Fenomena Sistem Pendidikan Nasional
Jendelakita.my.id. - Hari ini merupakan hari pertama dimulainya kegiatan belajar mengajar di seluruh Nusantara, dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas maupun Kejuruan (SMA/SMK), baik negeri maupun swasta. Ada hal menarik pada tahun ini terkait inisiasi Presiden Prabowo Subianto yang memperkenalkan istilah "Sekolah Rakyat". Secara historis, istilah Sekolah Rakyat pernah dikenal pada masa penjajahan Jepang. Namun, setelah Indonesia merdeka, istilah tersebut diganti menjadi Sekolah Dasar (SD) pada 13 Maret 1946. Meskipun memiliki kesamaan istilah, konsep Sekolah Rakyat saat ini tidak berkaitan langsung dengan konsep Sekolah Rakyat pada masa lalu.
Sekolah Rakyat yang digagas pemerintah saat ini adalah sebuah sistem program pendidikan yang bertujuan memberikan akses pendidikan gratis bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem. Program ini dirancang untuk memutus atau mengurangi angka putus sekolah serta meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Berbeda dengan sekolah pada umumnya, Sekolah Rakyat berbasis asrama dan sepenuhnya gratis. Para siswa tinggal di asrama, mendapatkan makanan, fasilitas belajar, dan kebutuhan dasar lainnya yang tidak disediakan di sekolah konvensional.
Sekolah Rakyat dirancang sebagai boarding school gratis dan pembiayaannya tidak hanya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tetapi juga melibatkan kemitraan dengan pihak swasta. Program ini dilaksanakan melalui kerja sama antar-kementerian, seperti Kementerian Sosial serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Direncanakan akan dibangun sebanyak 200 unit Sekolah Rakyat. Pada tahap awal, disiapkan 100 unit yang ditangani oleh Kementerian Sosial, sementara 100 unit sisanya akan dikelola secara kolaboratif oleh pemerintah, pihak swasta, dan kementerian terkait lainnya.
Menurut rencana, lokasi Sekolah Rakyat tersebar di berbagai wilayah, antara lain 48 lokasi di Pulau Jawa, 22 di Sumatera, dan 15 di Sulawesi. Sementara itu, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Maluku, dan Papua masing-masing direncanakan memiliki tiga lokasi. Total jumlah sasaran peserta didik pada tahap awal mencapai 9.755 siswa. Yang membedakan Sekolah Rakyat dari sekolah biasa adalah penerapan sistem Multi Entry dan Multi Exit, yakni siswa dapat masuk kapan saja tanpa harus menunggu tahun ajaran baru.
Di balik kemegahan dan visi mulia program ini—terutama dalam menyongsong satu abad kemerdekaan Indonesia—realitas pendidikan nasional tetap menghadapi tantangan. Sebagai contoh, di SD Negeri Wijimulyo Lor, Jawa Tengah, tahun ini hanya terdapat satu siswa baru. Kondisi serupa telah terjadi selama empat tahun terakhir, dengan rata-rata jumlah siswa per kelas hanya empat hingga lima orang. Hal ini terjadi akibat banyaknya pilihan sekolah lain, baik negeri maupun swasta. Fenomena serupa juga ditemukan di daerah Blora, Jawa Tengah, seperti diberitakan oleh Kompas TV.