Breaking News

Makna Dari Sebuah Kata

Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan

Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)

JENDELAKITA.MY.ID - Pada kesempatan kali ini kita membahas makna dari sebuah kata. 

Khusus kata Pilar Kebangsaan atau Pancasila sebagai Dasar Negara.

Memahami bahasa secara utuh tentu saja tidak cukup hanya bersumber pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, Melayu atau bahasa lainnya.

Namun, juga diperlukan pemahaman dan metode untuk mencari konteks dan latar belakang timbulnya suatu pengganti bahasa.

Dalam antropologi hukum, pendekatan bahasa dalam memahami makna dan fungsi hukum suatu masyarakat sangat penting dan diperlukan.

Dari hasil penelitian Mac Gluckman , dari universitas Menchester dalam bukunya Political Structure in Rhodesia, African Society, 1967 mengatakan bahwa tidak sedikit hakim hakim gagal membuat putusan yang adil mengingat hakim hakim asing tidak memahami bahasa lokal sebagai hakim hakim tidak memahami bekerjanya birokrasi hukum modern (Mac Gluckman dalam Jawahir Thontowi, 1998; 47).

Karena itu, amat disayangkan jika penggunaan kata misalnya: istilah Empat Pilar Kebangsaan yang sekarang ini sedang ngetren digunakan bahkan giat istilah itu disosialisasikan. Argumentasi yang dapat kita bangun adalah;

Pertama, dari segi historis, istilah atau kata Pilar , tidak pernah muncul dalam perdebatan sidang sidang baik di BPUPKI maupun PPKI.

Kedua, kata Pilar tidak dapat dipadankan dengan kata dasar.

Di satu pihak, kata Pilar berawal dari bahasa inggris atau bermakna Rukun dalam bahasa Arab yang dalam bahasa Indonesia menjadi tiang atau penyangga.

Sedangkan, dasar  berbeda dari pilar karena dasar berasal dari kata ground, atau based (inggris) dan asas asas dalam bahasa Arab.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bp, 1988 pada halaman 683 mengatakan kata Pilar sebuah kata benda yang berarti tiang penguat (dari batu, beton dan): sebuah monumen yang berdiri atas lima - berdiri dengan megahnya; kedua, kata dasar (yang pokok): induk.

Sesungguhnya dalam percakapan lisan, dan tidak memiliki kaitan dengan hukum ( apalagi soal Dasar Negara atau Pandangan Hidup di dalam nya) yaitu Pancasila.

Kenyataan kemasyarakatan permainan penggunaan bahasa tersebut sah sah saja.

Namun, manakala penggunaan istilah atau kata, kata dapat mereduksi makna dan fungsi, maka justru boleh jadi tujuan hukum, yakni keadilan akan semakin jauh dari harapan.

Misalnya, permainan bahasa dari segi ekonomi juga berdampak murah dan mudah.

Misalnya penggunaan akronim SUTA bagi bandara di Cengkareng seperti nya kita lupa akan sejarah.

Perancangnya dulu juga tidak sama bahwa tidak dimaksudkan untuk melecehkan dua nama proklamator.

Namun, ketika SUTA itu diperpanjang menjadi Soekarno dan Hatta, maka makna dan fungsinya tidak sekedar instrumen komunikasi. Akan tetapi jelas, dirasakan sebagai suatu ekspresi tidak menghargai nama besar pahlawan Indonesia.

Implikasinya, jelas dengan pengubahan SUTA dari kata Soekarno dan Hatta tidak saja akan kehilangan makna kontekstual nya, tetapi juga fungsi instrumentalis makna kepahlawanan juga akan mudah dilupakan (Lihat Jawahir Thontowi, idem).

Kembali kepada fokus kita soal kata Pilar Kebangsaan dengan dasar Kenegaraan, tidak lagi mudah untuk dipahami jika tanpa maksud yang tujuan yang jelas.

Sekali lagi, patut diperhatikan oleh kita bersama bahwa penggunaan kata Pilar Kebangsaan, dan menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar.

Mempertahankan penggunaan istilah empat pilar kebangsaan, dan menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar di dalam nya adalah jelas dapat mengarahkan pada pemahaman yang keliru dan dapat menimbulkan kerugian yang besar buat bangsa dan negara.

Memang kita kadang kadang latah menggunakan istilah atau akronim dengan alasan penghematan baik ucapan maupun ekonomi, namun akan menghilangkan makna yang sakral dalam mempertahankan kelestarian nilai nilai Pancasila yang tercermin dari nilai nilai yang hidup dalam masyarakat.

Apalagi yang menyangkut masalah kenegaraan dan keyakinan umat.

Mudah mudahan dengan tulisan ini kita baru sadar adanya kesalahan yang kita lakukan bersama sama dengan tanpa disadari.***

*) Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumsel