Gubernur vs Walikota di Jawa Barat
Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Pengamat Hukum dan Sosial)
Jendelakita.my.id. - Pernyataan "Gubernur vs Wali Kota di Jawa Barat" menarik untuk dikaji secara teori kebijakan publik, khususnya dalam melihat dampak sistem pemerintahan di era reformasi birokrasi dewasa ini. Salah satu contoh faktual ditunjukkan melalui perseteruan antara Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dengan dua wali kota di wilayah tersebut, yakni Wali Kota Bandung dan Wali Kota Bekasi. Sudah lama diketahui bahwa Gubernur Jawa Barat mengeluarkan surat edaran tentang larangan diadakannya kegiatan study tour bagi siswa-siswa di Jawa Barat, dengan pertimbangan bahwa pelarangan tersebut dimaksudkan untuk "TIDAK membebani biaya orang tua/wali."
Di samping itu, pertimbangan Gubernur Jawa Barat melarang kegiatan study tour adalah karena kegiatan tersebut dianggap tidak berkaitan langsung dengan pendidikan karakter. Namun, kebijakan tersebut mendapat perlawanan dari kelompok sopir dan pengusaha bus pariwisata se-Jawa Barat dan sekitarnya. Mereka beralasan bahwa kebijakan gubernur tersebut berdampak langsung pada turunnya pendapatan mereka hingga lima puluh persen, karena tidak adanya kegiatan study tour seperti sebelumnya sebelum larangan diberlakukan. Selain mendapat perlawanan dari masyarakat, khususnya pelaku sektor pariwisata, kebijakan Gubernur Jawa Barat itu juga mendapat reaksi berbeda dari kepala daerah, yakni Wali Kota Bandung dan Wali Kota Bekasi, yang tetap membolehkan kegiatan study tour.
Terlepas dari semua cerita di atas, ada hal yang menarik bagi saya sebagai pengamat hukum dan sosial untuk menghubungkannya dengan: "apakah ini dampak tidak langsung dari sistem pilkada?" Dahulu, kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota tidak dipilih melalui pemilihan umum secara langsung, melainkan ditunjuk dan diangkat oleh badan legislatif dengan persetujuan pimpinan atasan secara hierarkis. Kini, ada konsistensi dalam sistem pemilihan kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali kota, yang sama-sama dipilih langsung oleh rakyat.
Hal tersebut menjadikan masing-masing kepala daerah memiliki kedudukan sebagai pemimpin otonom yang berwenang mengatur rumah tangga pemerintahannya masing-masing. Di sisi lain, karena keduanya sama-sama merasa sebagai pejabat pilihan rakyat, tidak ada lagi hubungan struktural antara atasan dan bawahan, yang pada akhirnya berdampak pada kurangnya harmonisasi di antara mereka. Wajar bila mereka memiliki perbedaan dalam kebijakan, bahkan bisa bertentangan. Contohnya antara Gubernur Jawa Barat dan para wali kota, yang masing-masing merasa memiliki hak otonomi daerah. Satu-satunya perbedaan adalah, gubernur selain sebagai kepala daerah, juga merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah.
"Ini tentu salah satu agenda di dalam kebijakan regulasi peraturan perundang-undangan, agar tidak terjadi perseteruan antara kepala daerah dan akan berdampak negatif bagi masing-masing pihak. Mungkin juga akan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang menginginkan ketidakstabilan bangsa dan negara, sehingga akan mengganggu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945."