Jangan Jadikan Masyarakat Adat Sebagai Objek Pembangunan
Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)
JENDELAKITA.MY.ID - Tulisan
ini terinspirasi, karena pada acara debat calon Presiden dan Wakil Presiden
semalam pada tanggal 21 Januari 24, pada sesi debat keempat giliran para wakil
calon Presiden dari masing masing pasangan calon.
Dengan Thema MASYARAKAT ADAT, pertanyaan dari tim panelis.
Pertanyaan berawal ditujukan pada calon wakil presiden
pasangan nomor urut tiga.
Yang menanyakan Faktor apa sebabnya masyarakat adat dewasa
ini selalu berdampak akibat pembangunan (begitu lebih kurang isi pertanyaan
panelis).
Prof. Mahfud MD, menyampaikan data pengalaman beliau selaku
menteri bahwa ada 10.000 kasus soal pengaduan masyarakat tentang pertanahan:
2.400 kasus menyangkut tanah masyarakat adat (hak Ulayat).
Beliau menyampaikan bahwa kasus tanah Ulayat, timbul karena
penguasaan tanah oleh pemerintah ataupun swasta baik pusat maupun daerah dampak
dari otonomi daerah seluas-luasnya: TANPA MELIBATKAN MASYARAKAT ADAT.
Dalam bahasa hukumnya tidak dijadikan Pihak sebagai SUBJEK
HUKUM.
Seolah olah penguasaan tanah kosong tanpa yang memiliki.
Padahal masyarakat adat sudah puluhan sampai ratusan tahun yang lalu sebelum
Indonesia merdeka, sudah menguasai tanah adat itu.
Di samping faktor lain, kembali disampaikan oleh Paslon
Presiden nomor urut tiga: yaitu tidak ada keseriusan atau ketegasan pejabat
penegak hukum yang berwenang menangani masalahnya secara tuntas padahal dari
sisi peraturan perundang-undangan maupun putusan pengadilan sudah mempunyai
kekuatan hukum untuk dieksekusi nyata tidak berjalan semestinya.
Pasangan calon presiden nomor urut satu menambahkan bahwa
inti persoalan perlu dilakukan perubahan dalam sistem agraria dalam penggunaan
tanah yang dikuasai masyarakat adat yaitu mereka (baca masyarakat adat)
diikutsertakan dalam proses pembahasan sebagai mana mestinya yaitu sebagai
Subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Bukan sebagai objek hukum (benda atau barang istilah Ilmu
Hukum).
Paslon nomor urut dua sedikit menyinggung RUU Masyarakat
Adat.
Sejak tahun 2006, sewaktu presiden SBY telah mencanangkan
harus adanya Undang-undang Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, sewaktu acara
peringatan hari internasional masyarakat hukum adat di Taman Mini Indonesia
Indah, yang dihadiri oleh tamu undangan baik dari dalam negeri maupun
perwakilan dari negara negara asing termasuk sejumlah pemangku pemangku adat se
Nusantara.
Dan pada akhirnya terbentuk lah Sekretariat Bersama Perlindungan
Masyarakat Adat, yang sementara waktu berkantor di Sekretariat Lembaga Adat
Rumpun Melayu Provinsi Riau.
Dengan berdirinya berdasarkan akta notaris di Pekanbaru
Riau.
Terbentuknya sekretariat bersama itu atas prakarsa dari
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (perwakilan sub perlindungan hak masyarakat
adat) yaitu bapak Dr. Saafroedin Bahar (alm), Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia saat itu ketua nya bapak Prof. Jimly Asshiddiqie dan sekaligus beliau
sebagai pembina.
Penulis waktu itu sebagai anggota Dewan Pakar Sekretariat
Bersama Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang sampai sekarang akta notaris
belum ada perubahan.
Setiap ada pertemuan dengan instansi pemerintah baik lembaga
eksekutif maupun legislatif baik dari daerah terutama tingkat menteri sering
disampaikan bagaimana nasih RUU Masyarakat Adat tersebut yang sampai debat
semalam belum disahkan.
Jawaban juga tidak bisa dipastikan oleh mereka mereka
tersebut.
Harapan kami selalu Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan dan
juga anggota Lembaga Adat Rumpun Melayu SE Sumatera, yang berencana nanti bulan
Juni atau Juli akan bersilaturahmi di lembaga adat rumpun Melayu di Kepulauan
Riau: mengharapkan agar RUU Masyarakat Adat segera disahkan.
Simpulan akhir: Duduk kan posisi hukum masyarakat adat sebagai
SUBJEK HUKUM bukan OBJEK HUKUM. ***
*) Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan