Reformasi Hukum dan Pemilu dalam Konteks Perenungan
![]() |
Ketua Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan |
Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)
JENDELAKITA.MY.ID - Kenapa perlu perenungan tentang
Reformasi yang dikaitkan dengan pemilihan umum.
Apa yang ingin dimintakan perhatian di sini, bahwa kajian
reformasi hukum Indonesia dari perspektif nilai nilai yang mendasari juga
penting untuk terus dikedepankan sebagai satu kesatuan dengan kajian kajian
lain.
Apalagi sekarang secara fakta sudah menuju titik awal lagi
dari tujuan mulia antara lain telah tercipta hal hal yang bertentangan dengan
nilai Pancasila yaitu kapitalisme, liberalisme, korupsi, kolusi dan nepotisme
semakin menggila akibat adanya kolaborasi: hukum, politik, bisnis dan
kekuasaan.
Ada sejumlah argumentasi untuk hal ini;
- Reformasi hukum Indonesia walaupun oleh beberapa tokoh dinyatakan berjalan tanpa konsep, namun bukan bebas nilai melainkan pasti sarat nilai;
- Nilai nilai mendasari reformasi hukum tersebut abstrak, sulit dilihat pancaindera, namun mudah dirasakan hati nurani dan dicerna akal sehat semua komponen bangsa;
- Secara mekanistik-linier, senantiasa diyakini akan terjadi proses kristalisasi nilai nilai tersebut menjadi norma norma hukum. Pada gilirannya, nilai nilai yang mendasari reformasi hukum sangat berpengaruh terhadap kualitas norma hukum maupun pelaksanaan dan penegakan hukum nya.;
- Secara empiris antara nilai, norma dan realitas hukum senantiasa terjalin hubungan saling mempengaruhi, sehingga sangat mungkin nilai nilai pun mengalami perubahan.
Apabila hal ini terjadi maka pengendalian reformasi hukum
harus dilakukan melakukan pilihan pilihan nilai.
Untuk memudahkan pemahaman, kita akan mulai dengan
redefinisi terhadap reformasi hukum Indonesia.
Dimaksudkan reformasi hukum adalah: perubahan hukum yang
dilakukan oleh semua komponen bangsa, bertolak dari ideologi Pancasila,
berproses secara dinamis dengan mempertimbangkan konteks ruang dan waktu,
sebagai upaya mewujudkan cita cita bangsa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan
UUD tahun 1945.
Ambil contoh misalnya beberapa hari yang lalu tepatnya pada
tanggal 16 Oktober 23, majelis hakim Mahkamah Konstitusi telah memutuskan
persyaratan pemilu tahun 2024 antara lain penentuan batas usia minimal capres
dan cawapres.
Ada kesan seperti dilakukan dengan terburu buru untuk
mengejar deadline waktu pendaftaran bakal calon presiden dan wakil presiden
yaitu dimulai tanggal 19 Oktober 23 (tiga hari sebelum dibuka pendaftaran
peserta bakal calon presiden dan wakil oleh KPU RI.
Malah ada kesan dalam isi permohonan oleh pemohon, mengambil
contoh yang telah santer akan dicalonkan menjadi cawapres; apakah ini secara
psikologi hukum akan mengganggu pemikiran para hakim konstitusi, yang bukan
rahasia lagi salah satu anggota hakimnya ada hubungan yang bersifat emosional (Yang
seharusnya secara etika profesi hakim konstitusi khususnya),
apabila ada ikatan emosional dengan para pihak yang terkait,
yang bersangkutan hendaknya mengundurkan diri sementara untuk menangani perkara
tersebut).
Rasanya benar juga apa yang menjadi silanyemen Karl Marx, bahwa hubungan kualitas dalam
kehidupan hukum, pada proses dialektika senantiasa penuh konflik, yaitu konflik
kepentingan "kelas atas dan kepentingan kelas bawah".
Dalam konstelasi sosial politik, dimana jelas atas
mendominasi dan menghegemoni "kelas bawah", maka hukum negara (baca
perundang undangan/keputusan hakim), banyak diproduksi, dengan kecenderungan
tergenggam di tangan kelas atas, dan mereka inilah yang mampu mendayagunakan
hukum (UU dan Vonis) demi kepentingan kepentingan nya ( Sudjito, 2013: 36).
Kalau kita mau jujur dan jeli meneropong reformasi hukum
Indonesia, silanyemen Karl Marx tersebut jelas banyak benarnya. Betapa banyak
demontrasi, bentrok, dan sengketa hukum secara kualitatif dan kuantitatif terus
meningkat (ingat kasus pulau Rempang).
Mereka memperjuangkan keadilan subtansial, bukan sekedar
keadilan formal, sementara reformasi hukum Indonesia merasa sudah cukup dengan
memproduksi dan menjalankan hukum formil saja.
Keadilan substansial nya, keadilan sosial, apalagi keadilan
religius, hampir tidak pernah lagi dijadikan standar penyelesaian sengketa
sengketa hukum tersebut.
Reformasi hukum dalam banyak hal justru mendorong hukum
lebih dekat dan bisa dinikmati oleh mereka yang mempunyai akses di bidang
ekonomi dan politik (Ingat undang undang cipta kerja).
Situasi reformasi hukum Indonesia ini sesuai dengan sindiran
Marc Galanter "Why the Haves' Come
Out Ahead" (idem).
Reformasi hukum Indonesia selain didominasi oleh nilai nilai
individualistik, liberalistik dan kapitalistik, juga sangat dipengaruhi faktor
politik.
Salah satu faktor penyebab nya karena para petinggi hukum
Indonesia adalah orang orang partisipan alias pemuka partai politik.
Komitmen mereka dalam pembuatan, pelaksanaan dan penegakan
hukum adalah demi kepentingan partainya. (Apalagi jelas jelas diucapkan oleh
ketua partai politik : bahwa mereka adalah petugas partai. Jadi bukan petugas
negara atau petugas pemerintahan).
Proses reformasi hukum menjadi sarat dengan "Perselingkuhan
Politik". Dan ini diakui oleh Mahfud MD, bahwa dalam perselingkuhan
politik itu sebenarnya para politisi tahu kalau itu salah bertentangan dengan
HAM, tetapi tetap juga dilakukan (Kedaulatan Rakyat Minggu, 8 Februari 2009,
halaman 13 ).
Politik hukum seperti inilah yang sering disebut sebagai
CACAT IDEOLOGIS…***
*) Penulis adalah Ketua Jejaring Panca Mandala Sriwijaya
Sumatera Selatan