Breaking News

Rekonsiliasi Lebih Memberikan Rasa Keadilan Bagi Semua

Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumsel

Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)

JENDELAKITA.MY.ID - Hasil rekonsiliasi berupa penyelesaian sengketa atau perselisihan yang berbentuk perdamaian., dengan pihak pihak yang berkaitan sama sama bersedia untuk saling mengalah atas dasar to like' a little to give a little. 

Bentuk seperti ini dikenal juga dalam hukum tertulis di Indonesia yang disebut “dading” (Soetandyo Wignjosoebroto, 2008).

Penyelesaian secara sosiologis justru lebih memberikan keadilan substantif bagi semua pihak, dan yang lebih penting tertib sosial, harmoni sosial, solidaritas sosial diantara anggota masyarakat kembali pulih seperti semula.

Pola seperti ini sebenarnya sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat hukum adat sejak nenek puyung kita dari Sabang sampai Merauke.

Yang biasa disebut dengan Perdamaian di dalam menyelesaikan suatu delik adat (delik adat istiadat Prof. Dr. R. Soepomo SH dalam bukunya Bab Bab Tentang Hukum Adat).

Kompilasi Adat Istiadat Kabupaten dan Kota di Sumatera Selatan menggunakan istilah Penyelesaian Pelanggaran Adat.

Sepuluh kabupaten kota sebelum pemekaran wilayah di Sumatera Selatan). Masing masing mendapat 300 eksemplar, terbit tahun 2002).

Dalam istilah ilmu hukum modern adalah disebut hukum responsif, yakni hukum yang dikembangkan (baca bukan dilestarikan) harus tanggap terhadap kebutuhan kebutuhan sosial sebagaimana cita cita hukum realis.

Untuk membangun hukum responsif ini, perlu pemahaman pengetahuan tentang hukum yang lebih luas yakni mencakup pengetahuan konteks sosial dan tentang kebijakan atau tindakan pemerintah (Salman dan F.Susanto, 2008).

Dalam pandangan Roscoe Pound sebagaimana dikutip Otje Salman dan Anthon F. Susanto (2008) mengatakan kepentingan sosial merupakan aspek terpenting dalam menciptakan suatu model hukum yang responsif.

Perspektif hukum ini adalah, hukum yang baik harus menawarkan sesuatu yang lebih dari keadilan prosedural.

Hukum itu harus berkemampuan fair (adil, memberikan kesempatan yang sama; hukum itu harus membantu menentukan kepentingan masyarakat dan commited pada tercapainya keadilan yang lebih substansial (hakiki).

Kajian lain terkait dengan hukum empiris juga dilakukan oleh Adamson Hoebel tahun 1954 yang dikutip oleh Soetandyo Wignjosoebroto. Hoebel mendeskripsikan hukum "masyarakat primitif" etnis Eskimo (yang paling sederhana) sampai pada adat kebiasaan orang orang Ashanti (yang sudah berada diambang peradaban dan memiliki kemampuan berorganisasi).

Dari penelitian itu Hoebel ingin menemukan jural postulate, yakni nilai nilai paling mendasar yang menjadi basis cultural suku suku di tengah lingkungan alam masing masing yang memiliki khas. Hasilnya Hoebel menyebutkan bahwa berbeda masyarakat akan berbeda pula sistem hukumnya. Pendek kata, sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh dinamika dan perkembangan masyarakat nya.

Karena itu, Hukum sifatnya dinamis, bukan statis (bandingkan ada persamaan dengan guru besar hukum adat fakultas hukum universitas Gadjah Mada Yogyakarta Prof. M.M. Djojodiguno SH bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat alias hukum adat bersifat dinamis dan plastis. Ngulur mengkerut istilah Prof. Iman Sudiyat SH (pembimbing penulis saat penyusunan Thesis di UGM tahun 1986).

Penegakan hukum tidak akan lepas dari aparat penegak hukum. Salah satunya yang cukup penting dalam penanganan perkara hukum dalam masyarakat adalah polisi.

Penelitian di Amerika Serikat yang dilakukan oleh Jerome H. Skolnick yang dikutip oleh Soejono Soekanto.

Salah satu tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tersebut adalah sejauh mana dilema yang dihadapi oleh masyarakat dinamis, yakni dilema order dan legality menghalangi kemampuan polisi dalam menjalankan tugasnya.

Hasil penelitian tersebut berkesimpulan, bahwa polisi di negara negara demokratis bertugas memelihara tata tertib di naungan rules of law.

Selain itu, pertentangan nilai nilai di dalam negara demokratis mempengaruhi kemampuan polisi dalam melaksanakan rules of law.

Pembahasan ini didasarkan pada korelasi antara hubungan lingkungan pekerjaan polisi dengan rules of law, hubungan antara profesi polisi dengan tingkah laku, dan hubungan masyarakat dengan tingkah laku polisi.

Kesimpulan dari penelitian itu bahwa polisi dalam menjalankan tugas sebagai aparat penegak hukum tidak sekedar melaksanakan rules of law, tetapi pelaksanaan penegakan hukum dalam masyarakat itu harus juga memperhatikan aspek sosiologis masyarakat nya.

Polisi dituntut memiliki kemampuan kepekaan sosial dalam menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak hukum di masyarakat, tidak sekedar kemampuan pada hukum positif tertulis semata, tetapi juga menguasai ilmu hukum positif tidak tertulis.

Perkembangan terakhir ini kelembagaan penegak hukum baik polisi, jaksa dan hakim harus memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini tergambar dari instruksi kapolri

dan kejagung tentang penyelesaian secara Restoratif justice. Terakhir lahir nya undang undang tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana yaitu Undang Undang Nomor 1 tahun 2023.

Yang akan diberlakukan pada tiga tahun kemudian sejak tanggal 2 Januari 23. Di dalam pasal 597 KUHP Baru. Tentang Tindak Pidana Berdasarkan Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat.

Rekonsiliasi dengan bermakna Perdamaian dalam bahasa budaya untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu, sebagai manusia Indonesia mengenal sifat utama masyarakat hukum adat adalah asas KOLEKTIVISME mengutamakan kepentingan komunitas.

Hal yang sama bermakna bahwa hukum bahasa ilmu hukum modern methoda yang digunakan adalah Restoratif justice.

Dr. Hamonangan Albariansyah , SH MH., dalam disertasinya khusus kajian kesehatan pekerja jika terjadi unsur kealpaan yang berasal dari kedua pihak majikan dan buruh sebaiknya diselesaikan secara Keadilan Restoratif.***

*) Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumsel