Kajian Pemilu/Pilkada Langsung Terkait Sila Keempat Pancasila
![]() |
Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan |
Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)
JENDELAKITA.MY.ID - Reformasi
yang bergulir sejak tahun 1998 memang telah membuktikan adanya peningkatan
pemerintahan yang lebih demokratis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Namun era pemerintahan reformasi secara tidak sadar juga
telah berkontribusi pada terabaikannya ideologi Pancasila sebagai landasan
negara Indonesia.
Akibatnya timbul ancaman lahirnya suatu generasi masyarakat
Indonesia yang disebut "missing generation of Pancasila", sehingga
tercabut dari akar nilai budayanya sendiri.
Semangat reformasi yang kebablasan telah membawa perubahan
sehingga UUD NKRI 1945 menjadi inkonsisten dengan Pancasila sebagai landasan
negara.
Salah satu bukti inkonsistensi amendemen UUD NKRI tahun 1945
pasca reformasi dengan Pancasila terlihat pada kasus sila keempat. "Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Jika dikaji dengan menyandingkan dengan Pasal 6A ayat (1)
UUD NKRI tahun 1945 pasca amendemen, maka tidak terjadi ketidak singkronan
mengingat ayat tersebut menghendaki pemilu secara langsung dan pilkada secara
langsung.
Sehingga mengakibatkan tidak adanya pola yang jelas hubungan
antara lembaga legislatif pusat dengan daerah, lembaga eksekutif pusat dan
daerah.
Dalam hal pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, ditetapkan
juga bahwa keduanya dipilih secara langsung oleh rakyat berdasarkan Pasal 6A
ayat 1.
Konsep pemilihan secara langsung (one man one vote) jelas
bertentangan dengan sila keempat yang menghendaki pada pemilihan tidak
langsung/berbasis perwakilan atau permusyawaratan.
Terpinggirkannya Pancasila sebagai dasar negara semakin
tampak dalam hal desentralisasi dan otonomi daerah seluas-luasnya.
Otonomi daerah memberikan kewenangan yang luas bagi masing
masing daerah untuk mengurus urusan nya sendiri sehingga munculah banyak
peraturan daerah yang bertentangan dengan jiwa Pancasila dan peraturan yang
lebih tinggi.
Banyak sekali perda yang secara formil maupun materi sudah
tidak mengindahkan lagi kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Republik
Indonesia.
Terkait dengan munculnya perda perda yang jauh dari spirit
Pancasila tersebut sudah bisa diantisipasi dengan adanya Mahkamah Agung yang
berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dan juga
Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji UU terhadap UUD NKRI tahun 1945.
Dengan demikian jika ada peraturan yang bertentangan dengan
UUD NKRI tahun 1945 sudah ada lembaga yang berfungsi sebagai a guardiance of
UUD NKRI tahun 1945.
Persoalan nya adalah bagaimana jika UUD NKRI tahun 1945 yang
telah diamandemen ternyata menyimpangi Pancasila?.
Untuk menguji apakah Pancasila di simpangi atau tidak maka
perlu penguatan fungsi dan kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
MPR harus direvitalisasi perannya agar mampu melindungi
Pancasila sebagai dasar negara.
Karena itu, diperlukan upaya upaya untuk merubah MPR sebagai
" joint sessions antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah
menjadi lembaga yang lebih permanen.
Sehingga perlu langkah langkah;
Pertama, bagaimana paradigma bangsa Indonesia dalam konteks
kehidupan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat?
Kedua, bagaimanakah kondisi wewenang dan kedudukan MPR saat
ini jika dikaitkan dengan perlindungan terhadap Pancasila sebagai dasar negara?
Ketiga, bagaimana upaya memberdayakan peran MPR, sebagai
penjaga atau pelindung Pancasila sebagai dasar filosofis kehidupan berbangsa
dan bernegara serta bermasyarakat sebagaimana kehadiran Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia berfungsi menjaga dan melindungi eksistensi UUD NKRI tahun
1945.
Dampak yang terasa oleh kita bersama contohnya dengan
pemilihan umum dan pemilihan pilkada secara langsung akan memakan waktu yang
lama serta biaya yang dikeluarkan cukup tinggi baik yang dibiayai negara maupun
biaya pribadi.
Tentu ini berdampak panjang terjadinya pelanggaran
pelanggaran hukum baik berupa korupsi, kolusi dan nepotisme.
Banyak pejabat pusat maupun daerah yang tersandung kasus
kasus korupsinya yang bukan asing lagi buat kita melihat dan membaca di media
cetak dan elektronik, bahkan juga dilakukan oleh pemegang lembaga pemberantasan
korupsi menjadi koruptor.
Rentetan nya ditanggung oleh warga negara Indonesia umumnya
dengan membayar biaya hidup yang cukup besar, dan berakibat menambah jumlah
kemiskinan di Indonesia.
Padahal tujuan negara Indonesia adalah perwujudan Masyarakat
yang adil dan makmur sebagai mana tertuang dalam Pembukaan UUD tahun 1945
sebagai RECHTSIDE (Cita Hukum).***
*) Penulis adalah
Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan