam agar kader HMI secara tidak langsung dapat mengasah diri, melumat ilmu menjadi kesadaran personal. Proses penempaan diri seorang kader sesuai dan seiring dengan panggilan ruang adalah menjadi keharusan sejarah bagi setiap kader.
- Mengembangkan theologi pluralistik yang menumbuh kembangkan kader HMI berwatak inklusivism. Di sini HMI menjadi titik perekat, titik perjumpaan antara warga Maumere dan kaum Muhajirin yang berada di kota.
- Menciptakan dialog budaya dan menjalin relasi sosial yang intens antara penduduk lokal dan pendatang, meruntuhkan benteng penghalang untuk mencari ufuk kesetaraan, bahwa tidak ada yg istimewa antara penduduk lokal dan warga pendatang, selain sama-sama saling mencintai, saling bergantungan, dan saling menghargai. Tanpa memandang perbedaan atas nama agama, suku apalagi warna kulit. Selain sama saling berkolaborari untuk mewujudkah hakikat kemanusiaan sebagai makhluk sosial Ciptaan Allah.
Merumuskan pola aktualisasi maupun kontekstualisasi peran yang bersifat relasionis antara individu kader HMI maupun kelembagaan HMI dengan masyakat tidak atas dasar invasi, ekspansi dan dominasi, atau hegemoni, melainkan atas dasar kepentingan kemanusiaan universal semata. Di sinilah urgensi dan relevansi kehadiran HMI sebagai organisasi kader intelectual muslim berperan mereras perbedaan, meruntuhkan tembok pemisah.
Dalam konteks inilah, kader HMI memiliki peran strategis untuk tidak hanya menjadi penonton atau sekadar mengamati, tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai tersebut.
Perjalanan dari Maumere ke Larantuka, Flores Timur
Dari Maumere dengan segala keunikan dan semangat peradabannya, saya bergeser ke Larantuka Flores Timur. Laratuka di kenal kota 1000 gereja, kota Rheina atau kota Bunda Maria. Kota Larantuka juga dikenal sebagai Kota Suci serambi Fatikan, di tempat ini sudah 5 memperingati Samana Santa yang merupakan upacara ibadah paska yang ditinggalkan oleh Portugal.
Kami start pukul 08.00 WIT melalui jalan darat dengan menggunakan kendaraan roda dua ditemani Nana Abdul Muis dan Adinda Khaedir, keduanya alumni HMI. Nana Muis alumni HMI Cabang Kupang, sedangkan Dr. Khaedir alumni HMI Cabang Makasar. Perjalanan kami lewati dengan santai sambil menikmati ponarama keindahan alam tropic yang indah, membentang sepanhang Maumere - Larantuka. Seraya menikmati keidahan alam kami berhenti di beberapa titik lokasi wisata untuk menyeduh kopi hitam dan kacang goreng khas Flores.
Kami tiba di Larantuka pukul 12. 00 waktu Larantuka, perjalanan kemudian kami lanjutkan menyebrang ke Lamakera, Solor dengan menumpang Perahu Motor Rahmat Solor. Kurang lebih 4 jam lamanya penyeberangan, karena harus berhenti di setiap dermaga untuk turun penempung.
Lamakera, tentu saja sangat istimewa bagi saya, karena di sini lah saya lahir dan dan melewati masa kecil, meskipun kini suasananya jauh berbeda, sejak Abah dan Mama, kedua orang tua saya telah berpulang. Di kampung halaman ini, agenda utama tentu saja adalah berziarah ke makam Aba dan Mama serta sanak famili dan bersilaturahmi keluarga dan kerabat. Selain itu pertemuan khusus dengan para sesepuh Lamakera untuk minta restu penyelenggaraan Pra Reuni di Maumere.
Malam hari selepas salat Isya, kami melakukan pertemuan dengan Para Tokoh Pemuka Masyarakat Lamakera soal pelaksanaan Pra Reuni Putra-Putri Pelajar Islam Lamakera yang akan dilangsungkan di Kota Maumere pada Juli 2025 mendatang. Yang terpenting dari forum malam itu, sebagai Koordinator Steering Comite Pra Reuni saya menyampaikan rangkaian acara sekaligus menyampaikan bahwa Pra Reuni diselenggarakan di Maumere untuk mempersiapan Reuni VIII Putra Putri Lamakera pada thn 2026 akan datang di Lamakera. Oleh karena itu kami mohon izin moga para orang tua mengikhlaskan dan merestui dengan kerelaan yang tulus sehingga rangkaian agenda Pra Reuni bisa terselenggara dengan sucses dan bermanfaat atas keredlaan Allah SWT.
Reuni ini merupaka agenda rutin yang kami lakukan setiap tahunnya sebagai bagian dari cara kami mempererat tali silaturahmi, memperkuat jaringan antar generasi, dan bersama-sama merancang kontribusi positif bagi kemajuan Lamakera. (Kisah tentang Lamakera dan peran pentingnya dalam penyebaran Islam di Indonesia telah saya tulis sebelumnya).
Meski hanya satu malam, kepulangan singkat ini terasa begitu berkesan bagi saya, seolah setiap detiknya padat berisi kehangatan dan makna yang tak terhingga.
Sungguh, rasanya begitu membahagiakan bisa kembali menghirup udara kampung halaman, meski sebentar, dan merasakan kembali eratnya ikatan persaudaraan yang selalu menjadi pondasi kekuatan Lamakera.
Keesokan harinya, dari Lamakera saya menuju Kupang transit satu malam di Larantuka, paginya bersama KM Cepat Santika menuju Kota Kupang, jarak tempuh 4 jam. Kalau dengan mengendarai Kapal Pelni waktu tempuhnya sekitar 12 - 14 Jam.
Sebuah perjalanan yang melelahkan, namun penat itu sirna berganti kebahagiaan. Bagaimana tidak, setiap kilometer yang terlewati mendekatkan saya pada hangatnya pelukan keluarga dan sanak famili.
Lebih dari itu, perjalanan ini juga menjadi jembatan penting untuk bertemu dengan para tokoh masyarakat, mendiskusikan hal-hal krusial, dan merajut kembali asa demi kemajuan Lamakera di masa depan.
Tiba di Kupang, agenda saya berikutnya sudah menanti. Saya diminta untuk mengisi studium general pada pembukaan Sekolah Filsafat yang diadakan oleh Pengurus HMI Cabang Kupang. Sekolah Filsafat tentu sangat diperlukan untuk memperkuat epistemologi gerakan intelectual muda muslim di tengah proses bernegara yang dikendalikan oleh kekuatan oligharcy saat ini. Study memperkuat karakter moralitas gerakan mahasiswa muslim yang berotientasi ideologis, keummatan dan kebangsaan.
Dari Pulau Flores ke Pulau Dewata
Perjalanan mengawal pengkaderan kali ini belum usai. Dari Tanah Flores, tanah leluhur, saya terbang menuju Denpasar, Bali, sebuah kota yang begitu membekas dalam hati. Ingatan saya melayang kembali ke masa silam, tepatnya pada 1993.
Saat itu, acara perpisahan masa akhir kepengurusan saya selaku Ketua HMI Cabang Yogyakarta periode 1992-1993 dirangkai dengan tur pengkaderan di Pulau Bali.
Kami, para mantan pengurus HMI Cabang Yogyakarta, sangat beruntung difasilitasi oleh Mas Viva Yoga Mauladi, yang kala itu masih menjabat Ketua Umum HMI Cabang Denpasar. Alhamdulillah setelah melewati pergumulan yang panjang, melewati tebingan terjal dalam proses politik, Mas Vifa Yoga Muladi kini dipercayai oleh Presiden Prabowo Subianto menjadi Wakil Mentri membidangi urusan Transmigrasi.
Denpasar Tempat Perjumpaan, Persinggahan dan Tujuan Wisata Dunia
Denpasar dan umumnya di Pulau Dewata merupakan tempat persinggahan, perjumpaan dan tujuan wisata masyarakat dunia. Pulau Dewata tempat impian dan harapan anak-anak manusia dari berbagai etnik, budaya, suku dan agama datang untuk melihat keagungan maha karya masyarakat Bali dalam merawat dan menjadikan Bali sebagai pulau harapan masyarakat beragama.
Pulau Bali diidentikkan dengan sebutan Pulau Dewata, adalah pulau perjumpaan hamba-hamba Tuhan, anak manusia dari berbagai latar suku dan agama, bahkan tidak beragama pun, datang mengakui keagungan dan keindahan maha karya Tuhan berupa Pulau Dewata.
Secara theologis atau agama, tentu keyakinan kita memang berbeda alias tidak sama, atau berbeda dengan umat Hindu di Pulau Dewata, Bali. Tetapi saya bisa memahami bahwa keberagamaan umat Hindu itu merupakan proses penyatuan antara manusia dengan alam. Semua makhluk ciptaan bersujud kepada Yang Maha Kuasa.
Manusia bersemedi di depan dupa api sambil membangun daya pikir, melepas imaginasi ke cakrawala luas sejauh asap dupa dari api yang membumbung.
Imajinasi itulah kemudian melahirkan kreasi, karya inovasi berupa berbagai rupa dan bentuk keindahan produktivitas yang terlihat oleh kita semua. Karya inovasi masyarakat Bali, bila ditilik dalam perspektif Islam, sama halnya karya amal sholeh, yang terlahir dari refleksi kedalaman, ketajaman dari kekuatan ruhani seseorang yang beriman.
Selain saya mengisi materi Rekonstruksi Epistemologi NDP di ruang LK 2, saya juga menjadi pemateri di ruang Latihan Khusus Kohati (LKK) dengan tema membedah Eksistensi Gerakan HMI Wati dalam perspektif NDP, untuk peneguhan visi dan pandangan personal HMI Wati.
Di acara Pembukaan LK 2 dan LKK yang dibuka oleh ibu Gubernur Bali sekaligus Ketua Penggerak PKK Provinsi Bali tersebut saya diminta untuk menyampaikan sambutan pembukaan atas nama alumni HMI.
Pada kesempatan itu saya mengangkat topik tentang Hakekat kehadiran HMI sebagai organisasi membawa tiga mission yaitu Kemahasiswaan, Keislaman dan Keindonesiaan. Ketiganya terinternalisasi menjadi cara pandang dan kepribadian setiap kader HMI.
Sebagai mahasiswa Islam yang berada di Indonesia, Keislaman dan Keindonesiaan dinarasikan secara epistemologis. Sehingga antara Islam dan Keindonesiaan menjadi satu pola pandang dan pola gerak yang integratif yang melekat secara hakiki pada jiwa setiap kader HMI.
HMI lahir pada 5 Februari 1947 (1,5 tahun setelah kemerdekaan RI) di kota Yogyakarta sebagai kota pelajar dan kota perjuangan politik, HMI memikul beban ideologis dan beban sejarah perjuangan yang diwariskan oleh para tokoh negarawan pendiri bangsa.
Oleh karena itu, semua proses kaderisasi HMI baik dalam konteks training formal maupun informal adalah bertujuan melahirkan kader-kader pemimpin, pemikir, pejuang ideolog, maupun teknokrat yang sanggup mentranformasi Indonesia menuju tercapainya cita-cita kemerdekaan sebagaimana yang digagas oleh para pendiri bangsa.
Namun tidak sedikit batu sandungan yang menghalangi proses perjalanan ideologisasi dan deakektika perkaderan menuju terbentuknya kualitas kader. Hal yang paling nyata mempengaruhi degradasi visi ideologis maupun deviasi komitmen pergerakan kader itu disebabkan adanya perilaku anomali oleh segelintir alumni pada elit kekuasaan politik di tanah air.
Oleh sebab itu peranan alumni HMI tidak hanya menyiapkan amplop dan ongkos, logistik dan transportasi, tetapi lebih dari itu menghadirkan diri sebagai sosok yang berkarakter, ber-attitude, dan berintegritas sehingga layak diteladani oleh kader kader HMI yang sedang mempersiapkan diri merebut peran sebagai pimpinan umat dan bangsa di masa depan.
Cetak biru masa depan umat Islam dan bangsa Indonesia ditentukan oleh kualitas kader HMI yang terdidik, terpelajar, mempunyai komitmen dan loyalitas yang kuat pada visi dan misi organisasi, serta mempunyai militansi menggerakkan organisasi mencapai tujuan, yaitu Lima Kualitas Insan Cita.
Kader HMI memiliki kemampuan untuk meniti jalan, menggerakkan perubahan hari ini dan sanggup merekayasa masa depan. Jadi, bila tanpa kualitas kader HMI demikian, maka jangan mimpi akan terjadi kebangkitan umat Islam dan kejayaan bangsa Indonesia di masa depan.
Kondisi bangsa dewasa ini mengalami masa kelam, titik balik yang paling buruk sepanjang sejarah Indonesia. Realitas bangsa yang terekspansi dan terinvasi oleh kekuatan modal asing, kebijakan ma
makro negara dikendalikan oleh segrlintir kaum oligharc, adalah gambaran betapa pilunya, bangsa ini tanpa pemimpin yang memiliki hati nurani serta berkomitmen yang kuat pada rakyat dan ideologi kebangsaan.
Mereka, para pemimpin hari ini, hanya pandai mengucapkan kata-kata Rakyat, Bangsa, Pancasila tetapi semua ucapan yang berbusa busa itu hanyalah slogan, retorika publik tanpa memiliki makna magnetik yang berkeadaban.
Pemimpin yang hanya bisa menghina dan mengeksploitasi rakyat dengan berbagai pernyataan dan tindakan politik yang tidak bermoral. Merubah konstitusi untuk meneruskan dinasti kekuasaan politik, mengintervensi lembaga negara untuk kepentingan oligarki dan juga mengankan dinasti kekuasaan, adalah tindakan tercela dalam perspektif demokrasi.
Partai politik bukan lagi menjadi tempat pergumulan dan pembenihan kader-kader pemimpin politik terbaik yang kelak menjadi negarawan. Partai politikpun nampaknya bukan lagi menjadi institusi yang merepresentasikan nurani politik rakyat, ideologis kebangsaan, melainkan menjadi tempat bagi kaum oligarki melakukan berbagai trasaksi untuk menganeksasi kebijakan birokrasi negara.
Negara terdegradasi di bawah kepentingan dan hegemoni oligarki. Dan lebih dari itu negara kehilangan tujuan ideal, karena tersandera dalam pasungan oligarki. Tanah rakyat dirampok secara paksa atas nama documen palsu dengan menggunakan dukungan perangkat kaki tangan negara, seperti Brimob.
Eksploitasi tambang yang mengabaikan norma adat istiadat, aturan dan prosedur sehingga berdampak pada pencemaran, kerusakan lingkungan, kemiskinan dan hilangnya hak kedaulatan warga negara atas tanah. Rakyat teralienasi alias tergusur dari hak atas tanah dan lingkungannya. Inilah gambaran partai tidak lagi menjadi alat perjuangan rakyat.
Kondisi buruk ini kian mengerikan ketika kita membuka peta eksplorasi energi umumnya dikuasai oleh para pemilik modal di atas lahan-lahan tanah adat yang dilegalkan oleh pemerintah. Boleh jadi krisis eksplorasi tambang di atas tanah tanah rakyat, diakui atau pun tidak di sana ada peran alumni HMI baik di legislatif maupun eksekutif.
Seharusnya situasi ini tidak akan terjadi bila alumni HMI di parlemen dan dibirokrasi betul-betul membawa dan menegakkan _mission HMI_, konsistensi pada nilai nilai "kebaikan kebenaran dan keadilan", mengawal idealisme, ideologi negara, maka tidak akan terjadi berbagai anomali, distorsi dan deviasi di dalam proses penyelenggaraan negara seperti yang sudah terjadi dan sedang terjadi saat ini.
Namun demikian, saya berkeyakinan bahwa dalam institusi Partai Politik masih ada segelintir alumni yang masih memiliki kejernihan dan integritas sebagai alumni HMI. Pada mereka kita berharap tetap menjadi sosok yang bisa diteladani.
Dari Denpasar, saya bergeser ke Singaraja. Di sini, Pengurus HMI Cabang Singaraja mengadakan kajian NDP (Nilai Dasar Perjuangan) semalaman. Perspektif kajian menjadi fariatif karena latar peserta HMI berasal dari Jawa yang NU, dan Lombok yang Sasak.
Forum ini terasa sangat menarik karena tak hanya dihadiri oleh para pengurus saja, tetapi juga alumni turut berbaur untuk melakukan refleksi dan pengayaan pemahaman NDP.
Para alumni ikut berbagi pengalaman, memperkuat visi, komitmen, serta etos gerakan kaderisasi HMI di Singaraja, menjadikan suasana kajian semakin dinamis, inspiratif dan kritis.
Perjalanan mengawal pengkaderan ini memang belum usai. Dari Bali, saya bergeser lagi ke arena LK 2 HMI Cabang Tegal, Jawa Tengah, lalu melanjutkan perjalanan panjang ini menuju HMI Cabang Parepare, Badko Sulawesi Selatan. Training LK2 di HMI Cabang Tegal dan Parepare tidak ada hal yang tercatat karena di dua Cabang ini berada di tengah komunitas muslim mayoritas yang sudah memiliki tradisi perkaderan dan relasi yang terjaga.
Sebuah perjalanan tanpa henti, dari satu kota ke kota lain, dari satu pulau ke pulau lain, demi membersamai kader-kader HMI di seluruh penjuru negeri. Sebuah ikhtiar untuk menjadi bagian dari lahirnya para pemimpin berintegritas di masa depan, yang siap mengemban amanah keummatan dan kebangsaan.
Semoga semua proses ini bermuara pada pencapaian tujuan HMI, yaitu terwujudnya Lima Kualitas Insan Cita ; insan akademis, insan pencipta, insan pengabdi, insan yang bernafaskan Islam, dan insan yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
Lima kualitas ini menjadi tujuan yang ingin dicapai oleh setiap kader HMI.
Kisah dari forum pengkaderan di Parepare, dengan segala dinamika dan pembelajarannya, akan saya tuliskan secara terpisah dalam catatan berikutnya. Wallahul Musta'an.
Ciputat,
Awal Juli 2025
MHR Shikka Songge
Instruktur Nasional Nilai Dasar Perjuangan Kader (NDP)