Kilas Balik 19 Tahun Memperingati Hari Masyarakat Hukum Adat Sedunia
Jendelakita.my.id. - Tanggal 9 Agustus 2006 merupakan momen penting dalam sejarah masyarakat hukum adat di Indonesia. Pada hari itu, peringatan Hari Masyarakat Hukum Adat Sedunia diselenggarakan di Taman Mini Indonesia Indah. Acara ini dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia, Bapak Dr. Soesilo Bambang Yudhoyono, beserta Ibu Negara dan para tamu undangan, antara lain Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua dan para anggota DPR dan DPD, para menteri Kabinet Indonesia Bersatu, para duta besar serta perwakilan negara-negara sahabat, gubernur atau yang mewakili, perwakilan dari UNDP Regional Centre Bangkok, serta utusan masyarakat hukum adat dari seluruh Indonesia.
Dalam momen yang sangat sakral tersebut, lahirlah apa yang kemudian disebut Deklarasi Jakarta, yaitu Tentang Pembentukan Sekretariat Nasional untuk Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat. Deklarasi ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu:
-
Amandemen UUD 1945 Pasal 18B;
-
Hak masyarakat hukum adat, terutama hak atas tanah ulayat, telah mengalami pelanggaran secara sistematik dan struktural sejak berlakunya Undang-Undang Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan oleh berbagai peraturan perundang-undangan nasional lainnya;
-
Pemerintah secara yuridis bertanggung jawab untuk melindungi hak konstitusional masyarakat, termasuk hak masyarakat hukum adat;
-
Upaya pemulihan, perlindungan, penghormatan, serta pemenuhan hak masyarakat hukum adat telah terpinggirkan sejak tahun 1960;
-
Mendorong pemerintah nasional untuk melaksanakan hak-hak masyarakat hukum adat agar diatur dalam undang-undang tersendiri;
-
Perjuangan masyarakat hukum adat Indonesia untuk memulihkan dan melindungi hak-haknya merupakan bagian menyeluruh dari perjuangan sejagat masyarakat hukum adat.
Dengan ini, dinyatakan dengan hikmat:
Pertama, untuk mewujudkan hak dan kewajiban sebagai masyarakat hukum adat, kami sepakat membentuk suatu wadah organisasi yang disebut Sekretariat Nasional Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat.
Kedua, dalam memperjuangkan pemulihan dan perlindungan hak-hak konstitusionalnya, masyarakat hukum adat menganut empat prinsip, yaitu:
a) Berwawasan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b) Kebersamaan dalam Pemecahan Permasalahan Masyarakat Hukum Adat;
c) Berdaya Guna dan Berhasil Guna;
d) Berkeadilan dan Berkepastian Hukum.
Ketiga, perjuangan masyarakat hukum adat untuk memulihkan dan memenuhi hak-hak konstitusionalnya dapat dilakukan baik pada tingkat nasional maupun internasional.
Keempat, menunjuk Sekretariat Bersama Lembaga Adat Rumpun Melayu se-Sumatera yang berkedudukan di Pekanbaru sebagai sekretariat nasional sementara.
Deklarasi bersama atas nama masyarakat hukum adat seluruh Indonesia tersebut disampaikan oleh Datuk H. Anwar Saleh dari Lembaga Adat Melayu Riau pada tanggal 9 Agustus 2006, di hadapan Bapak Presiden Republik Indonesia dan para tamu undangan lainnya.
Akhirnya, melalui Akta Notaris Nomor 44, terbentuklah Sekretariat Nasional untuk Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat. Dalam akta notaris tersebut (notaris di Pekanbaru), penulis, Albar Sentosa Subari, S.H., S.U., tercatat sebagai anggota Dewan Pakar dari utusan Lembaga Adat Sumatera Selatan, bersama sepuluh orang anggota lainnya dari berbagai unsur, antara lain dari Komnas HAM sub masyarakat hukum adat Dr. Saafroeddin Bahar, serta beberapa akademisi dan praktisi lainnya.
Dalam sambutannya, Presiden Republik Indonesia, Bapak Soesilo Bambang Yudhoyono, menjanjikan akan menyusun Undang-Undang Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Sebagaimana dikutip dari beberapa media massa tanggal 9 dan 10 Agustus 2006, antara lain: Indopos dengan judul Hindari Konflik Pahami Hukum Adat; Kompas, 10 Agustus 2006, berjudul Akui Keberadaan dan Hak Komunitas Adat; Media Indonesia, 10 Agustus 2006, berjudul RUU Masyarakat Adat Disusun; dan Republika, 10 Agustus 2006, dengan judul Presiden: Segera Susun RUU Hukum Adat, serta beberapa media massa lainnya.
Namun sangat disayangkan, hingga kini, tepatnya pada 9 Agustus 2025 atau sudah memasuki 19 tahun, Rancangan Undang-Undang yang dijanjikan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tersebut belum juga terealisasi. Oleh karena itu, pada kesempatan Musyawarah V Lembaga Adat Rumpun Melayu se-Sumatera yang akan dilaksanakan di Pekanbaru pada tanggal 9 Agustus 2025, diharapkan dapat direkomendasikan agar undang-undang dimaksud segera disahkan, sebagaimana amanat konstitusi dalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.