Asas Legalitas Terbuka: Hargai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat
Jendelakita.my.id. - Sebagaimana kita ketahui bersama, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang selama ini berlaku merupakan terjemahan dari bahasa Belanda Wetboek van Strafrecht voor Indonesië tahun 1915 No. 732. KUHP tersebut diberlakukan secara nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Pada Pasal 1 ayat (1) KUHP lama disebutkan: “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu daripada perbuatan itu.” Ketentuan ini mencerminkan asas legalitas yang dikenal sebagai asas legalitas tertutup. Prof. Dr. Muladi, S.H., Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro sekaligus salah satu konseptor KUHP yang baru, menjelaskan bahwa asas legalitas dalam KUHP lama bersifat tertutup, sebagaimana tercermin dalam Pasal 1 ayat (1) WvS tersebut.
Pertanyaannya adalah, apakah KUHP yang akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 masih menganut asas legalitas tertutup seperti sebelumnya? Untuk menjawab hal tersebut, perlu kita perhatikan isi Pasal 1 ayat (1) KUHP yang baru. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa “Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.” Sampai di sini, KUHP baru tampaknya masih tetap mengikuti asas legalitas tertutup sebagaimana berlaku dalam KUHP lama.
Namun demikian, perbedaan muncul pada Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini.” Selanjutnya, ayat (2) menyebutkan bahwa “Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam undang-undang ini serta sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.” Adapun ayat (3) mengatur bahwa ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah.
Sampai di titik ini, KUHP yang baru tetap mengakui asas legalitas, namun tidak lagi bersifat tertutup. Prof. Muladi menyebutnya dengan istilah asas legalitas terbuka, sementara penulis menyebutnya sebagai legalitas terbatas. Asas legalitas terbuka tersebut dapat ditelusuri dari ketentuan Pasal 2 ayat (1), (2), dan (3), beserta penjelasan pasal-pasalnya, serta Pasal 597 KUHP baru. Dalam Pasal 597 ayat (1) disebutkan bahwa “Setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana.” Sementara itu, ayat (2) menyebutkan bahwa sanksi pidana yang dikenakan berupa pemenuhan kewajiban adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf f.
Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai para tokoh adat, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota di seluruh Nusantara, untuk mendorong penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut. Lebih lanjut, penjelasan Pasal 2 ayat (1), (2), dan (3) mengisyaratkan bahwa hukum pidana adat yang hidup di masyarakat perlu dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Peraturan Daerah tersebut memuat ketentuan tentang tindak pidana adat yang berlaku dalam masing-masing komunitas hukum adat, dengan sanksi adat berupa “pemenuhan kewajiban adat setempat”.
Namun demikian, sepanjang Peraturan Daerah tersebut belum disusun dan diberlakukan, maka pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat, khususnya terkait tindak pidana adat, belum dapat diterapkan secara efektif. Mengingat keragaman hukum adat di tiap-tiap daerah di Indonesia, tugas penyusunan Peraturan Daerah menjadi tanggung jawab besar dari lembaga-lembaga adat di tingkat kabupaten dan kota. Oleh karena itu, kerja sama lintas sektor antara pemerintah daerah, lembaga adat, serta pemangku kepentingan lainnya sangat diperlukan agar asas legalitas terbuka dalam KUHP yang baru benar-benar dapat diimplementasikan secara adil, bijak, dan berlandaskan nilai-nilai Pancasila.