Etika Berlalulintas Nilai Budaya Indonesia
Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)
JENDELAKITA.MY.ID - Kajian
masalah ETIKA, bukan saja di dunia politik seperti sekarang sedang menjadi
sorotan menjelang pemilihan umum tahun 2024 yang akan datang, karena disinyalir
telah terjadi pelanggaran pelanggaran etika guna mencapai tujuan tertentu yaitu
kekuasaan dan kepentingan individu maupun kelompok.
Money politics terjadi di mana mana dengan argumentasi
membantu orang orang yang membutuhkan, baik dilakukan secara massal maupun door
to door.
Di dunia berlalu lintas di jalan raya umumnya kita sering
mengalami kemacetan kemacetan terutama di persimpangan jalan padahal sudah ada
rambu rambu lalu lintas.
Namun justru di sanalah sering terjadi hambatan, setelah
diamati faktor utamanya adalah oknum pengendara baik roda dua ataupun roda
empat atau lebih , akibat mereka melanggar etik berlaku lintas.
Contoh di saat lampu merah , kendaraan tidak teratur
memposisikan diri, yang seharusnya di belakang garis yang sudah disiapkan:
nyatanya mereka berdiri dengan melanggar ketentuan makna adanya garis tersebut.
Yang parahnya lagi lampu kuning mulai menyala, sudah ada,
atau masih ada kendaraan yang melintas menyerobot, sehingga terjadi penumpukan
kendaraan di tengah jalan akhirnya terjadi kemacetan total.
Ini tentu nya akan merugikan semua pihak pengguna jalan,
terutama bagi yang dalam keadaan emergency perlu cepat; kadang kadang
diabaikan, dicuekin bahasa daerahnya.
Ini menunjukkan sikap egoisme yang mementingkan dirinya
sendiri dengan berakibat merugikan pihak lain
Padahal kalau mereka sadar seharusnya mentaati aturan
berlaku lintas sehingga dapat bermanfaat bagi semua pengguna jalan.
Bicara etika adalah merupakan bagian dari pada nilai nilai
budaya Nusantara yang sudah lama berkembang dan menjadi pedoman hidup
bermasyarakat.
Apakah ini suatu tanda mulai hilangnya sifat komunitas
masyarakat mementingkan kepentingan umum di atas kepentingan individu yang
semua diukur dengan materi.
Prof Dr. Soerjono Soekanto SH dalam pidato pengukuhan nya
sebagai guru besar sosiologi hukum di universitas Indonesia berjudul: Faktor
faktor Penegakan Hukum, dan Prof. Dr. Satjipto Rahardjo SH, dalam bukunya
Penegak Hukum, guru besar sosiologi hukum Universitas Diponegoro Semarang,;
kedua duanya memasukkan unsur BUDAYA ke dalam salah satu faktor untuk tegaknya
hukum.
Selain faktor faktor lain misalnya tersedia undang undang
atau peraturan yang memadai, penegak
hukum sebagai pelaku penegakan hukum serius atau sungguh sungguh menerapkan
aturan hukum, sarana dan prasarana yang tersedia.
Percuma ada peraturan ada petugas yang baik.
Namun tanpa sarana dan prasarana yang memadai tentu tujuan
hukum tidak akan maksimal atau mungkin tidak ada sama sekali. Terutama untuk
daerah daerah atau lokasi tempat kejadian perkara cukup jauh dan menantang.
Dalam konteks tulisan kita ini juga penegakan hukum akan
berhasil kalau ETIKA dalam hal ini etika berlaku lintas tetap dipatuhi tentu
akan menghasilkan tujuan hukum yang diharapkan dengan adanya aturan tersebut.
Prof Dr Sudikno Mertokusumo SH guru besar hukum acara
perdata di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dalam bukunya Kesadaran dan
Kepatuhan menambah kan bahwa tujuan hukum akan tercapai kalau adanya Kesadaran
dan Kepatuhan masing masing anggota masyarakat yang terlibat.
Tanpa kedua faktor tersebut (kesadaran dan kepatuhan) maka
semua akan sia sia.
Kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum ini tanpa
pengecualian baik terhadap anggota masyarakat biasa ataupun pejabat, kecuali
kalau memang sudah diberikan hak hak istimewa mereka untuk diutamakan karena
dibalik itu ada kepentingan yang lebih utama misalnya ambulans, pemadam
kebakaran, pejabat yang memang sudah resmi diberi hak oleh peraturan
perundang-undangan.
Jangan seperti yang kita lihat sering oknum mentang mentang
mereka merasa kebal hukum tetap melanggar etika berlalu lintas yang tentu
berdampak pada kerugian kita semua.
Belum lagi pelanggaran etika Berlalulintas yang menyangkut dirinya sendiri namun bisa berdampak pada orang lain! misalnya tanpa memakai helm, nomor polisi tidak ada (dicopot atau copot sendiri), pakai knalpot racing yang dilarang mengganggu kebisingan orang orang dan sebagainya.
Memang semua
itu sudah diatur dalam undang-undang lalu lintas sebagai norma positif
tertulis, namun akan sia sia kalau tanpa etika berlalu lintas kita semua.
Tanpa Etika sarana modern misalnya adanya cctv-nya dan
tilang electronik tidak berhasil guna dan berdaya guna.
Karena peralatan tersebut terkoneksi dengan
faktor faktor lain.
Belum lagi pelanggaran etika Berlalulintas yang menyangkut dirinya sendiri namun bisa berdampak pada orang lain! misalnya tanpa memakai helm, nomor polisi tidak ada (dicopot atau copot sendiri), pakai knalpot racing yang dilarang mengganggu kebisingan orang orang dan sebagainya.
Memang semua
itu sudah diatur dalam undang-undang lalu lintas sebagai norma positif
tertulis, namun akan sia sia kalau tanpa etika berlalu lintas kita semua.
Tanpa Etika sarana modern misalnya adanya cctv-nya dan
tilang electronik tidak berhasil guna dan berdaya guna.
Karena peralatan tersebut terkoneksi dengan faktor faktor lain. ***