Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Masih Dalam Tatanan Normatif
Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Dewan Pakar Bakti Persada Masyarakat Sumatera Selatan)
Jendelakita.my.id – Menteri Lingkungan Hidup, sebagaimana dilansir oleh liputan berita Kompas TV pada 3 Desember 2025, mengatakan bahwa pihak yang menjadi penyebab bencana diancam pidana. Secara normatif, hal tersebut telah jelas diatur dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.
Namun, secara implementasi dirasakan bahwa hingga kini penegakan hukum belum berjalan efektif. Kasus banjir bandang dan tanah longsor di wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menjadi bukti nyata adanya perambahan hutan yang cukup signifikan sehingga memicu terjadinya bencana alam tersebut.
Perambahan hutan, baik yang legal maupun ilegal, telah berlangsung cukup lama sejak dibukanya perkebunan berskala besar baik investasi dalam negeri maupun luar negeri untuk memanfaatkan hutan sebagai sumber pendapatan negara.
Saat ini kita merasakan dampak yang sangat besar, menelan korban jiwa dan harta benda, terutama bagi masyarakat di sekitar lokasi kejadian. Bahkan, menurut Gubernur Aceh dalam salah satu video yang beredar, di Aceh telah hilang empat perkampungan yang rata tertimbun dan terbawa arus banjir bandang serta longsor.
Lemahnya penegakan hukum juga memperlihatkan dugaan kuat adanya mafia ilegal logging yang sulit diberantas, ditambah mafia hukum yang menyebabkan pelaku sering dijatuhi vonis ringan. Ke depan, upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup, terutama penghentian perusakan hutan, harus menjadi prioritas.
Selain itu, terjadi pula penyerobotan lahan hutan adat yang menimbulkan kerusakan terhadap adat dan budaya Indonesia. Peristiwa-peristiwa tersebut memicu persoalan hukum antara masyarakat hukum adat dan para pengambil kebijakan publik, di mana masyarakat hampir selalu menjadi korban.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), per 2 Desember 2025 pukul 08.00, peristiwa banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumut, dan Sumbar telah mengakibatkan
604 orang meninggal, 464 orang hilang,
2.600 orang luka-luka,
dan melanda 50 kabupaten.
Sayangnya, hingga kini bencana tersebut belum juga ditetapkan sebagai “bencana nasional”, sebagaimana menjadi topik acara Satu Meja pada 3 Desember 2025 di Kompas TV. Bahkan sebelumnya, beberapa komentar dari pejabat pusat dinilai menyakitkan hati para korban.
Menteri Dalam Negeri, misalnya, menyatakan bahwa negara belum siap menghadapi bencana alam seperti banjir bandang dan longsor yang datang tiba-tiba. Ada pula pernyataan dari BNPB bahwa hebohnya bencana tersebut hanya terjadi di media sosial. Lebih jauh lagi, terdapat menteri yang justru ingin mengirim alat-alat olahraga, padahal korelasinya tidak jelas, sementara logistik berupa kebutuhan sandang, pangan, dan papan belum lancar diterima korban karena hambatan akses transportasi darat, laut, dan udara.

