Breaking News

Etika Politik vs Logika Formal


Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U.  (Pengamat Hukum dan Sosial)

Jendelakita.my.id. - Pro dan kontra soal rangkap jabatan sejumlah pejabat di Kabinet Merah Putih masih saja ramai dibicarakan, meskipun Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah memutuskan untuk melarang rangkap jabatan. Dalam laporan Koran Rakyat.co.id, 21 Juli 2025, sebagaimana yang dilansir oleh BBC Indonesia, disebutkan bahwa banyak wakil menteri merangkap jabatan sebagai komisaris di beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tertentu.

Sejak pelantikan Kabinet Merah Putih pada 21 Oktober 2024, jumlah wakil menteri mencapai 56 orang. Lebih dari separuhnya, yaitu 34 orang, diketahui telah menduduki jabatan rangkap di berbagai BUMN. Yang menarik dari berita tersebut, sebagaimana dilansir oleh media massa dan media sosial, menurut pengamatan penulis, setidaknya terdapat tiga kelompok wakil menteri yang memberikan respons berbeda terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang dimaksud adalah Putusan Nomor 21/PUU-XXIII/2025 jo. Nomor 80/PUU-XVII/2019, yang pada intinya melarang wakil menteri merangkap jabatan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi memperluas penafsiran bahwa jika menteri dilarang merangkap jabatan, maka wakil menteri pun dilarang, karena keduanya sama-sama merupakan pejabat negara.

Terlepas dari argumentasi majelis hakim Mahkamah Konstitusi, bagaimanapun juga putusan tersebut telah menjadi norma hukum yang bersifat final dan mengikat. Namun, yang menjadi kajian khusus dalam konteks ini adalah adanya beragam sikap dari para wakil menteri yang merangkap jabatan. Setidaknya terdapat tiga kelompok: satu kelompok yang patuh terhadap putusan MK, kelompok kedua yang tidak memberikan tanggapan dan menyerahkan semuanya kepada Presiden, serta kelompok ketiga yang justru menyampaikan argumentasi yang menarik perhatian publik.

Salah satu tanggapan datang dari Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer Gerungan, yang juga menjabat sebagai Komisaris PT Pupuk Indonesia. Ia menyatakan bahwa tugas komisaris adalah menjalankan fungsi pengawasan, sehingga menurutnya tidak akan mengganggu pekerjaannya sebagai wakil menteri. Selain itu, ia berpendapat—berdasarkan logika formil—bahwa Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 dan Putusan MK Nomor 21/PUU-XXIII/2025 tidak menyebutkan jabatan wakil menteri secara eksplisit. "Hanya Menteri dan Kepala Badan yang dilarang," ujarnya.

Di sinilah penulis merasa tepat memberikan judul artikel ini dengan topik Etika Politik versus Logika Formal. Maknanya adalah bahwa secara etika politik, seharusnya wakil menteri dilarang merangkap jabatan, karena secara langsung maupun tidak langsung, posisi tersebut akan bersinggungan dengan dunia politik—mengingat wakil menteri merupakan bagian dari kabinet yang umumnya berasal dari partai politik pendukung pemerintah.

Lebih menyakitkan bagi hati rakyat adalah kesan bahwa seolah-olah Indonesia kekurangan tenaga ahli, padahal justru diharapkan bahwa mereka yang ditunjuk sebagai wakil menteri benar-benar memiliki keahlian yang dibutuhkan negara. Kesimpulannya, dalam perkara ini seharusnya kita tidak hanya berpikir dengan logika formal, tetapi lebih mengedepankan rasa etika dalam berbangsa dan bernegara. Jangan sampai muncul kesan bahwa pembangunan ini hanya dinikmati oleh orang-orang yang berada di lingkaran kekuasaan.