Konstitusi Dibuat Untuk Mengabdi Kepada Manusia Bukan Sebaliknya
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Kalimat pada judul di atas, adalah merupakan ucapan sekelumit Presiden Soekarno di dalam pidato pengantar nya menjelang beliau mengucapkan DEKRIT 5 Juli 1959, yang diucapkan dalam sidang Konstituante yang waktu itu sebagai lembaga tertinggi untuk membuat Konstitusi Baru. Karena saat itu berlaku Undang Undang Dasar Sementara 1950.
Dalam pidato berjudul Tahun 1959 adalah Tahun Penemuan Kembali Revolusi Kita, Presiden Soekarno mengungkapkan, bahwa beliau telah mengingatkan agar Konstituante membuat Undang Undang Dasar yang cocok dengan jiwa Proklamasi, Undang Undang Dasar yang cocok dengan jiwa revolusi.
Seluruh rakyat Indonesia merasa Undang Undang Dasar Sementara 1950 menekan jiwa Revolusi menghambat jalannya arus revolusi, mematikan cara berfikir revolusioner, memberikan kesempatan bumi Indonesia ditumbuhi segala aliran konvensional dan konservatif........ , Presiden Soekarno mengungkapkan bahwa "The Constitution is Made for men, and not Men for the Constitution" (Konstitusi dibuat untuk mengabdi kepada manusia, dan bukan manusia dibuat untuk mengabdi kepada Konstitusi) (Merphin Panjaitan, Revolusi Indonesia Menuntaskan Sejarahnya, Jakarta, Jala Permata Aksara, 2021, : 164).
Dalam konteks yang sama di dalam pembangunan dan pembinaan hukum Nasional dewasa ini, sebagai mana butir butir isi pidato Bung Karno di atas (5 Juli 1959).
Ada beberapa konsepsi yang diajukan oleh para ahli hukum kita. Pada umumnya mereka berpendapat bahwa sarana pembangunan sebagai mana yang dilaksanakan di negara kita, hukum berfungsi bukan hanya sekedar "as a tool of social control" , dalam arti sebagai alat yang berfungsi mempertahankan stabilitas, akan tetapi sebagaimana yang dikatakan oleh Roscoe Pound (1870-1964) tokoh terkemuka dari aliran " Sociological Jurisprudence, adalah" as a tool of social engineering (Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, New Haven Yale University Press, 1954 dalam Abdurrahman, Kedudukan Hukum Adat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, 1978: 21).
Teori "as a tool of social engineering" ini salah satunya di dalam bukunya Prof Dr Soerjono Soekanto SH, Guru Besar Sosiologi Hukum di Universitas Indonesia dan Dosen Luar biasa di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, sekitar tahun 1986, sampai beliau wafat.
Juga teori ini dikembangkan dalam versi berbeda oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo SH Guru Besar Sosiologi Hukum di Universitas Diponegoro Semarang dalam bukunya Penegakan Hukum.
Konsep lama yang menyatakan " het Recht hink achter de fertenaan (hukum mengikuti perkembangan masyarakat) menurut Prof Dr Muchtar Kusumaatmadja SH LLM sudah ditinggalkan (lihat buku beliau Pembahasan Pendidikan Hukum dan Profesi Hukum, 1975.
Ditegaskan nya lebih jauh bahwa hukum merupakan "sarana pembaharuan masyarakat" adalah didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan dan ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan itu merupakan suatu keinginan bahkan dipandang mutlak perlu. Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi "hukum sebagai sarana pembaharuan" adalah hukum dalam arti kaedah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan. Kedua fungsi tersebut menurut nya diharapkan dapat dilakukan oleh hukum di samping fungsinya yang tradisional yakni untuk menjamin kepastian dan ketertiban.
Sehubungan dengan konsepsi tentang "law as a tool of social engineering" , Satjipto Rahardjo secara lambat tapi pasti, maka ungkapan "sosial engineering" dengan jalan hukum mulai masuk ke dalam khasanah perbendaharaan istilah hukum di negara kita (Satjipto Rahardjo, Social engineering: Kompas, 17 Maret 1975).
Salah satu ciri penting dari penggunaan hukum sebagai sarana melakukan social engineering ini menurut pendapatnya, adalah bahwa usaha ini merupakan kegiatan yang berlanjut, merupakan suatu proses. Kecaman yang sering dialamatkan kepada pengaturan oleh hukum pada umumnya adalah hukum itu sering menimbulkan suasana tirani peraturan peraturan atau penjajahan oleh hukum.
Hal ini terjadi karena hukum itu hanya berpegangan pada kewenangannya untuk mengatur, memerintah, memaksa dan melarang dan sebagainya, tanpa menanyakan apakah ketentuan yang dibuatnya dapat dijalankan secara efektif. Dalam keadaan demikian orang lalu bertanya, apakah tidak terlalu menegakkan semboyan "manusia untuk hukum dan bukan" hukum untuk manusia. Berlawanan dengan ini maka apabila pengaturan oleh hukum itu dilihat sebagai suatu proses, maka mengandung kebijakan, bahwa pengaturan nya yang dibuat oleh hukum pada saat itu tidak rampung (final) sifatnya melainkan harus senantiasa diikuti sampai dimana efektivitas dari pengaturan tersebut. Oleh karena itu di dalam "SOCIAL ENGINEERING" ini sangat penting peranan dari umpan balik (feedback), agar pengaturan itu senantiasa dapat disesuaikan kepada keadaan yang timbul dalam masyarakat.***
*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan