Pluralisme Hukum dalam Perspektif Global
![]() |
Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan |
Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)
JENDELAKITA.MY.ID
- Pembahasan mengenai kompleksitas pluralisme hukum
dalam perspektif global, disebabkan oleh fakta mengenai konstelasi pluralisme
yang dicirikan oleh besarnya keragaman dalam karakter sistemik dari tiap-tiap
kluster.
Konteks hukumnya jelas adanya hukum negara,
hukum agama, hukum adat, atau hukum kebiasaan, namun keberadaan sistem hukum
tersebut secara bersama sama menunjukkan adanya saling difusi, kompetisi
sepanjang waktu
Apa akibat nya. Sebelumnya kita dapat
dengan jelas mendefinisikan masing masing dimaksud hukum adat, hukum agama atau
hukum negara.
Di tahun 1950-1960, menurut Keebet dalam
Sulistyowati Irianto, banyak usaha untuk menunjukkan kebiasaan kebiasaan lokal
(istilah Surojo Wignjodipoero) juga dipandang sebagai hukum.
Meskipun dasar legitimasi nya berbeda
dengan hukum negara (baca peraturan perundang-undangan). Namun tidak ada
perbedaan mendasar antara Hukum negara dengan hukum rakyat.
Istilah Penjelasan UUD 45 naskah asli
dipakai sebagai Hukum Dasar (tertulis dan tidak tertulis).
Holeman mengatakan bahwa di wilayah urban
di negara negara berkembang, tumbuh bentuk bentuk hukum yang baru yang tidak
dapat diberi lebel sebagai hukum negara, hukum adat maupun hukum agama, sehingga
disebut sebagai HYBRID LAW (Unnamed Law) (Sulistyowati Irianto).
Menjadi kan contoh kita melihat apa yang
dikategorikan sebagai hukum adat ( hukum yang hidup dalam masyarakat istilah
Undang Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana baru
(Pasal 597 KUHP Baru) ternyata berbeda antara teori dan praktek nya.
Ini bisa terlihat pada beberapa putusan
dari peradilan adat di Minangkabau berisi, atau memberi ruang kepada, subtansi
hukum negara.
Atau sebaliknya putusan hakim pengadilan
negara berisi unsur unsur adat dan memberikan pengakuan terhadap hukum adat.
Bahkan di beberapa daerah banyak upaya
melembaga hukum adat "BARU dengan format hukum negara, yaitu menjadi
PERATURAN DAERAH atau PERATURAN DESA mengikuti struktur format dan logika hukum
negara.
Contoh konkretnya di Sumatera Selatan khususnya
di Kabupaten Banyuasin sudah memiliki Peraturan Daerah tentang Kompilasi Adat
Istiadat yang termuat dalam Perda 9 tahun 2012.
Dengan demikian argumen yang mengatakan
bahwa lapangan pluralisme hukum terdiri dari ko-eksistensi antara sistem sistem
hukum sebagai suatu entitas yang jelas, yang dapat dibedakan batasnya, tidak
laku lagi.
Membedakan hukum negara, hukum adat dan
hukum agama dan kebiasaan secara tegas, adalah romantis masa lalu, yang kini
sudah mati .
Hal ini terlihat sudah dihapuskan nya istilah
jurusan di dalam kurikulum di Fakultas Hukum, tidak mengenal lagi jurusan
pidana, jurusan perdata maupun jurusan hukum tatanegara dan lain sebagainya.
Terlalu banyak fragmentasi, timpang tindih,
dan ketidak jelasan.
Karena batas antara hukum yang satu dan
lainnya menjadi kabur, dan hal ini merupakan proses yang dinamis yang memang
terjadi dan tidak dapat dielakkan.
Bahasa Prof. MM. Djojodiguno, SH hukum itu
bersifat dinamis dan plastis.
Hukum hasil Budi dan Daya Manusia (Ki
Hadjar Dewantara).
Simpulan.
Pertama, hukum dipandang sangat memainkan
peranan penting dalam globalisasi, karena hukum bersentuhan dengan dinamika
sosial, politik, ekonomi.
Dapat dipelajari bagaimana hubungan antara
relasi kekuasaan dan hukum, dan bagaimana hukum menjadi kekuatan yang sangat
besar dalam mendefinisikan kepentingan politik dan ekonomi dalam pergaulan
antar kelompok dan bahan antar bangsa.
Hukum sangat berkuasa, karena
mengkonstruksi segala sesuatu dalam kehidupan kita, menentukan siapa kita dalam
relasi dengan orang dan kelompok lain, dan mengkategorikan perbuatan hukum kita
dalam kategori salah atau benar.
Kedua, ada aktor aktor yang menyebabkan
hukum bergerak. Mereka adalah individu maupun organisasi yang sangat mobile.
Para aktor ini penting dalam proses
globalisasi dan globalisasi, dan menjadi agen bagi terjadinya perubahan hukum.
Ketiga, pemahaman globalisasi dalam konteks
sejarah sangatlah penting. Globalisasi hukum sudah terjadi sejak dahulu,
seiring terjadinya penjajahan, perdagangan dan penyiaran agama pada masa silam.
Sepanjang sejarah dapat dilihat bagaimana
hukum internasional dan traktat juga menyebabkan hukum bergerak.
Pendekatan pluralisme hukum dalam
perspektif global mengajak kita untuk berhati-hati dalam menyikapi keragaman
hukum.
Kita tidak dapat lagi membuat mapping of
legal universe, menarik garis batas yang tegas untuk membedakan suatu entitas
hukum tertentu dari yang lain.
Kita sukar untuk menarik yang tegas antara
hukum internasional, transnasional, nasional dan lokal (adat, agama), karena
sistem hukum yang berasal dari tataran yang berbeda beda itu saling
bersentuhan, berkontestasi, saling mereproduksi dan mengadopsi satu sama lain
secara luas.
Pendekatan pluralisme hukum dalam
perspektif global juga menunjukkan kepada kita pentingnya untuk melihat para
aktor yang menyebabkan hukum bergerak dan kontekstualisasi sejarah globalisasi
hukum.***
*)
Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumsel